gaulislam edisi 604/tahun ke-12 (15 Ramadhan 1440 H/ 20 Mei 2019)
Ternyata nggak semua orang yang bangun dari tidur itu sadar, lho. Bisa jadi malah tidur lagi. Kayak di lagunya Mbah Surip dalam genre reggae beberapa tahun lalu, “Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Bangun… tidur lagi”
Kalo kayak gitu, berarti jelas banget belum sadar. Nah, itu kondisi yang disebut cuma bangkit, tapi tanpa kebangkitan. Bangkit doang artinya bangun atau berdiri. Tapi kebangkitan itu mirip dengan kebangunan yang berarti menjadi sadar. Beda banget, kan?
Itu sebabnya, kalo kita cuma teriak-teriak ayo bangkit tapi nggak bergerak dengan konsep kebangkitan, berarti baru sekadar bangun dari tidur, lalu duduk. Bisa jadi malah tidur lagi. Maksimal cuma berdiri, tapi karena nggak ada niatan untuk melakukan kebangkitan, jadinya mager alias males gerak. Artinya, kebangkitan itu tak ditentukan oleh inspirasi dari orang lain. Tetapi lebih banyak dari diri sendiri. Inspirasi sekadar pemicu, bukan penentu. Maka, dorongan dari dalam diri untuk mau berubah dan bangkit lalu bergerak menuju kebangkitan yang hakiki, memang perlu visi, misi, dan komitmen.
Sobat gaulislam, mungkin kamu pernah ya dimotivasi oleh ortumu, gurumu, atau teman-temanmu. Tetapi ternyata kamu nggak bergerak juga untuk mengikuti apa yang dicontohkan atau dicoba didorong oleh mereka yang memberimu inspirasi atau motivasi. Maka, dorongan dalam diri sendiri yang lebih berpotensi menentukan hasil. So, jadilah pribadi yang siap bangkit dengan visi kebangkitan. Sebab, bangkit tanpa kebangkitan itu jadinya nggak punya visi dan misi. Beneran!
Apa yang dibangkitkan?
Salah satu alasan buletin kesayangan kamu ini membahas tema bangkit dan kebangkitan, karena pas terbit hari ini, memang bertepatan dengan momen kebangkitan nasional bagi negeri ini. Ya, tanggal 20 Mei. Diperingati dan dijadikan semacam inspirasi untuk terus menempuh kebangkitan. Walau, sampai sekarang, kebangkitan hakiki tak jua diraih.
Bisa jadi malah mungkin memang tak mau bangkit secara hakiki. Masih betah menikmati bangkit biasa aja. Sekadar bangkit tanpa merasa perlu kebangkitan. Bisa juga merasa harus bangkit, tapi salah cara sehingga yang terjadi salah jalan. Artinya, gagal bangkit menuju kebangkitan hakiki. Bangkit sih, tapi arahnya salah.
Nah, kita perlu menjawab pertanyaan yang dibuat untuk subjudul ini: “apa yang dibangkitkan?”. Ya, kira-kira menurut kamu apa? Begini deh. Misalnya, Si A nilai mapel Kimia jeblok. Pertama kali dicari adalah penyebabnya. Setelah dianalisa, dia rajin sih, tapi dia nggak paham materi tersebut. Dites, memang nggak bisa. Kalo mau lebih detil bisa ditanya dari sisi penyebab dia nggak paham pelajaran tersebut. Bisa saja dari faktor guru yang menyampaikan terlalu cepat bagi dia, kapasitas cara berpikir belum bisa ngikutin. Bisa juga, dia lemah di hafalan, bisa juga faktor lain, semisal di keluarga yang membuat dia gagal fokus sehingga susah belajar. Ujungnya ya nggak ngerti pelajaran.
Ini jelas terlalu banyak penyebab. Maka perlu dicari penyebab utamanya berdasarkan sebab-sebab yang dipaparkan tadi. Misalnya, oh ternyata dia itu sebenarnya kalo dibilang rajin belajar ya memang rajin. Tapi kesulitan untuk fokus. Sehingga energinya itu jadi kurang optimal. Mudah terganggu dengan berbagai kendala.
Maka solusi agar dia bisa bangkit dengan nilai bagus adalah diajarin terlebih dahulu agar bisa fokus. Kalo rajinnya kan udah bagus. Kalo cuma disuruh rajin belajar insya Allah bisa, tapi bukan perbaikan utama. Perbaikan utama ke upaya untuk bisa fokus belajar. Maka, jika fokusya sudah terjaga, insya Allah akan mudah bagi dia memahami karena faktor pendukung dari sisi rajin belajar sudah dia punya.
Sekarang kita coba yang agak luas ya. Contoh masalah pendidikan. Di negeri kita, sebenarnya banyak orang pinter. Pendidikan pun ada berjenjang dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA/SMK, Perguruan Tinggi. Untuk tingkat SD-SMA ada dibuat yang khusus pendidikan agama. Jadi ada yang ada sederajat, SD itu sederajat denan MI (Madrasah Ibtidaiyah), SMP dengan MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan SMA sederajat dengan MA (Madrasah Aliyah). Pergurun tinggi pun hingga jenjang S3.
Lulusannya sudah nggak keitung jumlahnya, saking banyaknya. Tapi yang diserap lapangan pekerjaan, tak semuanya. Akhirnya selain banyak yang nganggur, juga yang bekerja tak sesuai jurusannya. Sekadar info, 2 tahun lalu sekira 63% orang Indonesia yang bekerja tak sesuai jurusannya.
Seperti dikutip detik.com, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, pertumbuhan angkatan kerja baru rata-rata sekitar 2 juta orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 37% angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan jurusan pendidikan yang ditekuni. Artinya sebanyak 63% orang Indonesia bekerja tidak sesuai dengan jurusannya.
“Ini jadi masalah, per tahun angkatan kerja baru rata-rata 2 juta. Dari dua juta ini ada 2 problem utama, satu mismatch yang tinggi. Hanya 37% (yang bekerja sesuai jurusan),” ungkap Hanif di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Mungkin banyak yang setuju bahwa lulusan SMK dan sarjana di negeri kita banyak yang pinter dan bekerja di tempat yang mapan. Tetapi, secara umum, pendidikan kita masih kalah jauh dibanding negara lainnya.
World Economic Forum (WEF) merilis hasil pemeringkatan yang dilakukan Worldwide Educating for the Future Index (WEFFI) pada 12 Maret 2019. Laporan WEFFI oleh Economist Intelligence Unit menggunakan 3 indikator utama yakni: (1) inisiatif kebijakan, (2) metodologi pengajaran, dan (3) lingkungan sosial ekonomi dan melibatkan 50 negara sebagai target penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian WEFFI tersebut, berikut pemeringkatan 10 negara terbaik dalam pendidikan berorientasi masa depan: 1) Finlandia; 2) Swiss; 3) Selandia Baru; 4) Swedia; 5) Kanada; 6) Belanda; 7) Jerman; 8) Singapura; 9) Perancis; 10) Inggris.
Bagaimana Indonesia? Dari 50 negara yang menjadi partisipan penelitian, Indonesia berada di posisi ke-43 di bawah China, India dan Kenya. Dalam laporan yang sama, Mesir, Nigeria, Aljazair, Iran, dan Pakistan masuk ke dalam 5 peringkat paling bawah. (kompas.com, 28 Maret 2019)
Oya, ini sengaja dibahas masalah pendidikan karena bulan Mei di negeri kita juga ada momen pendidikan nasional. Kalo ngeliat data yang dikeluarkan sih, memang tidak menempatkan negeri-negeri dengan jumlah penduduk muslim mayoritas pada peringkat tertinggi dalam soal kualitas pendidikan. Terlepas dari standar yang mereka gunakan, tetapi memang secara fakta saja di negeri kita doang udah banyak sekolah dan banyak pelajar tapi kualitasnya bikin malu. Baik dari segi daya saing, maupun dalam adab.
Ini memang PR kita bersama, tak semudah membalikkan telapak kaki gajah yang lagi berdiri (eh, bukannya malah berat banget?). Kalo membalikkan telapak tangan kita sendiri sih insya Allah mudah. Tapi masalah ini dijamin rumit.
Terus mau nyerah gitu aja? Ya, jangan dong. Kita harus cari tahu penyebab utamanya supaya bisa bangkit beneran, kebangkitan hakiki.
Kebangkitan yang sesungguhnya
Sobat gaulislam, untuk mewujudkan kebangkitan yang kita cita-citakan memang butuh keseriusan dari kita semua, kaum muslimin. Meski kamu masih remaja, bukan berarti nggak boleh serius. Justru seharusnya, masa remajamu digunakan untuk mengasah supaya bisa mempertajam kemampuan berpikirmu. Lebih khusus lagi kemampuan untuk berpikir islami. Ada beberapa tahap yang bisa kita jadikan sebagai jalan untuk meniti kebangkitan yang hakiki. Dalam kitab an-Nahdhah (hlm. 132-155), karya Ustadz Hafidz Shalih, dijelaskan sbb.:
Pertama, setiap muslim kudu menyadari tugasnya sebagai pengemban dakwah. Allah Ta’ala berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125)
Kedua, setiap muslim harus memahami Islam sebagai sebuah mabda, alias ideologi. Dengan begitu, kita bisa menjadikan Islam sebagai pedoman hidup kita. Islam bukan hanya mengatur urusan sholat, zakat, puasa aja, tapi sekaligus mengurusi masalah ekonomi, politik, pendidikan, hukum, peradilan, pemerintahan, dsb.
Ketiga, kita kudu berjuang menegakkan Islam. Keempat, melakukan kontak pemikiran dengan masyarakat, nggak cuma diem doang. Sebarkan ide-ide Islam kepada mereka. Kalo ternyata timbul pro dan kontra, itu wajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saja pernah merasakannya. Tenang. Kita di jalur yang benar.
Kelima, harus jelas dalam berjuang. Artinya, kita kudu fokus dan membatasi mana yang pokok, dan mana yang cabang. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf [12]: 108)
Keenam, harus berani melakukan shiraul fikriy (pertarungan pemikiran) dengan berbagai ide sesat yang ada di masyarakat. Misalnya, sampaikan bahwa demokrasi sesat, nasionalisme itu tercela, sekularisme adalah bagian dari kekufuran dan sebagainya.
Ketujuh, selalu meng-update perkembangan yang terjadi di masyarakat. Dan berikan solusinya dengan ajaran Islam. Kedelapan, kita harus bisa menunjukkan kelemahan dan kepalsuan sistem kufur yang tengah mengatur kehidupan masyarakat kita saat ini. Supaya mereka juga ngeh, bahwa selama ini ternyata hidup dalam lingkungan yang tidak islami. Itu sebabnya kita juga mengajak kaum muslimin untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam.
Kita semua punya peran masing-masing dalam perjuangan membangkitkan kembali kejayaan Islam. Sebagai remaja kamu bisa apa: menulis, bikin film, puisi, fotografi, desain grafis, website, programer komputer dan sejenisnya? Maka, jadikan keahlianmu untuk saling sinergi mendukung dakwah. Saling melengkapi.
Sobat gaulislam, umat Islam saat ini jumlahnya banyak, harokah Islam (gerakan Islam) juga banyak, keahliannya juga beragam, sasaran dakwahnya juga beragam (ada yang fokus ke akidah, ekonomi, pendidikan, sosial, pun politik). Nggak apa-apa. Tetap jalankan masing-masing, namun saling sinergi aja. Nggak usah merasa paling benar dan paling berpengaruh dalam dakwah. Semua ada kapasitasnya masing-masing. Nggak usah disamain geraknya. Jalan masing-masing, namun tujuan wajib sama, yakni membangkitkan kejayaan Islam agar Islam bisa tegak dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Tetapi ingat Bro en Sis, kalo hanya sekadar bangkit tapi tanpa kebangkitan—apalagi kebangkitan yang hakiki, rasa-rasanya hanya berhenti pada jargon doang. Nggak ada visi dan misi seperti yang dipaparkan dalam delapan poin di atas. Arahnya jadi nggak jelas. So, hati-hati ya, jangan asal bangkit tapi tak tahu atau tak mau menuju kebangkitan. Buktinya ya, di negeri kita saat ini. Ayo, sadar, belajar, lalu bergerak! [O. Solihin | IG @osolihin]