gaulislam edisi 543/tahun ke-11 (1 Rajab 1439 H/ 19 Maret 2018)
Assalaamu’alaikum Bro en Sis. Kita ketemu lagi, nih! Pembahasan gaulislam kali ini adalah… (jreng…jreng..): BPJS. What? Iya, BPJS di sini diartikan sebagai Biaya Pas-pasan Jiwa Sosialita. Bukan BPJS dalam arti yang udah umum, lho. Oke. But, what was that?
Gini ceritanya. Ya, buaaanyak banget orang yang pengen terkenal. Kadang, supaya terkenal, mereka pengennya jalan yang cepet. Contohnya, dengan jadi sosialita. Apa itu sosialita?
Bersumber dari adnilhm dalam artikelnya di kompasiana.com, kalo dilihat secara bahasa, sosialita itu akronim yang diserap dari Bahasa Inggris ‘sosial’ dan ‘elite’. Sosial adalah kata sifat yang artinya suka memperhatikan kepentingan umum (suka nolong, berderma, dan sebagainya). Sementara elite adalah kata benda yang artinya kelompok kecil atau orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kalo digabungin, dua kata itu hasilnya adalah kalimat yang bunyinya: kaum sosialita adalah orang-orang yang memiliki derajat tinggi atau terpandang, dan mereka memiliki jiwa sosial terhadap orang-orang yang kurang mampu.
Intinya sih, sosialita itu orang-orang mampu alias kaya yang nolongin orang-orang kurang mampu. Bagus, dong. Banget! Tapi kok, bisa tercetus BPJS yang merupakan singkatan dari Biaya Pas-pasan Jiwa Sosialita?
Oya, kalo kita perhatiin, seiring perkembangan zaman, ternyata pengertian sosialita mulai bergeser dari arti sebenernya. Iya, yang tadinya orang mampu yang suka nolong, jadi orang mampu yang suka pamer. Ketika harus muncul di depan umum, tampilan selalu keliatan up todate! Tas branded, baju branded, perhiasan bling-bling, sepatu hak super tinggi (kalo cewek), de-el-el.
Pada akhirnya, sosialita-sosialita zaman now lebih mengedepankan penampilan diri. Berusaha menjadi lebih menonjol dari sosialita yang lainnya. Berusaha lebih tenar dari yang lainnya. Gimana caranya? Yah, so pasti dengan manfaatin sosmed. Media yang paling muaaantep buat mengekspresikan diri.
Setelah tampil eye-catching, siapin kamera, potret sana-sini, teruuus post! Nungguin yang komen. Semakin banyak yang komen, semakin tenar. Beuuuh.
Dari sini nih, masyarakat mulai dari kalangan atas, kalangan menengah bahkan kalangan menengah ke bawah saling berlomba-lomba buat jadi yang paling tenar, paling kesohor. Apapun caranya. Sungguh, istilah yang kian bergeser pengertiannya.
Biar tekor asal kesohor
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kamu pasti udah sering banget denger jargon ini. Biar tekor asal kesohor. Biar kere (nggak punya) yang penting tenar (terkenal). Ckckck… demi sebuah ketenaran, rela ngeluarin kocek dalam-dalam. Blah… mantep sih, tapi mantepnya bikin sakit hati, eh, sakit perut, deh. Coba kalo kita ngabisin uang buat shopping, terus foto-foto lalu diunggah ke medsos apa yang dibelanjain. Banyak yang komen begini-begitu. Bertabur decak kagum. Tapi nggak lama perut bunyi. Lapeeer…
Atau kita ngabisin uang buat nongkrong di kafe atau restoran terkenal. Foto ini, foto itu. Makan makanan yang paling mahal, tapi isi sepiringnya nggak lebih dari dua sendok. Lalu foto lagi, share di medsos. Banyak yang komen, banyak yang like, banyak yang share. Kesohor. Nggak lama perut bunyi. Lapeeer…
Haduh, haduh, kasian perutnya, tuh. Pasalnya, jargon ini nggak cuma bikin sakit perut, tapi bikin sakit tenggorokan, sakit mata, sakit hati, saaakit semuanya. Kok bisa? Ya bisa, lah!
Bagi Bro en Sis, para remaja budiman yang pengen berjiwa sosialita tapi nggak punya uang, kira-kira apa yang bakal kalian lakuin supaya dapetin uang itu? So pasti, minta ke orangtua. Kalau dikasih happy nggak kepalang, langsung kabur shopping atau nongkrong. Tapi kalau nggak dikasih? Adakah yang ngambek-ngambek, nangis-nangis, ngerengek-rengek suapaya dikasih uang saaaampe bikin sakit tenggorokan dan sakit mata?
Parahnya lagi kalo bikin sakit hati. Cuma pengertian sakit hati yang dimaksud bukan semacam patah hati karena putus cinta. Tapi karena penyakit hati semacam iri, gengsi, dengki, sombong! Kok bisa? Bisa, dong. Buktinya, kebanyakan remaja sosialita (baik yang mampu ataupun yang kere) saling berusaha melampaui satu sama lain. Berusaha untuk menjadi lebih dari yang lainnya. Yang kayak gini terjadi karena mereka iri atau dengki alias nggak suka kalo ada yang lebih dari mereka.
Gengsi? Aduh malu dong, ya, kalo di awal-awal penampilannya oke, serba branded, tiba-tiba penampilannya berubah jadi so-not-branded plus pakaian-pakaian yang udah nggak uptodate, apa kata dunia? So, mulailah remaja sosialita salah kaprah ini saling meninggikan gengsi supaya tetep keliatan terpandang dan uptodate.
Belum lagi penyakit hati bernama sombong. Karena merasa udah tenar, merasa lebih dari orang lain, apalagi ternyata bukan pemegang jargon: biar tekor asal kesohor. Tapi yang dipegang adalah jargon: emang kaya harus tenar. Beuuuh…makin, deh, tinggi hati. Sombong tuh. Jangan sampe deh!
Sosialita zaman now
So, karena pengertian sosialita yang udah bergeser. Semula harusnya orang-orang mampu dan berderajat tinggi yang membantu orang-orang kurang mampu. Kini, seolah berubah menjadi definisi sosialita zaman now dengan pengertian mencakup orang-orang mampu dan kurang mampu yang berusaha tampil ‘WAH’ supaya tenar. So, ini adalah ciri-ciri sosialita zaman now:
Pertama, suka shopping alias belanja. Wah, ini mah nggak usah ditanya lagi, Bro en Sis. Remaja-remaja sosialita zaman now pasti suka sama yang namanya shopping. Dan barang-barang yang dicari nggak cuma satu dua dengan brand-brand pasaran. Tapi biasanya brand-brand yang me-nasional bahkan mendunia. Yang ori, bukan kw-an. Wah… sugoi (hebat), lah, yaw.
Masalahnya, kalo si sosialita ini punya uang ya wajar aja sih walau sayang banget cuma buat begituan doang duitnya dibelanjain. Kalo nggak punya duit, apa iya mau minta ke orangtua? Beruntung kalo orangtua lagi punya uang, kalo nggak? Jangan sampe deh, ada yang menghalalkan segala cara buat dapetin uang untuk shopping. Maksain banget, sih!
Kedua, punya tempat tongkrongan yang mewah. Baju branded, cek. Sepatu branded, cek. Penampilan oke, cek. Kan, nggak lucu kalo tempat tongkrongannya warteg. So, buat nyelarasin penampilan dan tempat toongkrongan, remaja sosialita zaman (yang salah kaprah ini) mulai menjamah tempat-tempat tongkrongan yang mewah. Kalo bisa yang mahal sekalian. Nggak peduli harga per-porsi dengan volume makanannya sesuai atau nggak. Yang penting, bisa buat eksis di medsos! Pamer, gitu lho! Waduh, nggak cuma uang yang kasian, tapi perut juga. Hiks..hiks.. sabar yah, perut.
Ketiga, bergaul dengan sesama sosialita. Teman kita adalah yang menentukan siapa diri kita. Kalo remaja sosialita berteman dengan sesama sosialita juga, maka orang-orang bakalan berpikir kalo dia adalah sosialita. Dan, biasanya tanggapan yang diberikan mereka adalah, ‘wah’. Itu sebabnya, banyak remaja sosialita zaman now yang pilih-pilih teman. Nggak mau temenan sama yang ini, soalnya bukan sosialita. Nggak mau temenan sama yang itu, soalnya kurang mampu dan cupu.
Oya, omong-omong soal pertemanan, ada lho haditsnya. Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Sobat gaulislam, kita emang harus pilih-pilih teman. Tapi pilihlah teman yang menuntun kepada kebaikan, bukan menuntun ke dunia sosialita zaman now atau perbuatan yang mengajak maksiat, okay? Oke, dong!
Batas lifestyle
Oya, lifestyle alias gaya hidup setiap orang berbeda-beda. Bagi yang diberi rezeki melimpah oleh Allah, alhamdulillah, dapat menikmati gaya hidup kelas atas. Patut untuk mensyukuri dan menikmatinya. Tapi gaya hidup kelas atas, ada batasnya. Apa batasnya? Batasnya adalah dengan tidak berlebihan dalam membelanjakan sesuatu. Secukupnya saja, sekebutuhannya saja. Kemudian, sisihkan banyak harta yang dimiliki untuk diberikan pada orang-orang yang kurang mampu.
Buat kamu yang masih dapet uang jajan dari orangtua atau yang malah banting tulang buat dapetin uang demi kebahagiaan semu (dengan pamer duniawi di medsos), waspadalah! Jangan terlalu memanjakan diri sendiri dengan membuang uang demi kebahagiaan dunia nan fatamorgana. Soalnya, kenikmatan dunia akan berhenti ketika kita sakit atau mati. Emangnya, yakin, nih kalian sudah merasa bahagia?
Yuk, renungkan lagi, deh. Kamu udah bahagia, atau belum? Sudahkah kamu merasa cukup dengan barang-barang branded, uang banyak, ketenaran? Kalo merasa belum cukup, maka sebenarnya, kalian belum bahagia. Karena kebahagiaan sejati adalah dengan tercapainya ridho Allah Ta’ala. Setiap hal yang kita lakukan, yang bersifat dunia ataupun akhirat, niatkan hanya untuk Allah dan surga-Nya. InsyaAllah bakalan berkah dan nambah pahala. Amiin.
So, ukuran kebahagiaan itu dari Allah, bukan dari ukuran manusia. Itu sebabnya, jangan sampai nih, ada di antara kamu yang terlalu terlena sama kenikmatan dunia sampe lupa sama Allah Ta’ala.
Jadilah remaja sosialita (dalam arti yang sebenarnya: kaya harta rendah hati suka menolong yang lemah) yang tidak menghilangkan perintah-perintah Allah. Lalu, gimana dengan pengertian sosialita zaman now? Sama. Nggak boleh pamer demi kepuasaan nafsu supaya disebut tenar. Gimana pula dengan yang biaya pas-pasan tapi jiwa sosialita? Kalo dalam pengertian sosialita yang sesungguhnya masih mending kali ya, punya harta sedikit tapi pengen bantu orang. Nah, yang parah adalah punya harta sedikit tapi maksain gaya hidup orang kaya tapi tujuannya untuk pamer biar kesohor. Bahaya nih mah!
Gimana caranya supaya nggak terlena? Yaitu mengetahui batasan-batasan dalam gaya hidup. Terus, gunain medsos dan komunitas-komunitas di dunia maya sebagai tempat buat menyebarkan kebaikan dan dakwah berupa amar ma’ruf nahi munkar. Mengajak ke kebaikan dan mencegah kemaksiatan.
So, jangan gunakan medsos sebagai tempat pamer kemewahan yang bahkan bukan dari keringat sendiri, tapi dari keringat orangtua. Manfaatin kekayaan orangtua bukan untuk memenuhi jiwa sosialita zaman now (apalagi dengan tujuan biar tekor asal nyohor di medsos), tapi gunkaan untuk kemaslahatan ummat. InsyaAllah, nggak cuma kamu yang mendapat pahala kebajikan, tapi orangtua juga. Amiin. [Zadia “willyaaziza” Mardha]