Wednesday, 4 December 2024, 00:19

gaulislam edisi 438/tahun ke-9 (5 Jumadil Akhir 1437 H/ 14 Maret 2016)
 

Waktu saya sekolah di SD, saya termasuk anak yang nggak bisa diem nyari informasi. Selalu saya tanyakan sesuatu yang saya nggak ngerti kepada orang yang menurut saya pasti tahu. Biasanya paman saya, ibu saya, ayah saya, kadang juga ke temen saya. Pernah suatu ketika seorang teman bisa membuat sebuah mobil mainan dari rakitan bambu dan papan bekas wadah gula merah. Ini jaman dulu, lho. Mungkin sekarang tempat wadah gula merah itu bukan lagi terbuat dari kayu tipis. Saya kesengsem banget pengen bisa bikin juga.

Nah, karena saya takjub dengan kepiawaiannya, maka saya selalu memperhatikan cara dia memilih dan memilah bambu, termasuk papan bekas wadah gula merah untuk dijadikan bahan pembuatan mobil mainan itu. Saya juga memperhatikan bagaimana teman saya itu menggergaji dan memotong bagian-bagian bambu dan papan bekas wadah gula merah tersebut sesuai desain yang diinginkannya. Kalo nggak ngerti saya tanya langsung sambil ikutan membelah bambu dan menghilangkan bagian bulu-bulu bambu yang jika kena kulit biasanya terasa gatal.

Oya, biasanya kalo untuk mobil mainan dari bambu dirakit seperti mobil balap F1. Bagus banget, ada pernya juga. Terus cara menjalankannya pake tongkat dari bambu yang juga berfungsi sebagai kendali karena tongkat ini dihubungkan dengan selongsong bambu yang diisi dengan batang bambu kecil yang kedua ujungnya ditempeli bekas sendal jepit yang berfungsi sebagai ban. Untuk ban belakang, karet bekas sendal jepit itu dipotong melingkar dan dibuat dobel supaya lebih lebar sehingga kesannya jadi lebih kuat untuk menahan beban.

Nah, kalo untuk mobil mainan dari papan bekas wadah gula merah itu biasanya membuat miniatur mobil box atau bak terbuka (truk). Ini agak rumit dibuatnya karena harus banyak memotong papan sesuai dengan bentuk mobil sungguhannya. Untuk bannya sih sama aja, dari karet bekas sendal jepit. Tapi beberapa teman saya, agar rodanya (ban) ini lebih kuat, sering pake batangan kayu ukuran tertentu yang tinggal digergaji aja karena udah membentuk lingkaran. Ketimbang membuat dari karet bekas sendal jepit yang harus dipotong melingkar.

Rupanya, beberapa hari setelah kursus singkat kepada teman itu saya juga mulai bisa mempraktekkan bikin sendiri. Hasilnya, meski tidak terlalu bagus, tapi saya udah bisa berbangga dan merasakan bagaimana menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu sebagai sebuah keahlian. Saya bahagia bisa pinter meskipun cuma bikin mobil mainan tersebut dan hasilnya kurang bagus dibanding buatan temen-temen saya. Mungkin bisa dibayangkan gimana jadinya kalo saya males tanya ini dan itu kepada teman saya tersebut. Sampe sekarang barangkali nggak bisa bikin mobil mainan tersebut. Dan, tentu saja nggak ada prestasi yang bisa dibanggakan di hadapan teman-teman. Ternyata, untuk menjadi pintar itu gampang asal mau memanfaatkan peluang yang seringkali ada di depan kita dan seringkali pula datang hanya sekali.

 

Tanamkan rasa penasaran

Sobat gaulislam, menurut saya, mungkin ini resep jitu agar kita terus berkreasi dan berinovasi. Saya pernah merasa sangat penasaran ketika membaca buku di perpustakaan sekolah waktu SD. Mengapa penasaran? Karena ketika selesai membaca satu buku, saya semangat membaca buku lainnya karena sangat penasaran ingin banyak tahu. Maka, perpustakaan adalah tempat bermain saya dalam melahap banyak bacaan. Kebetulan memang umur lima tahun saya udah bisa baca. Jadi pas masuk sekolah SD, yakni umur 6 tahun ketika duduk di kelas 1, saya tinggal ngelancarin baca aja.

Oya, saat itu bacaan di perpustakaan umumnya didominasi buku-buku dari PN Balai Pustaka. Seru. Ada buku cerita, ada buku ilmu pengetahuan umum, dan tentu buku pelajaran sekolah yang memang diajarkan langsung di sekolah. Di situlah saya menghabiskan rasa penasaran saya dengan banyak baca. Maka, tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya akhirnya sampe hapal beberapa buku cerita, termasuk di dalamnya cerita dalam bahasa Sunda. Selain itu, saya juga jadi tahu tokoh-tokoh dunia dan seri ilmu pengetahuan seperti sejarah dan pembuatan sepeda, sejarah dan perkembangan mobil, juga cara pembuatan jalan dan lain sebagainya.

Kebiasaan saya membaca buku dan meminjamnya dari perpustakaan sekolah adalah karena buku bacaan di rumah sangat sedikit. Meskipun kakek saya seorang guru, bahkan pernah menjadi kepala sekolah, tapi buku bacaannya kalah jumlah dibanding perpustakaan sekolah. Jadi, asal mau repot-repot bawa buku dari perpustakaan sekolah dan menjaganya agar tidak rusak, saya alhamdulillah bisa lebih tahu dibanding temen-temen sebaya saya. Maka, ketika seorang kakak kelas yang juga tetangga saya mengadakan acara semacam cerdas cermat rutin di rumahnya, saya pasti juara 1 terus. Hehehe.. karena soal-soal itu sudah saya kuasai. Hadiahnya? Lumayanlah, kadang dapat buku, pensil, penghapus atau jajanan ringan.

Ketika sekolah di jenjang pendidikan SMP, rasa penasaran saya mulai tumbuh lebih baik. Sebab, rasa penasaran saya benar-benar terpuaskan karena mendapat peluang yang banyak karena fasilitasnya jauh lebih baik dibanding ketika masih SD. Nah, jika waktu SD hanya sebatas membaca dan membaca, maka ketika SMP inilah saya mulai mencoba menulis. Di rumah memang tak ada yang bisa menjadi rujukan dan tempat belajar dalam menulis. Tapi saya berusaha mencari peluang agar bisa menulis adalah dengan memiliki buku harian. Memang waktu itu yang banyak memiliki buku harian adalah anak cewek, tapi saya pikir sebagai cowok nggak ada salahnya juga kalo memiliki buku harian.

Sobat gaulislam, di buku harian itu saya tulis semua kenangan-kenangan saya. Kenangan yang memilukan sampe yang memalukan. Kenangan terindah, juga kenangan teriba. Pokoknya, seru deh. Bahkan saya mulai menulis puisi. Nah, ternyata rasa penasaran saya untuk bisa menulis akhirnya terpuaskan ketika saya mencoba melatih diri untuk menulis melalui buku harian yang saya miliki tersebut.

Alhamdulillah, kalo kita mau pinter caranya sangat gampang dan murah. Asal tetap mau menumbuhkan rasa penasaran sehingga melejitkan minat untuk mencari tahu jawabannya, dan manfaatkan banyaknya peluang yang bisa menghantarkan kepada tujuan kita tersebut. Jika tak punya buku, dan juga tak punya uang, padahal kita ingin banyak tahu tentang segala hal, maka perpustakaanlah jawabannya. Bisa pinjem tuh buku. Dulu waktu SD sih gratis, ketika di SMP bayar tapi nggak mahal.

Sekadar tahu aja, daerah tempat tinggal saya, yakni kampung halaman saya, waktu itu baru ada program listrik masuk desa pada tahun 1984. Saat itu saya udah duduk di kelas 4 SD. Tapi alhamdulillah minat belajar sih tetap jalan. Meskipun kalo malam hari hanya diterangi lampu teplok, paling bagus petromak untuk belajar.

 

Tak perlu malu

Mungkin pepatah lama yang menyebutkan, “Malu bertanya sesat di jalan” ada benarnya juga. Untuk menjadi pinter, memang harus banyak tahu, untuk bisa tahu, bertanyalah kepada yang tahu. Bisa teman, bisa guru, bisa orangtua, bisa siapa saja termasuk “bertanya” kepada buku, koran, majalah, bahkan radio dan televisi. Soalnya, saya sering menyampaikan informasi kepada orang lain tentang segala hal. Bayangkan kalo sampe saya lupa atau malah nggak tahu. Memang sih, lupa dan nggak tahu bisa dimaklumi, tapi dalam prinsip saya, kalo masih bisa belajar dan kemudian tahu sebelum ditanya kan lebih baik. Tul nggak sih?

So, untuk menjadi pintar kita tak perlu malu. Karena peluang untuk bisa menambah wawasan kita sangat banyak. Ketika saya belum ngerti dengan urusan komputer, saya banyak tanya sama beberapa temen saya. Sebenarnya sekarang pun saya tak terlalu menguasai komputer. Saya tak lebih dari sekadar user. Tapi, untuk kemampuan yang dasar-dasar seperti cara meng-install program dan cara mengoperasikan suatu program, saya mencoba untuk belajar dengan cara bertanya ke teman-temen yang memang udah bisa. Setelah tahu sedikit, lalu saya praktikkan sendiri dan ketika bisa jadi puas banget deh. Sekarang, meski masih sering bertanya, tapi gaul tentang tekno, khususnya komputer nggak ketinggalan banget deh. Insya Allah banyak tempat untuk belajar.

Eh, pada akhir tahun 90-an ketika marak diskusi di internet dengan fasilitas grup diskusi dari website e-group.com, yang kepikiran dari saya bukan cuma ingin meramaikan diskusi tersebut, tapi saya malah berusaha bagaimana caranya bikin komunitas sendiri dari fasilitas tersebut. Maka, dengan tanpa rasa malu, dan begitu melimpahnya peluang untuk bisa menguasai di bidang itu, maka saya surfing di internet tentang informasi seputar itu, juga tanya sana-sini sama temen kerja yang duah duluan ngerti. Hasilnya? Alhamdulillah saya bisa bikin grup diskusi sendiri. Meski kemudian tak lama website tersebut dibeli sama Yahoo! dan berganti nama menjadi Yahoogroups. Ada kepuasan tersendiri bisa menguasai keterampilan tertentu dan bisa dimanfaatkan untuk kebaikan.

Begitu pula ketika zamannya blogging. Saya tetap menyimpan rasa penasaran. Meski mungkin telat dibanding yang lain, akhirnya saya mencoba peluang untuk bisa menikmati fasilitas tersebut. Maka, cara paling mudah bagi saya waktu itu adalah langsung daftar aja di situs yang memang menyediakan fasilitas tersebut. Menjajal sebisanya dengan modal bahasa Inggris yang pas-pasan, akhirnya saya bisa memiliki blog. Untuk mendayagunakan kemampuan yang saya miliki, saya nggak malu tuh tanya sama temen-temen yang emang ngerti di bidang itu. Hasilnya, ilmu yang saya dapetin dari banyak temen dan hasil surfing sendiri di “perpustakaan digital” dengan mesin pencari Google, maka saya bisa dibilang menguasai sendiri seluk-beluk blogging. Ehm, boleh dong berbangga diri. Uppss..

Oya, dalam belajar ilmu agama pun saya termasuk orang yang memelihara terus rasa penasaran, sehingga saya berusaha untuk senantiasa belajar dan belajar. Maka, ketika kemampuan menulis saya terus tumbuh dari hasil belajar sendiri dan praktek sendiri itu saya poles dengan pengetahuan umum dan pengetahuan agama sehingga tulisan-tulisan saya ada isinya dan syukur-syukur jika berbobot dan banyak manfaatnya bagi pembaca.

So, banyak peluang untuk menuju pintar. Manfaatkan peluang itu semaksimal mungkin, jangan malu bertanya, dan lejitkan terus rasa penasaran agar tetap tumbuh semangat untuk belajar. Siapa pun bisa menjadi pintar. Nggak ada yang bodoh, tapi yang malas banyak. Beneran! [O. Solihin | Twitter @osolihin]

1 thought on “Banyak Peluang Menuju Pintar

Comments are closed.