Friday, 22 November 2024, 11:06

Eh, pernah dengar lagu “Rekayasa Cinta� yang didendangkan Mbak Camelia Malik? Hmm, pasti apal deh buat kamu yang rambutnya keriting. Lho kok, bisa? Iya, karena biasanya orang yang rambutnya keriting hobi lagu dangdut tuh (hehehe.. sori sekadar menghubung-hubungkan aja nih, karena rata-rata para penyanyi dangdut rambutnya keriting, atau paling nggak ikal—kecuali Alam kali ye? Terus, temen-teman saya yang rambutnya keriting hampir semuanya hobi dangdut). Yee… ini ngelantur kemana-mana. Gejlig!

BTW, mau tahu lirik lagunya? Ini nih penggalannya, “Cinta kini sudah direkayasa, diolah-alih semanis madu (hei tapi berbisa). Cinta… kini sudah jadi dilema, beritanya pun sudah jadi topik utama. Nuansanya tak lagi melukiskan, pesona indahnya kemesraan jalinannya tak lagi menjanjikan, masa depan kebahagiaan.â€? Silakan dinyanyikan dengan langgam dangdut biar terasa suasananya.

Sobat muda muslim, di jaman industrialisasi seperti sekarang, segalanya bisa direkayasa. Supaya apa? Supaya wajah yang tadinya tampak biasa-biasa, akan disulap jadi lebih kinclong, badan yang kerempeng bisa dipermak jadi atletis. Buat yang kebetulan punya wajah kayak buah mengkudu alias jerawatan, nggak usah khawatir. Karena apa? Karena tuh wajah bisa ditaburi atau diolesin pake kosmetika antijerawat. Biar mulus, biar kinclong dan bikin pede.

Supaya iklan shampo tampak menarik, maka teknologi siap merekayasa. Mulai dari memilih model yang emang rambutnya udah bagus, dibikin lebih keren. Kamera berperan untuk menyempurnakan gambar. Berbagai software pendukung dalam teknologi komputer bisa dimintai bantuan untuk membuat visualisasi seperti yang diinginkan. Intinya, biar tampak bagus dan pemirsa merasa kudu membeli produk itu karena tergiur oleh rekayasa iklan yang ciamik punya.

Sekarang, bukan hanya produk yang dikemas dengan sangat menarik. Direkayasa supaya bisa tampil menawan dan menggoda masyarakat untuk membelinya. Ya, bukan hanya barang yang direkayasa, sekarang urusan pribadi seseorang pun bisa pula direkayasa. Cinta salah satunya. Nggak percaya?

Hmm.. lihat deh etalase-etalase cinta di televisi, ada Katakan Cinta, Nikah Gratis, dan Joe Millionaire Indonesia (RCTI); Playboy Kabel dan H2C (Harap-harap Cemas) di SCTV; Outback Jack dan The Bachelorette (TV7); My Big Fat Obnoxious Fiance yang disiarin di Indosiar; termasuk Cinta Lokasi di Global TV.

Daftar di atas memang disebut sebagai acara reality show. Tapi meski nama acaranya “menampilkan kenyataan�, tetep aja nggak seru kalo nggak disuntikkan dramatisasi di dalamnya. Jadi, di sini jelas ada peran dari sutradara, penulis naskah, dan juga tukang rias. Supaya apa? Supaya lebih gereget. Contohnya Joe Millionaire Indonesia, untuk menampilkan Marlon yang tampan, gagah, dan miliarder, maka pemuda yang tadinya luntang-lantung sebagai peselancar di Pantai Kuta Bali, disulap jadi lebih keren dan supaya terkesan tajir. Inilah rekayasa saudara-saudara.

Rekayasa itu rasanya penting memang, bahkan bila perlu dibuat seideal mungkin. Kalo nggak ada rekayasa memang nggak seru kayaknya. Pemain sepakbola pun, meski tanpa skenario khusus dalam setiap pertandingan yang digelar, �dituntut’ juga untuk melakukan trik-trik menjebak lawan supaya terkena offside, misalnya. Atau mungkin pura-pura terjatuh di dalam kotak penalti lawan. Itu disebut diving. Kalo itu itu dilakukan dengan piawai seperti yang sering dilakukan Jurgen Klinsman dan Filippo Inzaghi, dan wasitnya nggak ngelihat aksinya yang pura-pura itu, bisa langsung dihadiahi tendangan penalti. Ini juga rekayasa. Kalo nggak gitu, mungkin nggak dapat kesempatan mengalahkan lawan.

Rekayasa realitas
Boleh dibilang saat ini kita kebingungan nyari realitas yang apa adanya tanpa direkayasa. Seringkali sebuah berita direkayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi sebuah kenyataan. Padahal itu sudah dibubuhi opini si penulis berita di media massa yang bersangkutan. Jadi bias kan?

Ya, karena dalam teori komunikasi massa, media memang mutlak adanya seperti yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell, yang disebut Channel atau saluran komunikasi. Saluran inilah yang akan menyalurkan massage atau pesan antar komunikan dan efek yang akan timbul dari komunikasi tersebut. Dari teori itu dapat diketahui adanya kemungkinan manipulasi dalam penyampaian pesan pada saat melewati saluran tersebut sangatlah besar. Sehingga Marshall Mcluhan menyatakan bahwa “The Medium is the Massageâ€? yang berarti suatu?  medium (media)?  yang dipakai untuk menyampaikan suatu pesan merupakan pesan itu sendiri.

Wow, ternyata emang banyak peluang ya untuk bisa merekayasa sebuah pesan sebelum sampe ke masyarakat yang akan mengakses informasi yang ditayangkan atau ditulis di media massa. Pendek kata kudu dipoles sedemikian rupa, supaya tidak saja isinya sesuai keinginan pemilik media, tapi juga kudu punya nilai bisnis dan menghibur.

Untuk urusan cinta juga ternyata sama. Realitas yang ada itu direkayasa sedemikian rupa supaya tampak lebih gereget dan kelihatan dramatis. Lihat aja deh acara Playboy Kabel yang perlu menghadirkan jebakan berupa “umpan� seorang cewek untuk menguji apakah seorang pemuda itu playboy apa nggak dengan cara meneleponnya atau ngirim SMS. Cara si “penggoda� berbicara dengan calon korbannya, pertanyaan apa saja yang kudu diajukan dan sebagainya, semuanya dibuat dan dirancang khusus. Tujuannya? Untuk memancing reaksi alamiah. Maklum, umumnya orang Indonesia katanya sulit untuk tampil ekspresif (menyatakan perasaan secara terbuka dan �heboh’).

Sobat muda muslim, cinta sepertinya juga dibidik untuk ditampilkan dalam acara reality show. Kalo dulu, cinta cuma untuk dinikmati sepasang kekasih, kini nggak lagi. Kayaknya udah luntur dan berganti budaya bahwa cinta juga kudu diekspresikan dengan sesuatu yang unik, dan bahkan mungkin nekat. Coba deh lihat aksi para �pejuang cinta’ dalam tayangan Katakan Cinta. Misalnya episode Adit yang menyatakan cintanya pada Anggia Karisma.

Dalam tayangan itu, tiba-tiba cowok itu muncul di layar lebar yang menayangkan pagelaran Jazz Goes to Campus di salah satu sudut Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Adit nggak cuma muncul, tapi ia melakukan hal yang terbilang nekat: menyatakan cinta kepada pujaan hatinya, Anggia Karisma yang menonton acara itu. Waduh, gimana urusannya tuh?

Meski pernyataan cintanya ditolak, tapi atas aksinya itu, Adit dinobatkan oleh pemirsa sebagai pejuang cinta favorit dan berhak menggondol duit 11 juta perak. Nah, di sini juga ada peran �tangan-tangan misterius’ yang membuat skenario seperti itu. Mungkin saja awalnya adalah ide Adit, tapi kemudian dipoles sedemikian rupa supaya lebih menarik pemirsa.

Persis kayak dalam pertandingan SmackDown yang bo’ong-bo’ongan itu. Tapi penonton suka, gitu lho. Aneh juga ya? Mungkin karena kita terbiasa nonton film dan sinetron, sehingga tayangan seperti reality show pun kudu benar-benar dramatis. Untuk alasan itu, sutradara dan tim kreatif acara reality show kudu berjibaku untuk membuat rekayasa. Ya, merekayasa sebuah realitas supaya terlihat lebih gereget dan dramatis. Hmm…

Komoditas cinta
Dalam sistem ekonomi kapitalis, apa pun bisa dijadikan komoditas. Dipoles dan dikemas supaya menarik dan menghibur, lalu dijual. Uang saja bisa jadi komoditas yang diperjual-belikan, lihat deh gimana maraknya perdagangan uang di bursa efek. Nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa naik-turun tergantung supply and demand. Sama persis dengan harga jual beras atau cabe keriting yang bergantung penawaran dan permintaan pasar. Walah!

Cinta juga rupanya sama, perlu dijadikan komoditas untuk mengeruk keuntungan. Kok bisa sih? Hmm.. ini mirip acara infotaiment sobat. Para pemilik modal tahu bahwa manusia secara alamiah punya rasa ingin tahu terhadap kehidupan pribadi orang lain. Jadi, ini semacam memuaskan �insting’ itu. Maka dikemaslah acara reality show. Bedanya dengan infotainment, dalam reality show tokohnya adalah orang biasa. Bukan selebritas. Begitu.

“Kalau dulu, di Indonesia cinta itu terjadi antara dua orang yang malu-malu, yang orang lain nggak perlu tahu,� kata psikolog Harry Susianto, PhD. “Tapi, kalau sekarang, seluruh Indonesia harus tahu, dan kesannya cinta bukan sesuatu yang serius. Kalau dulu, orang sampai demam karena cinta, tapi sekarang main-main, sudah seperti show,� tambahnya dalam wawancaranya dengan Koran Tempo.

Sobat muda muslim, yang namanya show, selain kudu ada unsur rekayasa juga kudu ada sisi yang menghibur dan bisa dijual. Jadi, cinta memang akhirnya sudah dianggap sebagai komoditas untuk dijual. Lucunya, ada juga masyarakat kita yang mau mengekspresikan cinta dan pengalaman pribadinya di acara reality show. Kok bisa ya? Psikolog Harry Susianto, PhD melihat masyarakat kini memang lebih ingin terkenal. “Orang sekarang lebih ada kebutuhan terkenal,� katanya. “Istilah mahasiwa saya itu, �banci tampil’.� (Koran Tempo, 27 Maret 2005)

Kalo cinta sudah jadi komoditas, tentunya pengemasan produk dan pemasarannya kudu sangat serius. Bila perlu menyuntikkan kebiasaan (habit) kepada masyarakat. Sehingga seolah-olah bahwa itu adalah disukai masyarakat. Persis ketika mengiklankan sebuah produk sabun cuci, kudu ada orang-orang yang bukan selebritas yang mempromosikan keunggulan sabun cuci tersebut. Sehingga kesannya bahwa itu disukai oleh masyarakat. Padahal, kalo dipikir-pikir, masyarakat yang mana ya? Nggak jelas juga kan?

Itu sebabnya, Victor Menayang, pengamat media, menilai bahwa “pertunjukan kenyataan� merupakan rekayasa. “Bohong kalau mereka mengatakan bahwa itu selera masyarakat,� kata Victor.

Wah, wah, ketahuan dah modalnya. Iya sih, kayaknya jaman sekarang sulit juga nyari yang benar-benar sebuah “pertunjukan kenyataan� yang steril dari rekayasa. Pasti ada polesan dikit-dikit untuk menciptakan dramatisasi. Maklumlah, namanya juga orang jualan. Kalo dagangannya nggak enak dipandang mata, nggak seru dinikmati, bisa nggak laku tuh. Kalo udah nggak laku, terancam gulung karpet deh usahanya. Betul?

Melek media
Yup, kita kudu melek media alias media literacy. Nggak mudah untuk dibohongi dan dipermainkan. Kita juga nggak sekadar menikmati suguhan media massa, tanpa menyaring informasi tersebut. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang, kita sedang adu kuat dalam perang opini antar media. Siapa tahu justru kita malah jadi korbannya. Itu sebabnya, kita kudu waspada. Allah Swt. sebenarnya sudah mewanti-wanti dalam al-Quran, “�Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan.� (QS al-Hujurat [49]: 6)

Ibnu Qoyyim mendefinisikan an-naba’ dalam ayat ini berarti berita yang masih belum pasti yang disampaikan pembawa berita. At-tabayyun adalah mencari penjelasan hakikat berita itu dan memeriksa seluk beluknya. Sedangkan menurut Imam asy-Syaukani, tabayyanu berarti at-ta’arruf wa tafahhush (mengidentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dari berita yang disampaikan.

Nah, dalam melek media ini, yang bisa kita lakukan adalah: menyaring informasi dan sesuaikan dengan Islam. Jika menurut Islam benar dan baik, maka ambil. Kalo nggak, tentu kudu ditinggalin en dibuang.

Selain itu, upaya melek media ini kudu didukung pemerintah juga untuk mengawasi dan menghukum media yang menayangkan program yang tak bermanfaat, apalagi menyesatkan. Negara kudu mendidik pelaku bisnis media untuk tidak hanya sekadar menampilkan hiburan dan mengeruk duit saja, tapi kudu ada pesan kebenaran yang disampaikan.

Buat kamu, yuk kita kaji Islam lebih dalam lagi dan asah keterampilan kamu dalam menilai suatu peristiwa. Pastikan, bahwa patokan untuk menilainya adalah Islam. Bukan yang lain. Karena apa? Karena kita muslim. [solihin]

(Buletin STUDIA – Edisi 239/Tahun ke-6/11 April 2005)