Friday, 22 November 2024, 10:51

by: Herman Hidayat

“Ha…ha…haaa……Wheeeeeeek…Majnun gila…Majnun gila”

Terlihat sekelompok pemuda yang lagi asyik nangkring di trotoar tertawa penuh ejekan. Ternyata sosok yang mereka soraki adalah seorang laki-laki kurus, celana panjang di angkat sekitar mata kaki, tak terurus dengan baju ala kadarnya Yang kutahu, memang sosok laki-laki itu sering lewat di jalanan kampungku, dan orang-orang menyebutnya Majnun alias Orgil.

“Wheeeeeeek…Majnun gila…Majnun sableng”, kembali Ja-im, pemuda rambut merah gondrong ala F4 mengolok dengan ekspresi moka (monyet Kalimantan). Membuatku terpaku di seberang jalan……

“Majnun…gila? Eh, sebenarnya yang gila siapa? Kalo si? Majnun, emang jelas-jelas agak nggak waras, tapi kenapa Ja-im ikut-ikutan konslet begitu” pikirku.

Ja-im and the ganks saban hari cuma duduk, ngerumpi, main domino, ngegodain orang lewat, apalagi cewek, sweet-sweet da’, apa itu juga nggak lebih gila lagi? Parahnya, mereka sering ngajak temen-temen kampung main togel (toto gelap). Padahal, segoblok-gobloknya Majnun, toh ia nggak pernah main judi. Segila-gilanya orang gila nggak pernah tuh ngegodain orang lewat. Dan sesableng-sablengnya Majnun, ia toh nggak pernah terlibat ngerumpi, apalagi ngrasani orang. Lha kok orang yang ngaku waras tambah seneng ghibah orang lain. Weleh-weleh aku jadi pusing, sebenarnya siapa yang layak mendapat gelar honoris cousa “Majnun”.

Ehm…sudahlah yang jelas Ja-im dan konco-konconya memang nggak bisa dibiarkan! Mereka lebih berbahaya dari wabah SARS. Kulihat, sosok lelaki yang dipanggil Majnun berlalu dengan menenteng tas lusuh, berbelok di perempatan jalan. Kata orang sih! Dulunya ia normal-normal aja. Tapi nggak ada yang ngerti kenapa tiba-tiba terlihat jadi aneh. Asal-usulnya aja nggak jelas. Akhirnya secara aklamasi warga kampung menamainya Majnun.

“Awaaaaaaaaas……bruak!!” Teriakan dan suara benturan keras mengagetkanku. Orang-orang semburat kearah suara.

“Ada apa……ada apa?” segera kubergegas ke arah orang-orang itu.

“Siapa……siapa? Oh……Majnun…” Masya Allah, sosok Majnun terlihat terbaring tak bergerak meski tanpa luka di samping tiang listrik. Lima meter di samping kirinya tergeletak seorang pengendara sepeda yang bersimbah darah. Sepedanya hancur diterjang truk.

“Tangkap…tangkap…bakar……bakar!” sebagian orang berusaha memegang sopir truk seraya mengguncang-guncang truk besar itu.

“Oooooiiii…..! Sabar-sabar! Jangan main hakim sendiri,” sebagian warga yang lain berusaha menenangkan. Suasana malam itu jadi memanas dan gaduh. Tapi, untunglah polisi patroli segera datang melerai. Dengan sigap mereka menaikkan sopir truk ke mobil patroli untuk menghindari amukan massa. Beberapa saat kemudian ambulans datang membawa Majnun dan pengendara sepeda, entah kemana.

“Semoga mereka berdua selamat”, ujarku lirih. Lalu lintas pun kembali normal, dan orang-orang pun? membubarkan diri.

“Tapi…eh…itu khan tasnya Majnun” pandanganku tertuju pada tas lusuh dekat tiang listrik. Kuhampiri dan kuraih pelan-pelan. Berat juga, apa isinya? Ingin kubuka, tapi…eh ini kan milik Majnun. Bukan punyaku. Apa hakku ngobrak-ngabrik tas orang? Si Majnun dibawa kemana ya ama ambulans? Baiklah kusimpan dulu, nanti kucari informasi.

Kulanjutkan perjalananku pulang ke rumah dua blok arah timur dari perempatan itu. Sepanjang jalan kuperhatikan wajah-wajah pengendara yang lalu lalang malam itu. Moga-moga mereka bisa ati-ati. Wajah serius kadang-kadang tegang menyembul di balik kaca mobil mengkilatnya. Tidak jarang sebenarnya kulihat nuansa gelisah pada roman muka kebanyakan mereka? saat? aku berangkat sekolah saban hari. Apalagi saat macet… waduh…emosional! Segala jenis umpatan dan makian sahut-menyahut tanpa henti. Kontras banget ama wajah Majnun yang senantiasa tersenyum meski tanpa lawan bicara. Aneh!

Yang lebih heboh lagi Majnun nggak pernah terlihat gelisah mencari sesuap makanan. Toh badannya sehat-sehat aja. Belum pernah sampe check up, rawat inap,? kena kolesterol, darah tinggi, darah rendah apalagi darah yang sedeng. Nggak pernah tuh! Tapi begitulah, seolah fenomena Majnun memberi pelajaran padaku betapa Allah SSw. tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Bagaimanapun keadaannya. Demikian Allah Swt. membagi rizki kepada makhluk-makhluk-Nya dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya. Buktinya, ayam kampung di rumah juga seger-seger meski nggak perlu sekolah. Padahal makannya cuma jagung. Lha, terus kenapa aku yang udah sekolah masih bingung juga? Padahal jangankan jagung…beras, ketela, pisang, sampe rujaknya Mbok Nah aku juga doyan. Nggak rasional memang!

Ehm……sampe’ juga. Tok…….tok……tok

“Assalamu’alaikum. Lho sepi ……pada kemana nih everybody?” kutaruh sepatu di rak dan bergegas ke kamar.

“Meooooooong! Astaghfirullah!” tanpa sengaja si Robby (nama kucing kesayanganku) mengobrak- abrik isi tas majnun.

“Dasar kucing tidak punya akal, tas sudah jelek masih diobrak-abrik,” gerutu dengan nada kesal pool. Segera kubereskan dan…oh…apa ini…Mataku terpaku melihat buku kecil bertuliskan Pencarian.

Tanpa sadar kubuka lembar pertama sampul buku itu……terpampang jelas…… nama pemiliknya. Nama: Hamba Allah; Alamat rumah: Bumi Allah; Alamat kantor: Masjid Allah; Nomor Telp: Suara Adzan. Aku tertegun, apa maksud tulisan ini. Tidak sabar kubuka lembaran kedua buku itu :

Majnun, orang-orang memanggilku demikian, padahal mereka tidak tahu bahwa aku baik-baik saja. Mereka menghinaku, tak jarang melempariku kotoran. Tapi sebenarnya jiwa merekalah yang kotor, kenapa dilimpahkan padaku? Mereka tertawa-tawa mengejekku, padahal mereka seharusnya menangis telah berbuat aniaya padaku. Mereka membuang muka padaku, padahal Allah yang Maha Agung senantiasa berkenan menatapku di rumahNya. Mereka merasa jijik padaku, enggan memberi makanan bersihnya padaku. Padahal Rabbku tak pernah malu menciptakanku. Tiada yang tersia dari ciptaanNya. Allahuakbar.

Deg……jantungku seakan berhenti berdenyut. Apa benar ini tulisan Majnun. MasyaAllah. Kubuka lembaran ketiga………….

Hari ini aku lewati malam yang sepi bersama-Mu. Engkaulah satu-satunya yang perduli padaku. Duhai Allah…, kudamba kehadiran-Mu….selalu. Tiada kupeduli tangan kasar mereka. Apalah artinya dengan belai lembut-Mu. Tiada kupeduli dingin malam ini. Apalah artinya dengan hangat kasih-Mu. Tiada kupeduli caci mereka. Apalah artinya dengan merdu firman-Mu. Aku adalah hamba dan Engkaulah penguasanya.

Majnun! Terbayang wajah sosok lelaki itu dibenakku. Tanpa sadar aku pun masih terpekur di depan pintu kamarku. Kubuka lembar keempat…….

Malam ke-100 pencarianku. Telah kudapati sekelompok muda-mudi yang mengaku berakal, menghabiskan waktu di perempatan jalan, diskotik, rumah kosong, berteman alkohol dan narkotika. Syetan-syetan tertawa. Akupun berpaling. Kujumpai pula sekelompok pemuda tunduk dirumah-Mu. Ada yang menangis takut siksa-Mu, ada yang menyesal mohon ampunan-Mu, ada yang tekun membaca firman-Mu. Akupun tersenyum. Duhai Allah…semoga besok Engkau berkenan menjumpaiku.

Kubuka lembar kelima…tapi… kosong. Tak ada goresan tinta sedikitpun. Rupanya itu tulisan terakhirnya. Akupun terdiam, masih kutatap catatan Majnun. Ada yang tidak kumengerti.

Majnun…ternyata…tidak seperti perkiraan orang-orang. Selama ini orang-orang hanya berburuk sangka dengan melihat sosok tubuh dekilnya. Segera kutersadar dan kembali kurapikan buku kecil itu dalam tas lusuh Majnun…atau…siapa dia sebenarnya? Kusimpan tas itu di pojok kamarku. Aku pun bergegas mandi, sholat dan istirahat. Tapi…tak dapat kupejamkan mata. Bayangan, tulisan, dan rasa berdosa? menggema di rongga dada. Malam makin larut Bismika Allahumma Ahya wa bikamuut.

Keesokan harinya, jam 03.30 WIB aku bangun dari tempat tidurku. Dengan rasa malas tercampur terpaksa, akupun pergi ke kamar mandi sekaligus wudhu’. Kulaksanakan sholat tahajjud sebanyak 2 rakaat plus witir 1 rakaat, sambil menunggu adzan shubuh kuiringi dengan baca al-Quran.

Pagi-pagi bolong, aku pergi ke masjid menghadiri kajian Tauming See (Tausiyah Seminggu Sekali) bersama Ustadz Faqih dari Surabaya. Satu jam kulalui di masjid,? akupun pergi rumah sakit “Aisyiyah” tempat Majnun dirawat.

Kutatap dengan penuh iba tubuh kurus tak berdaya yang tergeletak di tempat tidur kamar C-29.

“Assalamualaikum” dengan serta merta Majnun menjawab “Wa’alaikum salam”.

“Aku mau mengantrakan tasmu yang terjatuh saat tabrakan kemarin. Dan saya mohon maaf? karena saya telah membaca bukumu” aku grogi dan menyesal.

“Oh, tidak apa-apa. Terima kasih” sambut Majnun.

Kulihat jam tanganku menunjukkan Jam 08.30 WIB, tanpa berfikir panjang aku pun pamit untuk pulang karena jam 3-4 ada kuliah Konversi Energi I.

“Assalamulaikum” ucapku. Lalu aku pergi dengan rasa syukur dan kagum sambil berkata dalam hati, “Majnun… mudah-mudahan Allah memberikan kesembuhan buatmu… Ya Allah? …Majnun… . Andai mereka semua tahu.”

Terima kasih kuucapkan kepada Ja’far atas idenya.

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi 13/Tahun VIII/Juni 2003]

2 thoughts on “Catatan Kecil Majnun

  1. aQ benar2 terharu sampai air mata pun tak terasa sudah menetes. Cerpen ini memberikan hikmah bahwa Qt tdk boleh memandang seseorang itu hanya dari fisiknya saja,dan saya akui terkadang masih saya lakukan. Mulai saat ini saya pun akn berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk itu,,karena dimata Alloh SWT kita semua sama.kecuali ketaqwaan kita.
    terima kasih

Comments are closed.