gaulislam edisi 836/tahun ke-17 (15 Rabiul Akhir 1445 H/ 30 Oktober 2023)
Like father like son. Mungkin kamu pernah dengar ungkapan ini, ya. Gampangnya sih kalo diartikan: “anak laki-laki sama bapak, sama aja (kelakuannya, gayanya, tabiatnya dan sejenisnya)”. Kata lainnya: “seperti bapaknya, begitulah anaknya”. Mirip dengan peribahasa yang udah dikenal luas, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Ini juga artinya senada, sifat dan sikap anak tak jauh dari sifat dan sikap bapaknya.
Nah, ini bisa positif, bisa juga negatif. Kalo positif tentu dipahami sebagai sebuah kebaikan. Misalnya, ayahnya itu ulama, anaknya jadi ulama. Berarti buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ayahnya pemberani, anaknya juga pemberani. Bagus. Alhamdulillah. Namun, perlu diingat juga, istilah ini bikin ruwet kalo ternyata dilihat faktanya dari sisi negatif. Misalnya, bapaknya maling, anaknya juga maling. Bapaknya penjahat, anaknya juga penjahat. Bapaknya pembohong, anaknya juga pembohong. Meski tak sama persis tingkat kejahatan dan perilakunya, tetapi ada kesamaan dari jenis perilakunya. Aduh, jangan sampe deh.
Sobat gaulislam, kehidupan seseorang dengan orang lain itu bisa berbeda jauh, bisa juga mirip. Namun yang pasti setiap orang akan menjalani kehidupannya masing-masing, dan bertanggung jawab masing-masing atas apa yang dilakukannya. Itu sebabnya, diperlukan pendidikan dan pengarahan kepada generasi berikutnya bahwa apa yang dilakukan bapaknya atau kakeknya, bisa jadi tak sama dengan apa yang kita lakukan. Maka, hidup kita sekarang adalah apa yang kita jalani dan hadapi. Mencontoh bapak dan kakek, boleh saja. Namun, jangan menyandarkan segala sesuatu kepada bapak atau kakek sementara kita nggak sama perjuangannya atau karakternya dengan bapak dan kakek kita. Kita hanya membagus-baguskan masa lalu milik bapak dan kakek, sementara kita nggak kayak gitu.
Misal nih ya, “Kakekku dulu pejuang dan pemberani. Ayahku hebat, dia pejabat”. Begitu selalu jawaban yang dia andalkan ketika menjawab pertanyaan, “Siapa kamu?”
Seharusnya mengatakan, “inilah saya. Saya bisa ini dan bisa itu, punya cita-cita ini dan harapan itu”. Jadi, kalo bilang bapakku adalah ini dan itu, berarti dia sepertinya hanya berlindung di balik kehebatan leluhurnya untuk mengesankan siapa dia sebenarnya. Kasihan banget, sih. Dia nggak pede jadi dirinya sendiri. Kalo kamu juga begitu, sadarlah. Hidupmu yang kamu jalani. Bapak dan kakekmu itu masa lalu. Boleh dijadikan pijakan dan dijadikan teladan untuk memotivasi dirimu. Namun, kamu tetaplah kamu. Tidak semua orang akan memberikan apresiasi yang sama kepadamu hanya karena bapakmu juga dulu hebat. Apalagi kamu nggak punya kehebatan yang sama dengan bapakmu. Kata Cak Lontong, “Mikir!”
Sayang anak, sayang bapak
Seorang bapak atau ayah, pasti sayang sama anaknya. Kamu pasti merasakan itu, ya. Mungkin sayangnya bapak nggak sama dengan level sayangnya ibu kepada kita sebagai anaknya. Beda biasanya. Namun, sama dalam mencurahkan kasih sayang. Perbedaannya ada pada lebih banyak atau lebih sedikit. Intinya, tetap sayang.
Mungkin kamu merasakan kasih sayang bapakmu saat masih kecil. Setiap orang memiliki pengalaman berbeda. Ada yang kalo minta sesuatu yang diinginkan langsung dikasih gitu aja, jor-joran pula. Minta satu dikasih dua atau lebih. Saking sayangnya bapakmu kepadamu. Ada juga tipe bapak yang mau ngasih sesuatu kepada anaknya, tetapi anaknya diminta berjuang untuk mendapatkannya. Kalo saya waktu kecil, ketika minta sesuatu yang saya inginkan, kadang langsung dikasih langsung, kadang diminta bersabar menunggu untuk mendapatkannya.
Teman saya pernah cerita, bahwa kalo dia ingin jajan, sama bapaknya diminta naik pohon kelapa milik keluarga, lalu ambil beberapa kelapa yang dirasa layak dijual, lalu pergi ke pasar atau ke tetangga untuk menjual kelapa tersebut. Perjuangannya lebih berat. Dia cerita, bahwa itulah cara bapaknya mendidik dia. Agar dia bisa tahu kehidupan nanti di masa depan, bahwa untuk mendapatkan apa yang kita inginkan itu belum tentu selalu mudah. Adakalanya (atau sering) malah berat, sulit, bersimbah keringat dan bahkan berdarah-darah.
Ini sekadar cerita aja. Saya dan kawan saya yang saya ceritakan tadi hanya berasal dari keluarga biasa. Bapak saya dan bapaknya kawan saya bukanlah pejabat, bukan pula tokoh masyarakat. Lelaki biasa, kepala keluarga pada umumnya. Ayah bekerja, ibu mengurus rumah tangga. Pasti akan berbeda jika kamu adalah anak pejabat, anak pengusaha, anak tokoh masyarakat. Pastilah ada semacam privilese alias hak istimewa. Masyarakat akan memandang begitu. Sungkan juga lho sama anak kiai. Nggak enak banget nolak sama anak dari tokoh masyarakat. Nggak bisa bebas ngomong atau membantah karena dia anak pejabat.
Privilese semacam ini masih ada di tengah masyarakat. Hak istimewa itu bisa didapatkan dari keturunan, jaringan perteman, kekayaan, dan jabatan. Pasti ada pengaruhnya. Kalo kamu anak pejabat dan bilang bahwa kamu anak pejabat, pasti dimudahkan dalam beberapa urusan yang terkait dengan keperluanmu di suatu instansi yang menjadi relasi bapakmu dan pegawainya mengenal bapakmu. Entah didahulukan, bisa juga tinggal terima beres.
Namun, perlu diingat, meski bapak sayang anak, tetapi bagi yang masih punya rasa malu, dia nggak mau memanfaatkan privilese tersebut. Ada cerita menarik bagi saya, dan ini jadi pelajaran hidup. Dalam suatu urusan saya sering berkomunikasi dengan temannya paman saya. Singkat kata, ketika dia menanyakan kabar paman saya dan juga anaknya, saya jawab alhamdulillah baik dan sehat. Kemudian saya sampaikan bahwa anak paman saya, berarti itu sepupu saya, sempat ikut tes masuk ke sekolah tempat kerja temannya paman saya itu. Beliau kaget, karena saya bilang, bahwa sepupu saya nggak lulus tes. Eh, beliau malah bilang, “Wah, kenapa nggak bilang ke saya. Kalo tahu itu anak pamanmu, saya insya Allah bisa bantu”.
Nah, ini baru level biasa, ya. Seputaran urusan masuk sekolah. Tapi ada juga yang nggak mau memanfaatkan privilese tersebut, tentu dengan berbagai alasan masing-masing. Intinya, tidak semua yang memiliki akses hak istimewa (privilese) dia akan memanfaatkannya. Meski banyak juga yang memang sengaja memanfaatkannya karena dengannya urusan jadi mudah banget. Contohnya, bisa kamu saksikan saat ini, ada anak presiden yang dengan mudahnya jadi ketua partai. Daftar sekarang, besok jadi ketua umum. Nggak melalui mekanisme pengalaman, kinerja, pengabdian, dan sejenisnya. Anaknya yang lain, sepertinya sengaja diberikan kemudahan dengan cara ngakalin melalui salah satu lembaga negara untuk menurunkan syarat batas usia dan pernah punya pengalaman sebagai kepala daerah agar bisa mencalonkan diri jadi cawapres. Nah, ini kentara banget. Sepertinya si bapak sayang banget sama anaknya, atau sebenarnya sayang pada dirinya sendiri dengan cara mengorbankan masa depan anaknya? Nggak tahu, deh.
Belajar dari Islam
Sobat gaulislam, ada pepatah dalam Bahasa Arab (konon ada yang mengutip bahwa ini dari perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu), “Laisal fata man yaqulu kana abi, walakinnal fata man yaqulu ha ana dza.” Pemuda sejati itu bukan yang bangga bilang: “Ini lho bapakku, tapi, inilah aku!”
Bener banget, sih. Biasanya yang nggak pede dengan kemampuan dan karakter diri sendiri itu selalu bilang bahwa aku anak si anu, bapakku keren bisa ini bisa itu. Dia ngomong begitu sambil berharap orang lain bakalan kagum dan segan sama dia. Mungkin bisa jadi segan, tapi kalo kagum rasa-rasanya nggak banget, deh. Beneran. Apalagi kalo kita tahu kualitas dia kayak gimana. Kualitasnya jauh banget dengan bapaknya. Beda level. Lebih parah kalo kualitas dirinya sama dengan kualitas bapaknya yang menurut penilaian masyarakat jauh dari standar intelektual pada umumnya. Rugi kuadrat. Siapa sudi menerima dia?
Ada kisah menarik dalam sejarah. Kalo kamu baca sejarah dalam pemerintahan Islam, dan kisah-kisah para khalifah, insya Allah akan mengenal kisah ini, antara bapak dan anak. Sebagai anak khalifah alias kepala negara, mestinya memiliki privilese alias hak istimewa, sebagaimana kesempatan yang dimiliki anak-anaknya Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun, itu tak dimanfaatkan oleh khalifah. Kisahnya begini.
Putri Umar bin Abdul Aziz menangis karena tak memiliki baju baru di hari raya. Umar pun bertanya, “Apa yg membuatmu menangis?”
Sang putri kecil menjawab, “Semua anak-anak memakai baju baru. Sementara aku yang putri seorang Amirul Mukminin memakai baju lama!”
Umar tak kuasa mendengar tangis putrinya. Dia pun langsung menemui bendahara baitul maal dan berkata kepadanya, “Bisakah gajiku bulan depan engkau berikan sekarang?”
Bendahara bertanya, “Tidak biasanya wahai Amirul Mukminin, ada apa?”
Umar pun menceritakan permasalahannya. Akhirnya, bendahara memakluminya dan berkata, “Gaji bulan depan bisa saya berikan sekarang, tapi dengan satu syarat!”
Umar dengan antusias bertanya, “Apa satu syarat itu?”
Bendahara menjawab, “Wahai Umar, sanggupkah engkau menjamin dirimu hidup sampai bulan depan, agar engkau bisa bekerja dengan gaji yang telah aku berikan di awal?”
Mendengar syarat itu Umar langsung meninggalkan sang bendahara dan langsung pulang. Anak-anaknya bertanya, “Apa yang terjadi wahai ayahku?”
Umar menjawab, “Bisakah kalian sabar agar kita semua masuk surga, ataukah kalian tak sabar sehingga menyebabkan ayahmu masuk neraka?”
Mereka menjawab, “Kami sanggup bersabar, wahai ayah!”
Tentu, hikmah dan pelajaran yang sangat dalam terkandung di dalamnya. Adakalanya kita cenderung merespons tangisan anak dengan segala cara. Cerita mengenai puteri Umar bin Abdul Aziz memberikan pengajaran tentang pentingnya mendidik anak agar memiliki kesabaran. Anak-anak yang selalu didekatkan dengan keimanan, tentu akan tersentuh hatinya dan tak ingin jika harus masuk neraka.
Kira-kira di zaman sekarang ada nggak ya anak pejabat negara yang seperti dalam kisah tersebut? Duh, yang ada malah minta jabatan, atau malah didorong sama bapaknya supaya nyari jabatan. Beda level memang.
Masih tentang Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan bahwa suatu ketika, Amirul Mukminin ini harus menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam. Tiba-tiba, putranya mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk. Umar pun mempersilakannya untuk mendekat.
“Ada apa putraku datang ke sini?” tanya Umar, “Apa untuk urusan keluarga kita atau negara?”
“Urusan keluarga, Ayah,” jawab sang anak. Kontan saja Umar bin Abdul Aziz meniup lampu penerang di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulita.
“Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya itu keheranan.
“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” ujarnya.
Dia lantas memanggil pembantu pribadinya untuk mengambil lampu dari luar dan menyalakannya. Sekarang, lampu yang kepunyaan keluarga kita telah dinyalakan.
“Minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri. Silakan lanjutkan maksud kedatanganmu,” kata Umar bin Abdul Aziz.
Duh, bikin terharu. Ada nggak kira-kira di zaman sekarang yang bapaknya pejabat–bahkan kepala negara, sikapnya seperti itu?
Bisa jadi yang ada malah menyalahgunakan kekuasaannya yang full power karena sebagai kepala negara punya banyak kewenangan dan kekuasaan. Kamu bisa lihat sendiri, gimana sekeluarga menjadi pejabat publik dan bahkan ada yang berupaya meraihnya dengan cara menabrak banyak aturan yang berlaku di negeri ini. Ngeri dan memalukan!
Oke deh. Semoga kamu paham ya dengan pembahasan ini. Bapak dan anak boleh saja bisa bersatu padu, tetapi dalam kebaikan. Boleh aja bekerjasama dan saling menolong, tetapi pastikan bukan memanfaatkan privilese sambil mengorbankan orang lain, apalagi rakyat banyak. Jangan sampe syahwat berkuasa mengalahkan akal sehat. Jangan licik dan berbuat jahat dengan memanfaatkan jabatan. Sadarlah! [O. Solihin | IG @osolihin]