gaulislam edisi 365/tahun ke-8 (26 Dzhulhijjah 1435 H/ 20 Oktober 2014)
Apakah kamu udah denger dan lihat berita perundungan alias penggangguan atau bahasa umumnya—meski dalam bahasa Inggris, yakni bullying? Berita terbaru—semoga jadi terakhir—adalah perundungan yang dilakukan beberapa siswa SD di Sumatera Barat. Ya, seperti yang diberitakan media massa, kasus terbaru itu menimpa DAN (12), siswa kelas V SD Trisula Perwari, di Bukittinggi, Sumatera Barat, oleh teman-temannya. Sampai-sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh Meminta Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi memberikan sanksi kepada pengelola SD Trisula Perwari (Kompas, 14/10/2014)
“Kami tidak akan lepas tangan. Segera Dinas Pendidikan (Bukittinggi) kami perintahkan untuk memanggil kepala sekolah dan guru untuk menjelaskan duduk perkaranya. Mereka juga harus diberi sanksi,” kata Pak Menteri, yang dikutip Kompas, 14/10. Tuh, Mendikbud aja dibuat pusing dengan kasus ini hingga mengancam memberi sanksi. Bullying emang bikin pusing.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kasus perundungan (bullying) di Bukittinggi itu bukan yang pertama lho. Itu pun, kasusnya sebenarnya terjadi pada 14 September 2014. Seandainya nggak ada yang mengunggah ke Youtube, rasa-rasanya nggak akan ketahuan banyak orang deh. Saya sempat melihat videonya. Menyaksikan tayangan itu saya miris banget, Bro en Sis. Gimana nggak, tuh anak perempuan sendirian di pojok kelas di-bully sama temen-temennya. Setidaknya ada berjumlah 5 orang. Teman lainnya ada yang cuek ada yang malah neriakin supaya dilakukan terus. Adegan itu juga direkam oleh kamera video dari ponsel milik salah satu anak di kelas tersebut. Saya membayangkan, 10 atau 15 tahun ke depan, mau jadi apa anak-anak ini kalo hari ini mereka menyukai kekerasan. Bahaya!
Koran Republika, di hari yang sama (14/10/2014) yang saya baca di kantor, menurunkan laporan kasus serupa. Memuat informasi seputar kekerasan terhadap anak sekolah sepanjang tahun 2014. Saya tulis ulang ya. Bulan Maret 2014 terjadi kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di taman kanak-kanak Jakarta International School terungkap. Kemudian di bulan April 2014, Renggo Khadafi (11 tahun), siswa kelas V SDN Makasar 09 Pagi, Jakarta Timur, dilaporkan dianiaya oleh kakak kelasnya. Renggo meninggal setelah menjalani perawatan di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Lanjut di bulan Mei 2014. Kasusnya adalah seorang siswa sekolah dasar (SD) di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, diduga melakukan kekerasan seksual terhadap delapan temannya. Bulan Oktober ini adalah kasus yang di Bukittinggi itu. Waduh!
Sobat gaulislam, kita nggak tahu kalo ada kasus lain namun nggak terungkap oleh media massa. Ini menunjukkan bahwa di sekolah ternyata nggak aman juga. Padahal, ini baru dari segi kasus kekerasan lho. Belum lagi kasus kriminal, krisis ekonomi, sosial, pergaulan remaja, narkoba, rokok, judi, seks bebas, pacaran, perzinaan, korupsi. Silakan hitung sendiri dah, yang pasti bejibun. Inilah produk khas peradaban rusak bernama Kapitalisme-Sekularisme dengan mesin politiknya bernama demokrasi. Kondisi masyarakat sedang sakit parah digerogoti ‘kanker ganas’ bernama sistem demokrasi dan ibu kandungnya, yakni liberalisme.
Menelusuri penyebabnya
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kalo mau menelusuri sebuah penyebab harus dibedakan dengan gejala. Bagi sebagian orang kadang sulit bedain mana penyebab dan mana gejala. Kamu pernah nonton film Taare Zameen Par yang dibintangi Darsheel Safary dan Aamir Khan? Widih, tuh film keren banget, Bro en Sis. Hah? Belum nonton? Waduh kamu sih nontonnya GGS (Ganteng Ganteng Serigala) ama CCS (Cakep Cakep Sakti) aja sih! Ketinggalan jaman dah! Apa? Mahabharata yang kamu tonton? Yeee.. hati-hati lho, bisa merusak akidah film itu mah! (nantikan pembahasannya pekan depan ya. Insya Allah).
Nah, ada dialog yang menarik di film Taare Zameen Par yang berkisah tentang anak yang mengidap disleksia. Itu adegan saat Ram Shankar Nikumbh (gurunya Ishaan—diperankan Aamir Khan) bertandang ke rumah orang tuanya si Ishaan (Ishaan diperankan Darsheel Safary). Dialog itu berkaitan dengan menyelesaikan masalah Ishaan. Ayahnya Ishaan tetap ngotot kalo anaknya itu malas belajar, nakal, tidak patuh. Sementara gurunya Ishaan bilang bahwa nakal, malas belajar dan tidak patuh adalah gejala dari Ishaan yang nggak bisa menyerap materi pelajaran. Singkat cerita, dalam adegan itu dijelaskan bahwa Ishaan mengidap disleksia, yakni ketidakmampuan mengenal huruf yang berimbas pada ketidakmampuan merangkai kata dan memahaminya. Ya, di film itu si Ishaan kesulitan membaca dan menulis. Kalo kamu pengen tahu dialog lengkapnya, kamu bisa menontonnya sendiri nanti ya (hehehe). Oya, siapkan ember buat nampung air matamu yang kali aja tumpah ruah pas nonton film ini. Banyak adegan haru, sedih, dan menginspirasi. Pokoknya keren dah! Bahkan di bagian akhir film itu ditulis testimoni begini: Thanks to all those children, parents and teachers, who shared their lives with us and opened windows for us to see clearly. Silakan kamu terjemahkan sendiri. Hehehe…
Nah, dari contoh dalam dialog di film yang saya kutip di atas, bahwa menyelesaikan masalah itu harus jelas dilihat dari penyebabnya. Ini akan memudahkan mencari solusi. Kalo cuma diobati gejalanya, sementara penyebab utamanya nggak kamu sentuh, itu namanya sia-sia. Contoh, kalo kamu merasakan sakit perut, disertai mual, pusing, bahkan muntah. Itu cuma gejala. Harus dicari penyebabnya. Kalo yang diobati adalah gejalanya saja, penyakit tersebut akan tetap bercokol di tubuhmu. Di sinilah perlunya menelusuri penyebab utamanya.
Bagaimana dengan kasus kekerasan di sekolah? Apa penyebab utamanya? Mari kita telusuri ya. Mengapa anak-anak bisa berbuat demikian? Jawabannya karena bisa jadi mereka melihat tayangan televisi. Di televisi ada film yang bernuansa kekerasan. Sinetron juga demikian. Bahkan kalo sekarang film-film dengan berbagai tema bisa di-download dengan mudah di internet. Siapa yang menjamin mereka tak terpengaruh dengan isi pesan dari film yang ditontonnya? Lalu, pertanyaan berikutnya, apakah ada pengawasan dari orang tua? Hadeeuhh… kalo ada anak di bawah umur sudah melakukan kekerasan atau perilaku negatif berarti pengawasan orang tua nggak ada. Kok bisa nggak ada? Orang tua banyak juga yang nggak peduli dengan berbagai sebab, lho. Entah keduanya bekerja di luar rumah, atau mungkin nggak ngerti gimana ngadepin perilaku anaknya. Bahaya memang.
Sobat gaulislam, kalo dirunut semua bisa banyak penyebab. Ada penyebab yang diakibatkan dari sebab utama. Ini jumlahnya banyak. Tetapi penyebab utama jelas satu jumlahnya. Nah, yang disebutkan tadi adalah penyebab sekunder atau tersier. Hanya dampak ikutan doang. Lalu, apa penyebab utamanya? Penyebab utamanya, tidak diterapkannya aturan Islam dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan juga negara. Ini penyebab dari semua masalah yang ada, termasuk kekerasan yang dilakukan anak-anak dan remaja.
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa saallam bersabda, “Mencaci orang Mukmin itu adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR Bukhari)
Dalam hadis yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa ssalam bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki, janganlah saling bermusuhan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Bukhari)
Oya, perundungan atau bullying sering juga dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelasnya. Kalo itu yang terjadi, perlu juga nih para senior mengetahui satu hadis ini. Dari Amr Ibn Syu’aib dari ayahnya dari neneknya radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita.” (Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi). Imam at-Tirmizi mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan sahih. Dalam riwayat Abu Daud disebutkan: hak orang yang tua dari kita. Nah, dari ajaran ini saja kita semestinya bisa ngeh bahwa kalo Islam yang dipahami dengan benar dan baik, nggak bakalan ada kasus-kasus seperti ini. Percayalah.
Mencari solusi
Sobat gaulislam, tentu saja kasus ini perlu ada solusi. Tadi udah kita bahas bahwa penyebab utamanya adalah karena tidak diterapkannya dengan benar dan baik syariat Islam, baik pada individu, keluarga, masyarakat dan juga negara. Maka, solusi yang bisa kita lakukan adalah berjenjang. Individu dan keluarga bisa dibangun kesadarannya dengan memberikan pemahaman kepada para orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Mengawasi mereka dan menanamkan ketakwaan sebagai benteng pertama. Masyarakat juga harus diberikan pendidikan oleh anggota masyarakat lainnya yang sudah paham masalah dan solusinya agar masyarakat mampu menjadi bentang kedua dalam pengawasan individu di tengah masyarakat. Negara juga wajib membuat aturan dan memberikan sanksi bagi individu, masyarakat dan pejabat negara yang melanggar. Ini benteng utama penerapan aturan Islam.
Ancaman Mendikbud Mohammad Nuh dalam kasus bullying di Bukittinggi adalah satu contoh ketegasan. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme-sekularisme penyelesaiannya tak menyeluruh. Nggak cuma guru dan pengelola sekolah dan anak-anak yang diberi sanksi, tetapi juga harus mengubah sistem pendidikannya dengan benar dan baik. Nah, agar sistem pendidikannya benar dan baik, hanya bisa diterapkan melalui penerapan Islam sebagai ideologi negara. Tanpa Islam, tidak akan pernah bisa selesai seluruh problem kehidupan. Percayalah! Maka, solusinya adalah dengan menerapkan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan individu, bermasyarakat dan juga bernegara. Yuk, kita memperjuangkannya agar cepat terwujud kembali di muka bumi ini. Wajib, itu! [O. Solihin | Twitter @osolihin]
Assalamu’alaikum….
izin mengutip ilmunya supaya bisa diamalkan lebih luas lagi, ya, min. terimakasih. *sumbernya ditulis kok ^_^