Thursday, 21 November 2024, 17:01

Stasiun televisi Lativi memang akhirnya nggak menayangkan SmackDown sejak 29 Nopember 2006 lalu. Itu pun setelah gencarnya protes dari banyak kalangan. Selain Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Penyiaran Indonesia yang melakukan protes, masyarakat juga gencar mengkampanyekan agar SmackDown dihapus dari daftar mata tayang stasiun Lativi.

Namun, langkah ini kayaknya masih belum efektif benar. Sebab, SmackDown udah terlanjur mewabah dalam bentuk video game dan VCD bajakannya karena program acara ini sudah ada sejak tahun 2000 lalu yang pernah ditayangkan oleh RCTI dan TPI.

Boys and gals, SmackDown emang ngajarin kekerasan. Meski tuh gulat bo’ong-bo’ongan karena memang sekadar hiburan (bunyi gemeretak tulang patah pun adalah bagian dari efek audio), tapi ketika udah ditonton anak-anak, mereka nggak bisa bedain lagi soal sandiwara atau beneran ketika para petarungnya saling gebuk dan saling piting. Lha, kalo petarung SmackDown mah udah terlatih dan sangat boleh jadi adalah para stuntman, tapi tentu nggak banget dengan anak-anak TK dan SD yang meniru adegan John Cena dkk.

Adalah Vince McMahon, orang yang punya ide untuk bikin SmackDown. Di pikirannya yang terbayang hanyalah fulus dan popularitas saat memproklamasikan acara gulat pura-pura pada 29 April 1999 silam itu. Terbukti, dolar dan popularitas akhirnya benar-benar diraih oleh Vince McMahon yang pada tahun 1976 pernah mempertarungkan petinju Muhammad Ali versus pegulat Jepang, Antonio Inoki, itu.

SmackDown sebenarnya boleh dibilang terinspirasi dari tayangan World Championship Wrestling (WCW) Thunder yang muncul di TV kabel TBS pada 1988. Nah, baru deh pada 29 April 1999, World Wrestling Federation (WWF) meniru Thunder dengan membuat SmackDown. Untuk melengkapi kesuksesan SmackDown, pada Februari 2000, Toy Headquarters membuat sembilan seri game-nya. Sekadar tahu aja bahwa pada pertengahan 2003, pemilik SmackDown mengakuisi WCW.

SmackDown bukan cuma terkenal di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Di Amerika, Eropa, dan Asia, SmackDown begitu populer dan nggak jarang penggemarnya (terutama anak-anak) ngikutin gulat gaya bebas tapi pura-pura yang diperagakan bintang-bintang SmackDown seperti John Cena, Rey Mysterio, Stone Cold, dan juga Kent.

Tayangan SmackDown boleh dibilang efektif merangsang �insting binatang’ dari manusia. Pakar pendidikan Arief Rachman menuturkan adegan kekerasan yang ditayangkan televisi sangat efektif merangsang insting manusia yang paling rendah yang menyamai binatang. “Insting ini yang paling berbahaya,� katanya. (Koran Tempo, 29 Nopember 2006)

Sekadar tahu aja, anak-anak yang jadi korban gara-gara meniru adegan gulat gaya bebas SmackDown lumayan banyak. Beberapa di antaranya adalah: Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cingcing 1 Ketapang, Soreang, Bandung (meninggal 16 Nopember 2006). Angga Rakasiwi (11), siswa SD Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, Bandung (dijahit lima jahitan di kening). Fayza Raviansyah (4 tahun 6 bulan), siswa TK al-Wahab di Margayahu, Bandung (luka, muntah darah). Ahmad Firdaus (9), siswa kelas III SD 7 Babakan Suraaya Selatan, Bandung (pingsan). Nabila Amal (6 tahun 6 bulan), siswa kelas I SD Margahayu Raya 1, Bandung (patah tulang paha). Mar Yunani, siswa kelas III SD Wates IV Kulonprogo, Yogyakarta (gegar otak). Yudhit Bedha Ganang (10), siswa kelas V SDN 05 Duren Tiga, Jakarta Selatan (luka pada kepala dan kemaluan).

Okelah, mungkin tayangan kekerasan di televisi relatif berkurang dengan digusurnya SmackDown. Tapi, tentu bukan jaminan juga bagi kita, khususnya para orangtua untuk leha-leha. Sebab, video game SmackDown masih beredar dan dimainkan dengan penuh suka-cita oleh anak-anak. Pun VCD-nya sangat murah dan masih ada di pasaran meski mungkin sekarang sembunyi-sembunyi pas ngejualnya. Jadi, kekerasan masih mengintai kita. SmackDown belum berakhir. Waspadalah!

SmackDown nggak sendirian
Kekerasan yang ditayangkan televisi sejatinya bukan cuma SmackDown. Sebab, film bertema kekerasan pun kerap hadir di televisi. Berita-berita kriminal yang dikemas seperti �drama’ pun—karena sering menampilkan adegan pengejaran atau penggerebekan polisi terhadap penjahat (termasuk di dalamnya reka ulang tentang adegan pembunuhan)—bukan tak mungkin pula akan menginspirasi individu masyarakat untuk berbuat yang sama atau minimal menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang biasa dan wajar.

Pola kekerasan yang �diajarkan’ televisi bisa juga lewat film kartun, lalu film dewasa yang kental dengan violence, dan seabrek tayangan lainnya yang menyisipkan kekerasan. Lihat aja film kartun macam Road Runner dan Tom and Jerry, di situ banyak banget adegan ketembak, digebuk, meledak sampai ketiban bongkahan batu sudah lumrah ada.

So, tayangan televisi memang sangat berpengaruh pada perkembagan penontonnya, apalagi usia penonton yang masih tergolong anak-anak dan remaja. Yang harus diakui bahwa mereka lebih mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang ada di televisi. Motifnya bisa beragam, mungkin ada yang cuma iseng alias mencoba-coba, ada juga yang lebih ke arah penyaluran untuk memenuhi pencarian jati dirinya. Malah tak mustahil bila ada yang betul-betul terobsesi menjadi seperti pelakunya dalam tayangan tersebut. Bila dibiarkan, bahaya besar, Bro!

Yup, SmackDown memang nggak sendirian mengajarkan kekerasan bagi penontonnya, tapi mungkin ikut menambah daftar panjang sebagai �teladan’ yang jelek bagi pemirsanya dalam soal mengajari kekerasan. Saatnya kita nyadar untuk mikirin dan terus bertindak agar kekerasan nggak terus diekspos di televisi sebagai media komunikasi massa yang paling efektik menyampaikan pesan. Ayo, hentikan diam kita!

Bahaya selain SmackDown
Korban SmackDown mungkin saja masih terus berjatuhan. Sebab, yang nggak tercatat karena nggak melaporkan kejadian gara-gara meniru adegan gaya gulat pura-pura itu sangat boleh jadi jauh lebih banyak.

Tapi, bahaya selain kekerasan fisik yang diperagakan gulat hiburan rekaan Vince McMahon ini, ternyata masih ada hiburan lain yang pengaruhnya boleh dibilang nggak bisa dianggap enteng. Kalo John Cena, Rey Mysterio dan kawan-kawannya berakting menyuguhkan kekerasan fisik, maka selebritis di dunia sinetron dan film berlomba memberikan hidangan gaya hidup yang permisif dan hedonis abis. Khususnya sinetron yang mengajarkan tentang percintaan dan pergaulan bebas antara cowok-cewek, termasuk seks bebas di dalamnya. Nggak ketinggalan para musisi yang getol menggarap lagu bertema cinta dalam berbagai jenis musik ikut menyumbang pembentukan karakter individu dan masyarakat sesuai dengan tema yang dibuat.

Film remaja seputar cinta dan pergaulan bebas secara tidak langsung memberikan visualisasi untuk menginspirasi pemirsanya dalam melakukan hal yang sama seperti di film. Meski mungkin tujuan dibuatnya film sebagai media penyadaran masyarakat dengan menampilkan realitas yang terjadi di masyarakat. Tapi, kenyataannya yang terjadi adalah bias. Sebab, sangat tipis bedanya antara membeberkan fakta dengan ngajarin. Tul nggak seh?

Sobat muda muslim, harus kita akui bahwa pengaruh budaya seperti ini sudah lama kita rasakan. Bukti bahwa masyarakat kita secara umum udah rusak bisa dilihat dari gaya hidupnya. Meski mengaku-ngaku sebagai Muslim, tapi gaya hidupnya sama sekali nggak mencerminkan sebagai Muslim. Nampak kemuslimannya hanya ketika berada di masjid atau di acara peringatan hari besar Islam. Eh, begitu berada di luar masjid gaya hidupnya juga berubah. Persis bunglon tuh. Di masjid tampak alim dan berserah diri memohon kepada Allah Swt. dengan berdoa hingga berlinang air mata. Tapi begitu keluar dari masjid, malah melakukan beragam kegiatan yang dilarang agama. Waduh tulalit banget ya?

Ya, sebab dalam kondisi kehidupan yang didominasi sekularisme ini, nggak ada jaminan juga kalo orang yang baik tuh bisa selamanya baik. Sebab, gimana pun lingkungan masyarakat dan negara bakalan mempengaruhi individu. Kasus beredarnya rekaman video adegan mesum seorang oknum anggota DPR RI dari sebuah partai dengan penyanyi dangdut baru-baru ini adalah satu dari sekian ribu kejadian akibat pengaruh gaya hidup sekularisme. Sekian ribu kejadian? Ya. Coba deh baca di koran yang getol memberitakan kasus perselingkuhan, ampir tiap hari ada. Bedanya hanya dalam soal menyedot perhatian publik. Kalo masyarakat biasa yang ngelakuin perselingkuhan dianggap cemen lah. Tapi kalo pejabat atau orang terkenal lainnya—karena mereka jadi sorotan publik—maka jadi luar biasa dan bikin heboh. Padahal, yang dilakukannya sama aja kok. Sama-sama melanggar aturan agama.

Sobat, sekularisme emang udah menggiring manusia untuk bersikap mendua. Bukan hanya bagi kaum Muslimin, tapi bagi pemeluk agama lain dan manusia secara umum. Tuhan hanya ditempatkan di ruang ibadah, tapi hilang dalam kehidupan sehari-hari di luar tempat ibadah. Menyedihkan banget.

Tumbuhnya kesadaran kita untuk mengubah kondisi ini bukan cuma ketika ada tayangan di media massa yang pengaruhnya bisa dirasakan secara fisik dengan banyaknya jatuh korban akibat menirukan gaya SmackDown, misalnya. Nggak sesederhana itu. Sebab, tayangan perusak kepribadain juga telah menyulap masyarakat kita menjadi hedonis (menjadikan materi dan kenikmatan jasadi sebagai tujuan) dan permisif (serba boleh dan bebas nilai).

So, jangan cuma rame-rame protes saat ada sebuah tayangan di televisi yang pengaruhnya dirasakan secara fisik, tapi juga kita kudu ambil bagian dan bergerak untuk—minimal memprotes—beragam tayangan yang merusak cara pandang dalam berpikir dan bertingkah laku. Sebab, sangat boleh jadi bahaya yang ditimbulkannya jauh lebih besar dan dahsyat. Buktinya, mungkin saja tayangan SmackDown, hanya berpengaruh pada anak-anak aja, golongan lain nggak mempan. Tapi tayangan yang menyebarkan gaya hidup sekularisme, bisa mempengaruhi banyak kalangan dalam berpikir dan berbuat. Contoh udah banyak, Bro. Benar-benar tragedi.

Hmm… media massa dalam sistem Kapitalisme-Sekularisme ini emang parah banget. Sebab, media massa, khususnya televisi selalu menjadikan rating sebagai ukuran kalo acara itu diminati. Kalo ratingnya tinggi, maka bisa dijadikan modal untuk menjerat pemasang iklan di program tersebut. Itu pula yang terjadi dengan tayangan SmackDown. Karena tingginya rating menunjukkan besarnya minat dan jumlah pemirsa terhadap acara tersebut. Padahal, acara tersebut mengajarkan kekerasan. Ini artinya, media massa lebih mengedepankan tayangan yang diinginkan sebagian pemirsa. Bukan tayangan yang seharusnya dibutuhkan oleh pemirsa pada umumnya.

Sobat, kita pantas untuk bersedih dan kesal hidup di bawah naungan sekularisme. Sebab, televisi lebih banyak dijubeli dengan tayangan yang merusak cara pandang kita dalam berpikir dan bertingkah laku. Sementara tayangan religius (khususnya Islam) sekadar tempelan aja. Itu pun disimpan pada jam dimana orang banyak nggak nonton. Yakni di pagi hari saat orang masih terlelap atau sedang pergi ke masjid menunaikan sholat subuh, dan di malam hari ketika orang sudah terlelap tidur. Mengenaskan sekali.

Jadi, tunggu apa lagi? Ayo sadar dan bergerak untuk belajar Islam. Pahami Islam sebagai akidah dan syariat alias ideologi. Mulai sekarang yuk kita ngaji sambil terus mengkampanyekan penerapan Islam sebagai ideologi negara agar beragam problem ini bisa dituntaskan. [solihin]

(buletin STUDIA – Edisi 319/Tahun ke-7/11 Desember 2006)