oleh Amran Nasution
Institute for Policy Studies.
Mengapa harga BBM naik? Jawab Pemerintah: Untuk sela-matkan APBN karena harga minyak dunia naik 130 dollar/barel. Jawaban itu jelas salah. Pertama, itu bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD).
Ketika menguji Undang Undang nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi, 15 Desember 2004, Mah-kamah Konstitusi memutuskan bahwa menyerahkan harga minyak pada meka-nisme pasar bebas bertentangan dengan UUD.
Kedua, masih banyak jalan lain bisa ditempuh tanpa harus melanggar UUD, seperti menunda pembayaran utang dan bunga yang jumlahnya sepertiga APBN.? Penundaan bayar utang luar negeri di saat harga minyak dan pangan melangit seperti sekarang, bukan aib dan bukan tabu.
Apalagi nyaris separuh jumlah rakyat kita hidup miskin. Pada 2006, Bank Dunia menyatakan lebih 49 persen rakyat Indonesia hidup di bawah 2 dollar (Rp 18.000/hari). Siapa saja berpenghasilan tak sampai Rp 18.000/hari, pasti orang miskin. Kenaikan harga BBM menyebab-kan mereka tambah miskin, selain menambah jumlah orang miskin baru.
Lagi pula, Presiden Argentina Nestor Kirchner sudah pernah melakukannya. Waktu itu, Desember 2001, Argentina tak mampu membayar utang luar negeri yang sudah jatuh tempo. Para kreditor asing dan IMF menekan habis-habisan, tapi Presiden Kirchner bertahan.
Ternyata langkahnya benar. Hanya tiga bulan kondisi ekonomi Argentina berantakan karena kehilangan keper-cayaan internasional. Setelah itu, ekono-minya kembali stabil, dengan pertum-buhan rata-rata 8 persen/tahun.
Bukan itu saja. Kirchner berhasil mengangkat 8 juta penduduknya dari kemiskinan dan keluar dari krisis eko-nomi yang membelit sejak 1998. Meng-hapus 8 juta kemiskinan dari 36 juta penduduk? tentu kerja luar biasa. Sukses Kirchner disamakan dengan Presiden Franklin D. Roosevelt yang memimpin Amerika keluar dari depresi ekonomi atau great depression (lihat International Herald Tribune, 28 Desember 2006).
Kenapa Presiden SBY tak mencoba langkah Kirchner? Bukankah rakyat Argentina jauh lebih kaya secara ekonomi dibanding kita? Pendapatan perkapita rakyat Argentina lebih 6000 dollar sedang Indonesia hanya 900 dollar (lihat artikel Robert J. Samuelson, The Washington Post, 28 Mei 2008).
Mengapa mereka bisa tak bayar utang sedang kita yang lebih miskin, tidak? Apa lagi langkah IMF dalam menangani krisis ekonomi 1997, terbukti salah. Misalnya, penutupan 16 bank atas perintah IMF tanpa persiapan yang matang menimbul-kan malapetaka kehancuran perbankan Indonesia. Akibat yang ditimbulkannya, BLBI sampai sekarang menggerogoti APBN kita. Kenapa tanggung jawab IMF atas kesalahan itu tak kita tuntut?
Banyak lagi pertanyaan lain yang akan muncul. Persoalannya terletak pada ideologi ekonomi pasar (free-market) yang dianut pemerintah kita, sementara oleh Kirchner itu sudah ditinggalkan. Dalam ideologi ini, kaum pemodal atau pemilik kapital adalah dewa karenanya disebut kapitalisme. Menunda utang adalah dosa besar. Itu merugikan pemilik modal, kaum kapitalisme global atau operatornya IMF dan Bank Dunia.
Dalam sistem ini tangan pemerintah dijauhkan dari ekonomi. Itu adalah urusan kaum kapitalis. Karenanya pembentukan harga diserahkan kepada mekanisme pasar, bukan diatur pe-merintah dengan subsidi, tarif, dan semacamnya.
Sistem ini dirumuskan ekonom Skot-landia, Adam Smith, di pengujung abad ke-18. Ia disebut juga sistem laissez-faire, berasal dari bahasa Perancis, artinya biarkan terjadi. Menurut mereka, eko-nomi akan berkembang jika pemerintah tidur.
Kenaikan harga BBM sekarang akan terjadi lagi di masa datang, sampai harga BBM di Indonesia sesuai harga pasar internasional. Itu dinyatakan sendiri oleh Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro. Katanya, semua subsidi akan dihapus (baca The Washing-ton Post, 29 Mei 2008).
Pernyataan Purnomo jelas sudah melanggar UUD. Tapi memang begitulah yang terjadi selama ini. Lihat saja, di Jakarta dan sekitarnya, sudah dan sedang dibangun sejumlah pompa bensin raksasa milik perusahaan asing Petronas (Malay-sia) dan Shell (Belanda/Inggris). Konon pemerintah sudah mengeluarkan lebih 100 izin pompa bensin untuk asing.
Padahal semua pompa bensin itu sepi pembeli. Puluhan petugasnya berseragam seharian hanya menganggur. Penghasi-lannya tak akan cukup walau sekadar membayar rekening listrik karena mereka hanya menjual BBM non-subsidi.
Kalau mereka terus bertahan, malah pompa bensin baru terus dibangun, itu tak lain karena ada jaminan subsidi BBM akan dicabut. Dengan itu mereka bisa bersaing bebas dengan pompa bensin pribumi yang selama ini berada di atas angin karena menjual BBM bersubsidi. Pada waktu itu nanti, bisa dipastikan pompa bensin pribumi akan rontok satu persatu menghadapi pompa bensin asing milik kapitalisme global bermodal rak-sasa.
Itu sudah terjadi dalam kasus Carre-four. Raksasa eceran dari Perancis itu masuk kesini setelah reformasi 1998. Ia sukses menghancurkan super-market Golden Truly dan Hero, serta para peda-gang eceran di Tanah Abang atau Cipulir.
Kini ia merajai pasar eceran. Semen-tara, entah berapa banyak pedagang eceran kita jatuh bangkrut dan menjadi miskin. Begitulah sistem kapitalisme: yang besar menelan yang kecil, yang kuat menginjak yang lemah.
Oleh karenanya di mana sistem ini dijalankan, orang kaya pasti bertambah kaya, orang miskin akan tambah miskin. Itu terjadi di Indonesia sekarang. Majalah Forbes melaporkan, pada tahun 2007, kekayaan 40 konglomerat Indonesia meloncat dua kali lipat.
Kekayaan Menko Kesra Aburizal Bakrie malah naik empat kali lipat, seakan ia punya lampu aladin. Ia sekarang dila-porkan sebagai orang terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara, sementara di mana-mana rakyat sakit busung lapar dan makan nasi aking karena kemiskinan.
Jadi, kalau pemerintah mengumum-kan bahwa ekonomi kita tumbuh sekian persen percayalah, itu artinya pertum-buhan rata-rata harta orang kaya Indo-nesia, bukan rakyat banyak yang hidup-nya kian hari kian sulit.
Itu pun terjadi di Amerika. Seperti ditulis Paul Krugman, Guru Besar Eko-nomi Princeton University dan kolumnis The New York Times, selama beberapa dekade, 0,01 persen orang Amerika ter-kaya tumbuh tujuh kali lipat, sementara mayoritas penduduk mengalami stagnasi atau malah bertambah miskin karena digerogoti inflasi. Pada tahun 1970, eksekutif puncak rata-rata berpeng-hasilan 30 kali gaji karyawan, kini meloncat 300 kali (lihat Paul Krugman dalam The Conscience of A Liberal, W.W.Norton, Oktober 2007).
Orang-orang terkaya itulah yang memerintah Amerika. Pemerintahan model begini disebut plutokrasi. Mereka, menurut Profesor Krugman, terus ber-tambah kaya sehingga mampu membeli partai. Sementara politisi tergantung kepada mereka demi dana kampanye yang besar. Artinya, sistem politik tak berjalan efektif karena pengaruh uang (big money).
Jika mau jujur, hal serupa terjadi di Indonesia. Lihat gerakan pemberantasan korupsi Presiden SBY. Koruptor teri seperti Mulyana W. Kusuma dan Rochmin Dahuri masuk penjara. Sementara para pengemplang BLBI Rp 650 trilyun bebas berkeliaran.
Penikmat BLBI terbesar, Anthony Salim dan Syamsul Nursalim, dibebaskan Kejaksaan Agung dengan alasan tak cukup bukti. Sehari kemudian seorang jaksa tertangkap tangan menerima dana Rp 6 milyar lebih dari pembantu? Syamsul Nursalim. Walau sudah jelas ada uang sogok di balik pembebasan, sampai sekarang keduanya tak pernah diganggu-gugat. Karenanya kapitalisme adalah sistem untuk memanjakan orang kaya.
Tapi kenapa kenaikan harga BBM dilakukan saat rakyat terjepit akibat kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya? Naomi Klein, aktivis anti-globalisasi dan wartawati terkemuka Kanada, berhasil menemukan jawabnya setelah melakukan sejumlah riset.
Ternyata kapitalisme memang selalu bekerja melakukan reformasi terhadap status-quo pada saat terjadi bencana. Yang dimaksud bencana bisa aktual mau pun hanya persepsi, baik itu bencana alam, perang, terorisme, kejatuhan pasar saham, krisis ekonomi, atau krisis politik.
Ketika bencana terjadi, masyarakat masih dicekam trauma kolektif, kapitalis-me melakukan shock therapy (terapi kejut) mengubah status-quo dengan ide-ide kapitalisme, seperti liberalisasi per-dagangan, penurunan pajak, penghapus-an tarif, deregulasi, stabilisasi ekonomi makro, privatisasi (penjualan BUMN), pencabutan subsidi (kenaikan harga BBM), penghapusan upah buruh minim-um, dan sebagainya. Ada 10 atribut itu, kemudian dikenal sebagai? Konsensus Washington (The Washington Consen-sus), kesepakatan Departemen Keuangan Amerika Serikat, IMF, dan Bank Dunia pada 1989.
Penggagasnya adalah Profesor Milton Friedman dari Chicago School of Eco-nomic, University of Chicago, pemenang Nobel Ekonomi 1976. Ketika badai Katrina meluluh-lantakkan New Orleans, Louisiana, di tahun 2005, Profesor Friedman dan pengikutnya berhasil mem-bangun sekolah swasta milik kaum pemodal di bekas sekolah negeri (public school) yang dihanyutkan badai. Fried-man menulis, “hanya krisis yang bisa menghasilkan reformasi yang sesung-guhnya”.
Naomi Klein menyebut metode Fried-man itu Doktrin Kejut (The Shock Doctrine). Itu kemudian dijadikannya judul buku setebal 558 halaman ” The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (Terapi Kejut, Bangkitnya Kapitalisme Bencana) – dan banyak mendapat pujian sekaligus laris-manis. Sebuah artikel di Dow Jones Business News, Oktober 2007, menyebut The Shock Doktrine sebagai buku terpenting tentang ekonomi di abad 21.
Di dalam penelusurannya Klein mene-mukan bahwa The Chicago Boys, sebutan untuk para pengikut Friedman, pertama kali beraksi setelah Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta berdarah di Chili, September 1973. Profesor Friedman diangkat menjadi penasehat ekonomi. Dan ia sukses besar memaksakan ide-ide kapitalisme melalui moncong senjata dan tangan besi Diktator Pinochet. Apa yang terjadi di Chili disebut revolusi The Chicago School.
Sejak itu, di mana saja terjadi bencana, kapitalisme datang memboyong ide-ide. Itu terjadi di Amerika Latin, Rusia, Irak, dan berbagai negara Asia yang diterpa krisis ekonomi 1997. Naomi Klien menyaksikan sendiri bagaimana pantai Sri Langka yang rata dengan tanah akibat? tsunami 2004, dengan cepat berubah menjadi motel, hotel, bungalow mewah dan berbagai perangkat parawisata lainnya milik kaum kapitalisme global. Sementara ratusan ribu nelayan yang dulu mendiami pantai itu tergusur.
Peristiwa seperti ini seakan hal biasa saja. Padahal sebenarnya ini adalah sebuah proses pemiskinan rakyat di satu pihak, dan di pihak lain memperkaya kaum kapitalis melalui perampokan lahan.
Di Irak, setelah Saddam Hussein dengan Partai Sosialis Baath ditumbang-kan, ide-ide kapitalisme merasuk dengan cepat di bawah kawalan serdadu Amerika Serikat. Profesor Friedman adalah teman akrab Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dan kaum intelektual neo-konservatif (neokon) yang berada di sekeliling Presiden George Bush.
Saking getolnya melakukan privati-sasi, tentara pun diswastakan. Untuk mengamankan para kontraktor asing dan Kedutaan Besar Amerika di Jalur Hijau (Green-zone) Baghdad, pemerintah mengontrak perusahaan Amerika, Black-water Worldwide. Lihatlah ke sana, sekitar 30.000 pasukan sewaan itu berkeliaran dengan senjata lengkap dan peralatan canggih, tak beda tentara Amerika.
Malah mereka punya hak istimewa. Dia tak tunduk hukum Irak, tidak juga hukum Amerika. September lalu, ketika mengawal pejabat Departemen Luar Negeri Amerika, tiba-tiba pasukan swasta itu membabi-buta menembaki mobil di jalan umum, mengakibatkan 17 warga Baghdad meninggal, sejumlah lainnya luka-luka. Sampai sekarang mereka tak diadili.
Krisis ekonomi Asia ditulis lengkap. Bagaimana IMF memaksakan kapitalis-me yang masih separuh-separuh diterap-kan Pemerintah Orde Baru. IMF sukses berkat peranan Mafia Berkeley yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro (halaman 271). Mafia Berkeley,? julukan yang diberikan kepada sejumlah ekonom Orde Baru ” kebanyakan dari Universitas Indonesia ” penganjur sistem kapitalisme di Indonesia.
Dari dulu pemerintah jatuh dan bangun tapi kaum ekonom kapitalisme tetap bertahan di kabinet berkat pengaruh kuat Amerika atas pemerintah Indonesia. Di televisi, bekas Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie mengungkapkan bagaimana penyusunan kabinet ditunda karena presiden menunggu kedatangan Duta Besar Amerika. Sudah jadi rahasia umum sejumlah menteri di dalam kabinet adalah titipan IMF, Bank Dunia, atau pemerintah Amerika. Padahal kita bukan negara bagian Amerika Serikat.
Menteri Pertambangan Purnomo Yus-giantoro, misalnya, sudah berapa periode pemerintahan tetap bertahan di kursinya. Padahal kinerjanya hancur-hancuran. Produksi minyak kita pada tahun 2001 masih 1,5 juta barel/hari, di tangannya melorot terus, kini tinggal 900.000 barel/hari. Padahal menurut ahli per-minyakan DR Kurtubi cadangan minyak kita masih banyak.
Akibatnya, dari negara pengekspor kita menjadi pengimpor minyak. Rakyat harus berkorban untuk kekonyolan ini. Tahun ini adalah puncak prestasi Pur-nomo: rakyat menjerit karena harga BBM naik dan kita keluar dari OPEC, organisasi negara pengeskpor minyak yang pres-tisius.
Tapi bisa dimaklumi betapa besar jasa Purnomo ” dan Presiden SBY ” kepada Amerika. Tambang minyak di Blok Cepu yang amat menguntungkan diserahkan kepada Exxon Mobil, perusahaan minyak Amerika tertua dan terbesar. Pertamina, perusahaan milik sendiri disingkirkan dari pertarungan. Luar biasa. Memang Indonesia sudah dikavling perusahaan asing, terutama usaha pertambangan yang sekarang lagi jadi primadona karena tingginya harga.
Tapi bintang kapitalisme di Indonesia adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 46 tahun. Ia adalah murid kesayangan Profesor Widjojo Nitisastro, Ketua Mafia Berkeley itu. Ia sarjana ekonomi dari UI dan mendapat gelar Master dan PhD dari University of Illinois Urbana Champaign, Amerika Serikat.
Sebelum menjadi menteri kabinet, ia adalah Direktur Eksekutif IMF di Wa-shington, 2002-2004. Belum cukup. Sebelumnya, sejak 2001, ia bekerja sebagai konsultan US-AID, badan bantuan pemerintah Amerika Serikat.
Di dalam buku Profesor Noam Chom-sky, Failed States (Penguin Group, 2006), disebutkan US-AID tak lain adalah saluran siluman (invisible conduit) dari pemerintah Amerika, demi kepentingan politiknya. Lembaga itulah, misalnya, yang memberikan dollar kepada kelom-pok Fatah agar menang dalam Pemilu Palestina menghadapi kelompok Hamas, musuh Israel dan Amerika di Palestina. Ternyata Fatah kalah.
Dalam penjatuhan Soeharto melalui reformasi 1998, US-AID menyumbang 26 juta dollar kepada kelompok anti-Soeharto di Indonesia, termasuk kepada LSM yang dipimpin Adnan Buyung Nasu-tion (lihat artikel Tim Weiner, The New York Times, 20 Mei 1998).
Kali ini dana 26 juta dollar tak sia-sia. Soeharto jatuh. Tapi itu diawali dengan huru-hara besar yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia. Sampai sekarang tak jelas siapa bertanggung jawab atas huru-hara itu. Dana 26 juta dollar dari Amerika itu juga tak pernah diusut.
Dari cerita di atas, cukup jelas sosok Sri Mulyani. Ada yang bilang, dialah perwakilan IMF di dalam Kabinet Indo-nesia Bersatu. Dengan jabatan terpenting dalam masalah ekonomi ada di tangan-nya, IMF tak perlu lagi ke Indonesia untuk membuat lobi. Semua beres.
Tak aneh, ia ditabalkan Majalah Euro-money yang berkantor di London, sebagai Menteri Keuangan Terbaik Dunia 2006. Salah satu pertimbangannya adalah per-juangannya yang gigih untuk menaikkan harga BBM. Begitulah selalu cara mereka menepuk bahu, menghargai prestasi.
Padahal, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan pemerintah 2007, dinyatakan sebagai disclaimer alias ditolak. “Kacau-balau tak bisa diperiksa,” kata seorang anggota BPK. Bagaimana bisa hasil kerja Menteri Keuangan Terbaik Dunia disclaimer?
Presiden SBY sendiri adalah peng-agum Amerika. Dalam karir militernya, dia termasuk perwira yang paling sering belajar ke Amerika. Dalam suatu kun-jungan ke negeri Uncle Sam itu di tahun 2003, sebagai Menko Polkam, SBY berkata, “I love the United States with all its faults. I consider it my second coun-try”. Terjemahan bebas: “Saya cinta Amerika Serikat dengan segala kesa-lahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya.” (Lihat Al Jazeera English ” Archive, 6 Juli 2004).
Bolehkah orang yang membelah cinta-nya dengan negeri lain menjadi Presiden RI? Entahlah. Tapi yang disayangkan di saat harga barang tambang meroket di pasar dunia, rakyat Indonesia justru makan nasi aking. Soalnya, lahan tam-bang utama dikuasai kapitalisme global dengan kontrak yang menguntungkan mereka dan tak transparan kepada rakyat.
Itulah dulu yang dialami Rusia di zaman Presiden Boris Yeltsin, Argentina, Venezuela, Bolivia, Ekuador, dan sejum-lah negara lain di Amerika Latin. Tapi Vladimir Putin, pengganti Yeltsin, men-campakkan sistem yang membuat rakyat Rusia melarat, membuat konglomerat dan perusahaan asing kaya-raya. Kini ekonomi Rusia salah satu yang terkuat di dunia, cadangan devisanya 450 milyar dollar. Jangan bandingkan dengan Indo-nesia, itu terlalu jauh.
Di Venezuela, Hugo Chavez menying-kirkan kapitalisme, menggantinya dengan sistem yang lebih sosialis. Sekarang ekonomi negeri itu tumbuh 10 per-sen/tahun, dengan pembagian kekayaan lebih merata dan kemiskinan melorot tajam (Internasional Herald Tribune, 28 Desember 2006).
Chaves yang kontroversial memberi inspirasi ke negara sekeliling. Maka di Bolivia muncul Evo Morales dan di Ekuador tampil Rafael Correa. Mereka dengan gagah berani menasionalisasikan semua perusahaan tambang asing di negerinya. Bagaimana Indonesia? [www.suara-islam.com]
sekarang peribahasa bagai ayam mati di lumbung mati terbuktti nyata secara jelas di depan mata. apakah untuk perubahan perlu terjadi revolusi sosial ?
Kebusukan Kapitalisme Neoliberal, semakin telanjang!
Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.
It?s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it?s the economic, stupid!)
Silah kunjung
Krisis Keuangan Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datara
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.html