gaulislam edisi 729/tahun ke-15 (4 Rabiul Awwal 1443 H/ 11 Oktober 2021)
Nah, ini pertanyaan yang perlu kamu jawab, Bro en Sis. Sering sih saya menemukan di kalangan remaja seusia kamu, masih ada yang belum bisa konek antara ilmu dan amalnya. Belum bisa nyambungin antara ilmu dan amalnya. Mereka tahu ilmunya, tetapi tak beramal dengannya. Normalnya, kalo udah tahu ilmunya, maka amalkan ilmu tersebut. Bener apa betul?
So, kalo udah tahu bahwa shalat lima waktu itu wajib bagi muslim yang berakal dan kategori mukallaf (terbebani hukum), ya berarti wajib melaksanakannya. Kalo cuma tahu, tetapi nggak melakukan, artinya nggak beramal dengan ilmu tersebut. Contoh lain, banyak remaja yang udah belajar Islam, bab pergaulan. Udah tahu hukum pergaulan antara laki dan perempuan. Batasan, aturan, dan konsekuensinya. Eh, ternyata masih ada lho yang nekat lompat pagar, yakni ngelakuin pacaran. Duh, itu kan punya ilmu tetapi nggak diamalkan. Mestinya kalo udah tahu bahwa pacaran dilarang dalam syariat Islam, maka cara mengamalkan ilmunya adalah dengan menghindari aktivitas tersebut alias nggak ngelakuin pacaran.
Sama halnya tahu bahwa api sifatnya bisa membakar, maka jangan coba-coba main api sembarangan. Bahkan kalo memang dibutuhkan seperti untuk membakar sampah, tetep aja kudu ati-ati jangan sampe selain sampah kebakar juga, misalnya tangan atau kakimu. Itu namanya orang yang berilmu dan bisa mengamalkan ilmunya.
Apalagi contohnya? Ketika kamu udah tahu bahwa berkata kasar dan kotor (jorok) itu dilarang dalam syariat Islam, maka sebagai orang yang udah tahu dan mengamalkan ilmunya, adalah dengan cara tidak berkata kasar atau kotor saat berbicara dengan orang lain. Eh, bukan berarti kalo lagi sendirian boleh berkata kasar dan kotor. Nggaklah. Bukan begitu maksudnya. Saat sendiri aja nggak boleh mengutuki diri sendiri, dan itu biasanya kalo mencela diri sendiri dengan kata-kata kasar dan kotor, apalagi kalo dilakukan kepada orang lain. Lebih nggak boleh lagi.
Bagaimana faktanya? Ada aja sih, saya temukan remaja yang berkata kasar dan kotor (sifatnya pornografi, gitu) ketika sesama mereka terlibat obrolan. Ngeri euy. Padahal, saya tahu mereka udah belajar tuntunan adab dalam berbicara. Kok bisa ya begitu? Nggak nyangkut antara ilmu dan amalnya? Salahnya kira-kira di mana?
Yuk, kita bahas sampai tuntas. Siap-siap, ya.
Ilmu dan amal saling terkait
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujadalah [58]: 11)
Maka, berbahagialah kalo kita menjadi orang yang beriman dan memiliki ilmu. Akan ditinggikan derajatnya. Terutama ilmu agama. Ilmu umum saja kita sering melihat banyak orang yang menghargai pemilik ilmu, apalagi ilmu agama. Namun, jangan lupa bahwa ilmu, terutama ilmu agama, wajib diamalkan. Kalo nggak, ya bisa berdosa.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS ash-Shaff [61]: 3)
Sobat gaulislam, bisa jadi kita udah sering mendengar nasihat dari guru-guru kita, dari ustaz yang berceramah, dari ulama yang berdakwah, bahwa amalkan ilmumu. Betul, ilmu harus diamalkan. Bukan sekadar tahu saja, hanya wacana belaka, lalu merasa pintar, berbangga diri. Kalo sekadar tahu tetapi nggak beramal, itu sih rugi, ya. Rugi banget.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan barang siapa yang mencari ilmu, bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan)” (dalam Hilyatul Auliya’, jilid 2, 378)
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Permisalan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” (Hilyatul Auliya’, jilid 4, 71)
So, jangan sampe nih akal kita penuh dengan ilmu, tetapi tidak menggerakkan hati kita untuk beramal dengannya. Hawa nafsu kita masih lebih menguasai ketimbang akal kita. Mestinya jika sudah begini, tanda alarm bahaya berbunyi. Kita perlu merenungkan dan akhirnya tumbuh kesadaran, lalu bertanya: mengapa bisa begitu? Ya, muhasabah diri. Sebab, sangat merugi jika banyak ilmu yang didapat, tetapi nggak diamalkan.
Aneh banget sih, kalo kamu udah dapetin ilmu, misalnya adab terhadap al-Quran. Udah sering dikasih tahu sama guru, dikasih tahu ortu. Maka semestinya pengetahuan itu jadi ilmu dan menggerakkan untuk beramal. Ketika tahu bahwa ada poin penting dalam adab terhadap al-Quran, yakni salah satunya membaca (tilawah) al-Quran, mestinya kita tergerak untuk senantiasa berusaha membaca (tilawah) al-Quran sebanyak yang kita bisa dalam sehari. Pahalanya besar. Membaca 1 huruf diberikan ganjaran 10 kebaikan. Jadi, kalo udah tahu, berarti udah berilmu tuh, ya amalkan dengan bersemangat membaca al-Quran sesering mungkin.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendorong umatnya untuk giat membaca al-Quran dan menerangkan besarnya pahalanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR Tirmidzi no: 2910, dari `Abdullah bin Mas’ud)
Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Quran ini. Namun, siapa di antara kita yang selalu berusaha mengamalkannya? Sebab, tujuan belajar, bukan sekadar untuk pengetahuan saja, tetapi tujuannya yang tertinggi adalah untuk diamalkan. Jadi, ilmu dan amal ini saling terkait. Rugi punya ilmu kalo nggak beramal. Nggak diamalkan. Begitu pun amal tanpa ilmu bisa bahaya, bisa salah. Bahkan berpotensi menjerumuskan kita kepada keburukan dan kemaksiatan. Betul, meski niatnya baik, misalnya mau shalat, tetapi karena nggak punya ilmu tentang shalat, berpotensi nggak sah atau bahkan nggak diterima shalatnya. Catet, Bro en Sis.
Itu sebabnya, alangkah indahnya perkataan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah terkait ilmu, “Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, jilid 1, hlm. 104)
Iman, ilmu, amal
Sobat gaulislam, kita udah panjang lebar ngomongin ilmu dan amal. Benar. Itu penting, karena ilmu yang nggak diamalkan, bisa membuat kita celaka. Kita tahu tapi nggak mau tahu, itu lebih parah lagi. Allah Ta’ala murka. Amal tanpa ilmu, bisa berpotensi rugi dan terjerumus pada kesia-siaan dan bahkan kesalahan.
Namun, yang terpenting dari semua itu, tentu saja keimanan. Sebab, kalo kita punya ilmu dan bisa beramal, nggak ada nilainya kalo nggak dilandasi keimanan. Ini sekadar penegasan aja. Sebab, adakalanya juga terlalu bersemangat mencari ilmu, namun lupa beramal. Ada pula yang beramal, tetapi seperlunya karena tak punya ilmu. Dan, lebih bahaya lagi, meski mengamalkan ilmu dan beramal sesuai ilmunya, namun dia imannya cacat atau malah nggak beriman. Rugi kuadrat, jadinya.
Imam al-Muzani rahimahullah berkata, “Iman itu perkataan dan perbuatan, bersama dengan keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan, dan amalan dengan anggota badan. Perkataan dan perbuatan itu sama, saling mendukung satu dan lainnya, saling terkait satu dan lainnya, dan keduanya tidak dibedakan (sama-sama termasuk iman). Tidak ada iman yang benar melainkan dengan amalan. Tidak ada amalan yang diterima melainkan dengan beriman.”
Nah, ini artinya, sekadar penegasan aja, bahwa keimanan adalah dasar utama agar ilmu dan amal kita nggak sia-sia. Contoh mudahnya, orang kafir yang berilmu dan beramal dengan ilmunya, akan sia-sia. Nggak dinilai ilmu dan amalnya. Misalnya ada ahli astronomi, ilmunya mumpuni, amalnya juga banyak semisal menulis jurnal tentang astronomi, membuat observatorium (tempat untuk melihat langit dan berbagai peristiwa yang berhubungan dengan angkasa) yang didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, tetapi dia nggak beriman, jadinya sia-sia. Di akhirat nggak jadi pemberat timbangan amal shalih.
Itu sebabnya, menjadi penting bahwa iman, ilmu, dan amal itu saling terkait. Satu kesatuan. Nggak bisa dipisahin. Maka, berbahagialah kita yang muslim dan beriman. Mestinya hal itu mendorong kita untuk semangat belajar dalam meraih ilmu, dan ketika mendapatkannya, segera amalkan. Ilmu agama tentu yang utama, ilmu umum seperti sains dan teknologi, jadikan sebagai pendukung untuk mendakwahkan agama. Jangan lupa, amalkan untuk diri sendiri dan sebarkan untuk orang lain. Insya Allah barokah.
Nah, bagaimana dengan ilmu dan amalmu sekarang? Semoga ilmu yang didapat bermanfaat, dan menjadikan amalmu tak sesat. Lebih keren lagi, kian meneguhkan keimananmu kepada Allah Ta’ala.
Bro en Sis rahimakumullah, sebelum menutup tulisan di edisi kali ini, saya kutipkan pernyataan Imam al-Ghazali. Beliau, dalam Kitab Ayyuhal Walad memberikan nasihat kepada muridnya. Ia juga menyampaikan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ancaman bagi orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Manusia yang paling berat mendapatkan siksa di hari kiamat, yaitu orang yang mempunyai ilmu, yang Allah tidak memberi manfaat atas ilmunya.”
Imam al-Ghazali kepada muridnya menyampaikan bahwa memberi nasihat itu mudah, yang sulit adalah menerima nasihat. Karena nasihat bagi orang yang menuruti hawa nafsunya terasa pahit, karena hal-hal yang dilarang dicintai oleh hatinya. (laman republika.co.id, 20 Januari 2021)
Nah, itu sebabnya, kita berupaya untuk terus memperbaiki keimanan kita dan semangat meraih ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu agama, lalu kita amalkan dalam beragam amal shalih. Semoga barokah untuk semuanya. [O. Solihin | IG @osolihin]