Sunday, 24 November 2024, 07:15

gaulislam edisi 341/tahun ke-7 (6 Rajab 1435 H/ 5 Mei 2014)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Alhamdulillah bisa ketemuan lagi melalui jembatan komunikasi kita bernama buletin. Pada edisi ke-341 ini, sengaja membahas tentang betapa beratnya manusia untuk meninggalkan maksiat. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Ada satu pepatah menarik yang pernah saya dapatkan ketika mengisi salah satu acara bedah buku. Pengisi acara yang lain menyampaikan sebuah kata-kata mutiara: “Orang yang terbiasa berada dalam kegelapan, cahaya terang sangat menyilaukan”. Saya catat dalam ingatan saya. Saya tulis agar tak lupa. Pesan ini sangat bermakna bagi saya. Betapa dulu yang pernah saya rasakan, memang berat meninggalkan kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan. Anggapan yang sudah bercokol di benak harus dipaksa berubah bukanlah hal yang mudah. Saya berempati dengan teman-teman yang masih belum mau meninggalkan kebiasaan yang buruk untuk berganti dengan kebiasaan yang baik. Memang tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa diubah.

Oya, sebenarnya “kebiasaan” itu netral lho. Karakter “kebiasaan” itu sulit dimulai, dan sulit juga dihentikan. Beruntung bagi yang sudah melakukan “kebiasaan” baik, akan sulit baginya dipaksa untuk melakukan “kebiasaan” buruk. Tapi perlu kesadaran penuh bagi yang sering melakukan kebiasaan buruk, untuk dipaksa melakukan kebiasaan baik. Ia perlu banyak merenung dan menimbang-nimbang pikir dan rasa.

Sobat gaulislam, orang yang selalu berbuat maksiat belum tentu maksiat selamanya. Asalkan dia ingin berubah menjadi baik, dan selama ada niat dan usaha untuk mewujudkannya, insya Allah ada jalan. Ada kisah menarik yang perlu menjadi inspirasi bagi kita. Kamu tahu Syaikh Fudail bin Iyadh? Bagi yang pernah tahu, beliau adalah salah satu guru Imam asy-Syafii. Tahukah masa lalunya?

Nah, inilah kisahnya: Fudhail bin Iyadh, semasa masih jahat, bermaksud mengganggu seorang wanita jelita. Ketika sedang memanjat tembok rumah wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya dari jendela rumah alunan merdu bacaan al-Quran yang artinya: “Belumlah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” (QS al-Hadiid [57]: 16)

Ayat tersebut menyentak sanubari Fudhail bin Iyadh, membuatnya terdiam di atas tembok. Tiba-tiba Bin Iyadh merasa persendiannya lumpuh. Lalu dengan tubuh gemetar dia mengiba, “Oh Tuhan, telah tiba waktuku. Telah tiba waktuku.” Dia pun turun dari tembok dan berjalan pulang dengan hati bertaubat setulus-tulusnya.

Karena kemalaman di jalan, Bin Iyadh istirahat di sebuah rumah kosong yang ditemuinya. Namun ternyata, di dalam rumah tua itu ada serombongan musafir yang tampaknya juga sedang beristirahat.

“Ayo kita berangkat sekarang saja,” dari luar bilik Fudhail mendengar seorang dari mereka berkata demikian.

Yang lain menjawab, “Jangan, lebih baik tunggu sampai pagi. Sebab, pada malam-malam seperti inilah biasanya si Fudhail menjalankan aksinya.”

Mendengar percakapan mereka itu, Fudhail menampakkan dirinya sambil berkata, “Akulah Fudhail. Tapi jangan takut, sekarang aku telah bertaubat dan tidak akan menyamun lagi.” (Islamia, April-Juni 2005)

 

Inspirasi untuk tinggalkan maksiat

Sobat gaulislam, banyak teladan di masa lalu yang bertaubat dari maksiat yang dilakukannya. Tak sedikit sahabat Nabi Muhammad saw. yang awalnya adalah musuhnya dan musuh Islam. Tahu kan Umar bin Khaththab ra? Semasa jahiliyahnya, yakni ketika belum jadi muslim, Umar bin Khaththab adalah halangan bagi dakwah Islam. Selain beliau, yang jadi halangan dakwah saat itu adalah Umar bin Hisyam alias Abu Jahal. Sampai-sampai Rasulullah saw. berdoa memohon kepada Allah agar Islam bisa kokoh dengan salah satu dari dua orang bernama Umar ini. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzii dari Abdullah bin ‘Umar ra, dan ath-Thabranii dari Abdullah bin Mas’uud ra dan Anas bin Malik ra, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda dalam doanya, “Allahummaa, kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan Umar bin al-Khaththab atau dengan Abu Jahal (Umar bin Hisyam).”

Mau tahu kisahnya? Begini riwayat singkatnya:

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Anas bin Malik ra dan Abdullah bin Abbaas ra, bahwasanya di tengah perjalanan mencari mereka, Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah an-Nahlam al-Adwii, atau seorang laki-laki dari Bani Zuhrah, atau seorang laki-laki dari Bani Makhzum, yang bertanya kepadanya, “Hendak kemana engkau wahai Umar?” Lantas dijawab oleh Umar dengan geramnya, “Aku mencari Muhammad yang telah memecah belah persatuan kita, mengacau ketentraman Quraisy, dan mencela agama nenek-moyang. Aku ingin membunuhnya!”

Orang tadi lalu bekata kepada Umar, “Demi Allah, kau sangat sombong wahai Umar. Apakah kiranya Bani Abdi-Manaf akan membiarkan kau berjalan di atas bumi setelah kau berhasil membunuh Muhammad? Apa yang bisa menjamin keamanan dirimu dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuh Muhammad?”

Umar kemudian menjawab, “Menurut pengamatanku, rupanya engkau telah keluar dan meninggalkan agama yang telah engkau peluk selama ini.”

Orang itu lantas menjawab, “Bagaimana jika kutunjukkan sesuatu yang membuatmu lebih tercengang wahai Umar? Sesungguhnya saudarimu dan iparmu juga telah keluar dari agama serta meninggalkan agama yang selama ini engkau peluk. Adikmu Fathimah dan suaminya telah menjadi pengikut Muhammad. Lebih adil engkau habisi mereka terlebih dahulu!”

Mendengar kabar itu, maka dengan terburu-buru Umar berlalu dan begegas menuju rumah Fathimah binti al-Khaththab, adik perempuannya. Di rumah Fathimah saat itu ada suaminya yaitu Sa’id bin Zaid bin Nufail dan kawan mereka yaitu Khabbaab bin al-Arat ra. Mereka sedang mendengarkan ayat al-Quran yang dibacakan oleh Khabbab yaitu dari surah Thaahaa (surat ke 20 dalam al-Quran). Ketika Khabbab mendengar suara kedatangan Umar, dia segera menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fathimah menyembunyikan Shahifah (lembaran) berisi ayat al-Quran. Namun tatkala mendekati rumah adiknya tadi, Umar sempat mendengar bacaan Khabbab di hadapan adik dan iparnya.

“Apa suara bisik-bisik yang sempat kudengar dari kalian tadi?” tanya Umar ketika sudah masuk rumah. “Hanya sekadar obrolan di antara kami, “ jawab Fathimah dan suaminya. “Kupikir kalian berdua sudah keluar dari agama,” kata Umar lagi. Kemudian Sa’id bin Zaid bin Nufail yang merupakan adik ipar Umar itu berkata, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran ada dalam agama selain agamamu?”

Seketika Umar melompat ke arah adik iparnya dan memukul mukanya hingga jatuh tak berkutik lantas menginjaknya keras-keras. Fathimah kemudian mendekat untuk menolong suaminya dan mengangkat badannya. Namun Umar memukul Fathimah hingga bibirnya luka dan bercucuran darah.

Demi melihat keadaan adiknya, Umar akhirnya sadar dan timbul rasa iba dalam hatinya. Sementara Fathimah dengan berang berkata kepadanya, “Wahai Umar, benar kami telah memeluk Islam, beriman kepada Allah dan RasulNya. Sekarang kau boleh berbuat apa saja terhadap kami.” Kemudian Fathimah berkata lagi, “Wahai Umar, jika memang kebenaran itu ada dalam selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Ilaah selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”

Umar mulai merasa putus asa, dan dia melihat darah yang meleleh dari wajah adiknya. Maka Umar merasa menyesal dan malu atas perbuatannya. Lalu ia berkata, “Serahkan lembar-lembar yang kalian baca itu kepadaku. Aku ingin membaca apa yang telah diajarkan Muhammad!” Tetapi Fathimah menjawab, “Engkau adalah orang yang najis. Shahifah ini tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci. Bangun dan mandilah jika mau!” Maka Umar segera mandi dan setelah itu memegang Shahifah tadi dan mulai membaca isinya yaitu surat Thaahaa dari awal dengan membaca, “Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Lalu Umar berkata, “Nama-nama yang bagus dan suci.” Kemudian ia melanjutkan pembacaan dari ayat satu hingga berhenti pada firman Allah di ayat 14: Innanii anallaahu laa ilaaha illaa ana fa’ budni wa aqimish shalaata li dzikrii. Diterjemahkan, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.”

Setelah membaca ayat tersebut, sanubarinya tersentuh dan Umar serta merta sadar bahwa yang telah dibacanya belum pernah terdengar olehnya. Maka tiba-tiba secara drastis suara dan sikapnya berubah. Umar lantas berkata, “Alangkah indah dan mulianya kata-kata ini! Tunjukkan padaku di mana Muhammad berada saat ini!”

Mendengar perkataan Umar barusan, maka Khabbaab bin al-Arat muncul dari belakang ruangan dan berkata, “Terimalah kabar gembira wahai Umar. Karena aku benar-benar berharap agar doa Rasulullah saw. pada malam Kamis itu jatuh kepada dirimu. Segeralah engkau menghadap beliau, wahai Umar!”

Singkat cerita, Umar bin Khaththab masuk Islam langsung di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, sesampainya Umar di kamar dan bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia disambut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara memegang baju dan pegangan pedangnya, lalu menariknya dengan tarikan yang keras seraya bersabda, “Apakah engkau tidak mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, hingga Allah menurunkan kehinaan dan bencana seperti yang menimpa al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah. Inilah Umar bin al-Khaththab. Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin al-Khaththab.”

Umar kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, aku datang untuk menyatakan iman kepada Allah dan kepada RasulNya serta apa-apa yang datang dari Allah.” Umar berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilaah selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah.”

Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah seseorang yang memiliki watak tempramental dan sulit dihalang-halangi, sehingga dengan dirinya masuk ke dalam Islam sangat mengguncangkan orang-orang musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka. Sebaliknya, hal ini mendatangkan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang-orang muslim.

 

Kita juga bisa berubah

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Subhanallah. Tak ada yang mustahil. Siapa pun bisa menjadi baik. Ahli maksiat sekalipun bisa berubah jadi baik, bahkan jadi ulama. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa juga menyaksikan satu per satu kawan kita menjadi baik. Teman sepermainan kita yang lama tak jumpa, ketika bertemu sudah berubah penampilannya dan juga sikapnya. Berubah pula akhlaknya. Dia menemukan kebenaran Islam di tempat lain. Bukan mustahil bukan?

Kita yang kini termasuk para pengemban dakwah, bisa jadi bukanlah orang yang baik-baik di masa lalu. Bisa jadi malah penghalang dakwah. Seorang kawan pernah bercerita, bahwa ketika dirinya sekolah di SMA, kepala sekolahnya sangat tidak setuju dengan siswi yang mengenakan kerudung dan jilbab. Bahkan sempat bersitegang mempertahankan pendapatnya bahwa dirinya memimpin sekolah umum, bukan pesantren. Namun ketika dirinya dipindahkan tugas ke sekolah lain beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, ternyata ada kabar baik, bahwa kini dirinya sudah mengenakan kerudung. Sudah berbusana muslimah, dan malah baik kepada siswi yang mengenakan kerudung dan jilbab.

Ya, ini menunjukkan bahwa tak selamanya manusia itu berada dalam maksiat. Tak selamanya terus berbuat dosa. Pasti ada saatnya untuk berbuat baik. Asalkan ada kemauan untuk mengubah. Memang cukup berat meninggalkan maksiat, tapi bukan berarti harus menyerah, apalagi “kepalang basah”. Tidak. Kesadaran untuk berubah jauh lebih baik dan bisa mengalahkan hawa nafsu untuk maksiat. Insya Allah. Percayalah! Ayo, segera berubah, Sobat! [solihin | Twitter @osolihin]