Gonjang-ganjing kabar harga BBM bakal naek lagi mendominasi pemberitaan di media massa. Untuk kedua kalinya di tahun ini sejak Pak SBY menjabat orang no. 1, harga BBM dipaksa melangit lagi (baru satu tahun udah dua kali naik, gimana nih Pak?). Malah Pak Wapres Yusuf Kalla, sempet ngasih bocoran kalo kenaikan itu bakal dipatok pemerintah minimal 50% dari harga sekarang. Waduh!
Nggak ada pilihan. Yup, jawaban klasik itu seolah jadi senjata pamungkas pemerintah dalam menghadapi kritikan pedas dari semua pihak. Keputusan itu kudu diambil lantaran harga minyak mentah dunia melambung hingga 70 US$ per barel. Itu berarti, pemerintah kudu ngerogoh kocek lebih dalem buat mensubsidi BBM hingga Rp 130 triliun dengan harga sekarang. Padahal alokasi dana yang disediakan cuma Rp 68,7 triliun untuk asumsi harga minyak dunia 40 US$ per barel. Kalo tetep mempertahankan harga sekarang, pastinya APBN bakal jebol buat nombokkin subsidi BBM ini. Hmm…. begitu ya?
Tapi…, lucu juga ngedenger jawaban klasik di atas. Soalnya, kenaikan harga BBM ini bukan satu-dua kali dihadapi pemerintah. Berarti udah banyak dong pengalaman dan pelajaran yang diperoleh buat nyiasatin kondisi kayak gini. Namun sayangnya, pemerintah seolah tak memperoleh pelajaran dari kondisi yang sama pada tahun-tahun lalu. Hingga mereka tetep menggantungkan kebutuhan pasokan minyak mentah dari luar. Padahal zamrud khatulistiwa ini tajir lho akan sumber daya alam seperti minyak bumi.
Sebagaimana yang terungkap dalam makalah berjudul, “The Impact of Oil Industry Liberalization on the Efficiency of Petroleum Fuels Supply for the Domestic Market in Indonesia,� tulisan Dr. Kurtubi, Head Office Pertamina dan Pusat Kajian Minyak dan Energi, bahwa di Indonesia ada sekitar 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, sementara sisanya masih belum. Di dalamnya terdapat sumberdaya energi yang luar biasa, kira-kira mencapai 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Di sana terdapat stok cadangan energi sekitar 9.67 miliar barel minyak dan 146.92 TCF. Sementara kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan 2,26 triliun TCF. Tuh kan banyak?
Makanya nggak heran kalo aksi penolakan kenaikan BBM pun banyak digelar di berbagai daerah. Dari mahasiswa sampe supir angkot, rame-rame turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Sayangnya, pemerintah sering menganggap aksi protes-protes itu nggak lebih dari media kebebasan berpendapat. Bukan sebuah tuntutan yang bisa memaksa mereka untuk menghentikan kebijakan-kebijakannya yang bikin rakyat sengsara. Waduh!
Harga BBM naik, rakyat tercekik
Dampak kenaikan harga BBM ini emang dahsyat. Baru sekedar isu aja, udah bikin panik masyarakat. Kelangkaan BBM dirasakan beberapa daerah di Nusantara. Seperti di kawasan Pantai Timur Sumatra Utara misalnya, sebagian besar nelayan terpaksa menginap di pom bensin untuk mendapatkan solar. Bahkan, di Semarang, Jawa Tengah, solar dan premium sudah sejak dua pekan silam sulit didapat. Sementara Warga Jalan Dago, Suci dan Tubagus Ismail, Bandung, Jawa Barat, mereka rela menunggu berjam-jam sejak pukul 07.00 WIB demi mendapatkan lima liter minyak tanah dengan harga lebih murah: Rp 900 per liter. Sebab, di tingkat pengecer minyak tanah sudah dijual Rp 1.500/liter. (Liputan 6.com, 15/09/05)
Akibat kelangkaan BBM itu, ongkos transportasi jadi naik sebelum waktunya. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sopir angkutan umum di dalam kota maupun luar kota mulai menaikkan tarif. Alasannya, akibat terlalu lama antre BBM, angkutan umum yang biasanya tiga rit atau pergi pulang dalam sehari hanya menjadi dua kali. Padahal, uang setoran kepada pemilik kendaraan tetap. (Kompas, 15/09/05).
Seperti gerak roda dalam sebuah mesin, kenaikan tarif angkutan sebelum waktunya dan kelangkaan BBM, secara otomatis menaikkan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. Di Banyuwangi Jawa Timur, harga kebutuhan pokok dalam sepekan terakhir naik hingga mencapai 40%. (Kompas, 12/09/05)
Kondisi seperti ini yang mencekik leher masyarakat. Imbas kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya bikin masyarakat keteteran. Harga sembako, ongkos angkot, tarif bis/kereta api, listrik, gas, biaya pendidikan, kesehatan, dan tentunya minyak tanah suka ikut-ikutan naek. Sementara kenaikan itu tidak diimbangi dengan kenaikan penghasilan. Akibatnya lebih besar pasak dari pada tiang. Alias tekor setiap saat. Alamat harga gorengan bisa jadi 1500 perak per biji tuh! (jadi lebih mahal dari harga? buletin ini per lembar dong? Hehehe..)
Emang sih, konon kabarnya kualitas minyak mentah negeri ini cuma bertengger di level 4 (nomor 1 dipegang kawasan Timur Tengah). Dengan fakta seperti itu, berarti membutuhkan pengolahan lagi. Teknologi dan sarananya kita terbatas, akhirnya kudu dijual ke luar negeri untuk diolah dulu jadi BBM. Terus, kita beli lagi hasil minyak olahan itu. Jadi jatohnya emang mahal.
Nah, harusnya kan kalo udah tahu kayak gitu, kita bikin sarana dan teknologinya. Tul nggak? Tapi, kalo kebijakan ini diambil, para koruptor yang mengais suap dari penjualan minyak mentah ke luar negeri dan pembelian lagi BBM jadi bakalan kehilangan lahan untuk dikorupsi. Terus, negeri-negeri kapitalis Barat juga bakalan keder dan nggak bisa mendikte lagi secara ekonomi untuk memiskinkan negeri ini. Itu sebabnya, kondisi seperti ini akan terus dipelihara oleh mereka. Jadi, kita kudu nyadar neh. Ayo bangkit untuk melawan kapitalisme!
Sengsara bersama kapitalisme
Permasalahan BBM merupakan bagian dari produk sistem kapitalis. Dalam bingkai politik demokrasi, ruang kebebasan atas dasar sekulerisme terbuka lebar. Ini bisa dilihat pada UU No. 22/2001 tentang Minyak Bumi dan Gas yang mencantumkan pembatasan kewenangan Pertamina sebagai pemain utama di sektor ini, sekaligus pemberian hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain—baik perusahaan domestik maupun asing—untuk terlibat di sektor ini.
Dengan kata lain, pemerintah udah ngasih jaminan privatisasi bagi para pemilik modal untuk mengeksploitasi kandungan minyak bumi dalam negeri. Seperti yang terjadi pada blok Cepu. Pemerintah malah memberikan kontrak pengelolaan sumur minyak dengan kandungan mencapai 180.000 barel per hari ini ke tangan Exxon Mobil. Bukan Pertamina yang jelas-jelas perwakilan negara dalam penyediaan kebutuhan BBM dalam negeri. Payah deh!
Dampak permasalahan BBM ini merembet pada tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah keluarga miskin semakin meningkat. Menurut data PT ASKES, jumlah orang miskin Indonesia pascakenaikan BBM melambung hingga 54 juta orang. Menurut Menneg PPN/Kepala Bappenas Sri Mulyani, angkanya telah melambung mendekati 60 juta. Penambahan data ini juga diakui oleh Menko Perekonomian. (Kompas, 15/09/05)
Akibat kemiskinan ini, kesehatan menjadi barang mahal. Di Serang sebanyak 1.150 anak-anak usia di bawah lima tahun (Balita) dinyatakan menderita gizi buruk. Gizi buruk juga diderita 134 anak di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur (Jatim). Di NTT sebanyak 45 sebanyak 45 anak di enam kabupaten Nusa Tengara Timur (NTT) positif menderita penyakit busung lapar. Sementara itu, 33.910 anak lainnya mengalami kurang gizi dan 8.218 gizi buruk (Tempo Interaktif 31/5/05)
Demi mempertahankan hidup di tengah himpitan ekonomi, nggak sedikit masyarakat di lingkungan kita yang gelap mata. Mereka ambil jalan pintas untuk memperoleh harta dengan melakukan pencopetan, pencurian, penjambretan, hingga perampokan dengan kekerasan. Pemberitaan seputar korban harta dan jiwa akibat tindakan kriminal setiap hari menghiasi layar kaca. Persediaan aktor yang berlaga dalam siaran Buser, Derap Hukum, TKP, atau Tikam nggak pernah kehabisan stok. Situasi kayak gini bikin rasa aman kian sulit diperoleh masyarakat. Pantaskah sikon kayak gini kita pertahankan? Nggak lah yauw!
Sejahtera di bawah naungan Islam
Sobat, kehidupan yang menyesakkan dalam alam kapitalis-sekuler sudah sepatutnya kita tinggalkan. Saatnya kita melek kalo permasalahan yang kerap kali muncul menghampiri negeri ini dibidani oleh sistem demokrasi sekuler. Sistem yang menyerahkan sepenuhnya pengaturan hidup manusia kepada dirinya sendiri. Sehingga aturan yang dihasilkan selalu berujung pada kesengsaraan. Akibat keterbatasan manusia dalam memahami kebutuhan dan kepentingan manusia lainnya. Dan parahnya, meski kebobrokan sistem ini udah kasat mata banget, masih aja dipertahankan. Teu kapok-kapok nya!
Hanya Islam lah yang pantas dan mampu menggantikan sistem kapitalis sekuler yang diadopsi negeri ini. Sebab aturan Islam yang diterapkan oleh negara akan memberikan jaminan kepada rakyatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Rasulullah saw bersabda: “Sungguh Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga atau bahkan menyianyiakannya.�
Umar bin Khaththab telah membangun suatu rumah yang diberi nama �daar ad daqiiq’ (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya yang bertujuan menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan.
Dalam kasus BBM, negara akan mengembalikan posisinya sebagai hak milik umum yang pengelolaannya di atur oleh negara. Ini berarti, nggak boleh ada campur tangan swasta alias privatisasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebab hasil pengelolaan itu akan dikembalikan kepada rakyat dengan harga semurah mungkin. Tidak untuk jadikan barang dagangan. Sehingga pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negeri-negeri Muslim lebih optimal untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Bukan malah dikasih ke para kapitalis sekuler itu. Enak aja!
Kebutuhan pokok rakyat menjadi prioritas negara. Nggak bisa pake alasan lantaran kas negara kosong kebutuhan rakyat terlalaikan. Ada mekanisme pengambilan kelebihan dari orang-orang kaya untuk membantu pemenuhan kebutuhan rakyat sat kas baitul mal defisit. Negara juga akan menugaskan al �Aamilun’ untuk menarik zakat yang akan disimpan di Baitul mal sebelum didistribusikan kepada delapan golongan yang berhak seperti tercantum dalam al-Quran. Di antaranya fakir-miskin. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, tentu nggak ada alasan karena urusan perut orang berbuat kriminal. Betul?
Dalam urusan kesehatan, negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat tanpa melihat status sosial atau kudu beresin urusan administrasi dahulu. Pernah delapan orang dari suku Urairah datang mengunjungi Rasul di Madinah lalu menyatakan keimanannya. Di Madinah, mereka menderita sakit limpa. Rasul memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalan ternak kaum Muslimin milik Baitul Maal bernama “Zhi Jadr�. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mau…mau…mau….
Dalam bidang pelayanan kesehatan, Bani Ibnu Thulun di Mesir memiliki Masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman dan obat-obatan serta dilengkapi dokter untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.
Sobat, demikian beberapa bukti sejarah saat aturan Islam diterapkan oleh negara dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Besarnya perhatian negara terhadap terpenuhinya kebutuhan BBM, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, atau lapangan kerja bagi rakyat menunjukkan betapa mulianya hidup di bawah naungan Islam. Karena itu, kita cuma punya satu pilihan untuk membenahi negeri ini yang amburadul akibat penerapan sistem kapitalis sekuler. Yaitu dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Jangan lupa, kapitalisme sebagai biang kehancuran ini jangan dijadikan sebagai pandangan hidup. Setuju? Yo’i![Hafidz]
(Buletin STUDIA – Edisi 263/Tahun ke-6/26 September 2005)