gaulislam edisi 474/tahun ke-10 (21 Safar 1438 H/ 21 November 2016)
Bro en Sis, kali ini gaulislam mau ngebahas seputar asyiknya jadi santri. Ayo, ayo! Anak santri langsung merapat aja, ya. Kalo ada yang kepo tentang asyiknya jadi santri juga jangan ketinggalan. Why? Sebab gaulislam edisi kali ini bakal ngebahas tentang “Asyiknya Jadi Santri”. Oke, stay tune!
By the way, santri itu apa, sih? Makhluk golongan apa itu? Wkwkwk… santri juga manusia, kok. Punya hati juga punya perasaan. Mereka juga makan, tidur, dan melakukan aktivitas manusia, of course! Santri itu kalau dalam bahasa Arab adalah tilmiidzun alias murid. So, santri sama dengan pelajar. Kok malah kemana-mana, ya?
Buat yang belum tahu, santri adalah pelajar yang belajar dalam lingkungan pesantren. Kalau di film-film lama yang latarnya adalah kehidupan pesantren, kebayangnya kayak apa ya? Standarnya mungkin yang pakai sarung, peci, kalau yang santriwatinya pake mukena atau kerudung panjang, kemana-mana pegangannya kitab, yah, gitu kan?
Sobat gaulislam, kalau kalian punya bayangan kayak gitu juga, berarti kita sama. Hehehe… Bener, loh. Santri tuh emang harus gitu penampilannya. Soalnya, santri kan adalah lambang dari sebuah institusi yang bernuansa islami. Betul?
Oya, emang kehidupan santri pada umumnya kayak gimana, sih? Ya, kehidupan si santri sih nggak jauh beda sama kehidupan kamu semua. Banyak sukanya, dan ada juga dukanya. Nah, karena saya telah menjabat sebagai santri selama 5 tahun, ya, kira-kira saya bisa merasakan dan membagikannya kepada kamu semua.
Santri yang sebenarnya itu adalah yang tinggal di pondok, asrama, atau boarding. Otomatis, santri diwajibkan untuk mandiri. Jauh dari orangtua, makan sendiri, cuci baju sendiri. Bisa jadi latihan untuk mandiri setelah masa sekolah nanti. Di asrama juga banyak teman yang senasib. Bahkan kalau bisa, ada yang jadi sahabat. Karena di asrama itu, semua teman seperti keluarga.
Tapi ada loh, santri-santri yang nggak betah sama kehidupan asramanya. Mungkin dia masih belum bisa jauh dari orangtuanya, belum mau cuci baju sendiri, nggak bisa nonton TV, kalau mandi harus antri, makan juga antri, atau nggak biasa sama peraturan ketat di pondoknya. Ya, sebenarnya itu butuh kesabaran lebih, sobat. Daripada kita menderita galau hati karena jadi santri, kita harus berusaha merasa asyik ketika menjadi santri.
Guru saya pernah berkata, “Bisa karena biasa, biasa karena dipaksa.” Awalnya memang tidak otomatis kita langsung suka dengan suasana pesantren. Gaya hidup santri memang harus dibiasakan. Caranya memang dengan dipaksa. Kita harus memaksakan diri kita sendiri agar menjadi terbiasa. Contohnya gini, sobat. Misalnya kita ingin terbiasa bangun pagi. Awalnya ketika kita mencoba untuk bangun, susah sekali. Masih ngantuk, nggak bisa membuka mata, dan kayaknya emang banyak banget halangannya. Tapi kalau kita menyerah, kita nggak bakalan bisa untuk bangun pagi. Kalau kita pengen banget terbiasa bangun pagi, banyak yang kita lakuin. Pasang alarm, minta orang tua buat bangunin, dan lain-lain. Sekali atau dua kali kita berhasil bangun pagi, besoknya kita bakal terbiasa. Tapi itu butuh paksaan dari dalam diri kita. Nah, sama dengan menjadi santri.
Kenapa harus asyik?
Tadi kan guru saya yang kasih poin, yaitu “Bisa karena biasa, biasa karena dipaksa.” Sekarang ada poin dari ibu saya. Katanya, “Gampang kalau dibikin menyenangkan.” So, kalau kita menyukai semua kegiatan yang kita lakukan, kegiatan itu akan terasa gampang. Bener loh. Contohnya, nih. Kalau kita suka main gitar, otomatis memainkan gitar akan terasa menyenangkan bagi kita. Walau pun bagi orang lain sulit, tapi bagi kita gampang. Iya, kan?
Jadi, kenapa jadi santri harus asyik? Supaya tidak ada beban ketika kita menjalaninya. Coba kamu bayangkan, emangnya enak melakukan segala sesuatu dengan beban? Misalnya kamu manggul sekarung beras satu kwintal di punggung. Hehehe… Bukan gitu maksudnya, ya. Maksudnya ketika kita menjalaninya, ada rasa nggak suka, merasa ini semua adalah hukuman, yah… gitu, deh. Bisa menderita lahir batin. Lebay banget nggak sih?
Tapi ternyata jadi santri itu emang asyik, kok. Buktinya apa? Buktinya, saya udah 5 tahun terdampar di dunia santri dan masih sehat wal afiyat. Banyak juga orang yang bertahan menjadi santri dan sukses dengan apa yang diinginkannya. Sebab, yang penting, jadi santri tuh, jangan cuma asyik-asyiknya aja. Tapi juga harus ada niat, tujuan, target, dan komitmen. Sama dengan hidup pasti ada tujuannya, kan? Ya, menjadi santri juga begitu. Saya akan paparkan di subjudul selanjutnya. Siap-siap, ya!
Niat dan tujuan menjadi santri
Sobat gaulislam, jadi santri itu perlu niat. Untuk apa kita belajar? Semua pekerjaan kita harus disertai niat loh. Niat kita belajar adalah karena menuntut ilmu kewajiban bagi setiap muslim. Ada haditsnya loh, yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah.” (Hadits Riwayat Ibu Majah)
Tuh, kan. Menuntut ilmu itu wajib. Jadi niat awal kita emang untuk melaksanakan kewajiban. Buat para santri atau yang mau jadi santri, perbarui niatnya dulu ya. Karena menuntut ilmu itu wajib. Kalau nggak dilaksanakan, wah, takut dosa tuh.
Tapi ilmu apa sih yang wajib dipelajari? Nah, ilmu yang wajib dipelajari itu adalah ilmu Tauhid dan ilmu Fiqih. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang menjelaskan tentang Allah dan Aqidah Islam. Sedangkan ilmu Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan cara kita beribadah kepada Allah. Ilmu yang berkaitan tentang kewajiban sehari-hari juga wajib dipelajari. Misalnya ilmu tentang sholat. Kan nggak bisa tuh kita sholat tanpa ilmu. Nanti malah ngawur dan salah. Ilmu juga adalah bekal kita kepada ketaqwaan. So, menuntut ilmu itu kewajiban dan juga kebutuhan, ya. Catet deh!
Jadi nih, niat dan tujuan menjadi santri atau penuntut ilmu itu harus semata-mata untuk mencari ridho Allah Ta’ala dan untuk memperoleh pahala yang akan menjadi bekal kehidupan kitab di akhirat (tentu berharap di surga, dong). Kita menuntut ilmu juga untuk menghilangkan kebodohan pada diri kita. Dan yang terakhir, untuk menghidupkan dan menegakkan agama Islam. Bisa kan? Kudu!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Niat dan tujuan tadi, jangan diremahkan. Tapi juga jangan dianggap berat. Karena kalau kita remehkan, khawatirnya malah terlalaikan. Sedangkan kalau dianggap memberatkan, bisa-bisa kita malah merasa bahwa menjadi santri adalah beban. Memang awalnya sulit untuk merasa nyaman. Tapi seperti kata guru saya tadi, “Bisa karena biasa, biasa karena dipaksa.” Maka kita harus memaksakan diri kita sendiri sedikit saja.
Beneran! Karena ada loh, teman-teman santri yang masih nggak nyaman dengan status santrinya. Mungkin di antara kamu juga ada yang merasa begitu. Alasannya banyak. Mungkin merasa peraturan di pesantren atau di boarding terlalu ketat, atau karena fasilitasnya yang tidak senyaman di rumah, atau karena sekolah 24 jam yang membuat sulit bertemu dengan orangtua dan teman, atau bahkan merasa gengsi teman-teman lamanya bersekolah di sekolah formal. Sebenarnya tidak ada orang lain yang bisa mengobati ketidak-nyamanannya itu, sobat. Sebab, yang bisa melakukannya adalah diri kita sendiri. Sungguh!
Tapi kalau udah terlanjur nggak nyaman bagaimana? Rasanya ingin sekali pergi dari lingkungan pesantren ini. Kalau begitu, kita harus memperbaiki motivasi kita. Jangan kita yang terbawa oleh hawa nafsu. Kitalah yang harus mengendalikannya. Memotivasi diri adalah cara yang bagus untuk mengembalikan semangat. Oya, untuk diri saya sendiri, saya selalu memotivasi diri saya dengan beberapa hal. Apa aja tuh?
Pertama, selalu ingat bahwa kita pasti bisa melewati segala masalah. Pepatah Inggris mengatakan, “You can, if you think you can.” Kamu bisa, jika kamu berpikir bahwa kamu bisa. Pepatah Arab mengatakan, “Man jadda, wa jada. Man shabara, zhafira.” Siapa yang bersunguh-sungguh, dia akan berhasil. Siapa yang sabar, ia akan … “Inna Allaha Ma’anaa.” Allah bersama kita. Kita bisa kalau kita mau, dan Allah selalu bersama kita jika kita mendekat kepadanya.
Kedua, selalu ingat bahwa yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri. Jadi kalau kita melakukan hal-hal yang justru membuat kita tidak produktif, dampak langsungnya akan langsung jatuh kepada kita. Misalnya karena kita sedang kesal dengan peraturan pesantren atau boarding yang super nyebelin. Terus kita malah galau dan menjadi malas. Wah, kalau tidak segera dihentikan, galau dan malasnya bakal nggak bisa berhenti.
Ketiga, selalu ingat bahwa kita tidak ingin membuat ayah dan ibu kita bersedih. Apa yang akan orangtua pikirkan jika kita sedih ketika masuk pesantren. Orangtua pastinya menginginkan yang terbaik untuk kita ketika memasukkan kita ke sekolah berasrama. Agar kita menjadi orang yang bertakwa dan mengerti ilmu Islam. Tidak ada orangtua yang menginginkan keburukan untuk anaknya. Begitu pun seorang anak. Seorang anak pasti ingin membuat orangtuanya bahagia. Iya, kan?
Keempat, kalau emang kamu udah nggak betah banget, nggak tahan bahkan sampai ilmunya nggak bisa masuk, pindah aja. Cari tempat lain yang lebih nyaman, yang guru-gurunya bisa lebih cocok buat kamu jadiin teladan, yang ilmunya bisa diserap dengan baik, lingkungannya nyaman, dan yang lebih penting bisa membuat kita lebih baik dalam ilmu dan amal. Kembali ke niat awal menuntut ilmu itu wajib karena Allah Ta’ala. Jangan asal pindah aja karena ngikutin hawa nafsu dan karena pengaruh teman. Bisa bahaya. Maka, niat kudu kuat, Bro en Sis.
So, akhirnya menjadi santri itu menyenangkan kalau kita suka. Kalau kita awalnya belum suka karena memang wawasan kita kurang, yah, kita harus memaksakan diri untuk menyukainya. Insyaa Allah lama-lama akan terbiasa dan menjadi suka. Kita harus selalu memotivasi diri, memperbaiki niat dan tujuan. Jangan minder kalau dikenal sebagai santri. Malah kita harus bangga. You must be proud when you’re in the Islamic institution. Oke! [Fathimah NJL | Twitter @FathimahNJL]