gaulislam edisi 852/tahun ke-17 (9 Sya’ban 1445 H/ 19 Februari 2024)
Pemilu usai digelar. Namun, masih menyisakan berbagai persoalan. Bagi kamu yang masih remaja, tentu perlu juga peduli dengan hal-hal beginian di sekitarmu, atau secara lebih luas, yakni persoalan di negeri kita tercinta ini. Negeri dengan jumlah penduduk mayoritas kaum muslimin. Miris juga sih, antar kelompok masyarakat sesama anak bangsa, dan tentunya sebagian besar sesama muslim malah berantem. Bertengkar kata-kata, dan berpotensi adu fisik. Ngeri, sih.
Apa pasal? Iya, nih. Udah jadi bahan obrolan sehari-hari masyarakat saat ini, baik di media sosial (X, WhatsApp, Telegram, Youtube, Instagram, Tiktok) maupun di warung kopi dan pos ronda. Ya, adalah soal adanya tindak kecurangan dalam pilpres yang dilakukan pihak tertentu untuk menguntungkan salah satu paslon. Perolehan suara paslon tertentu sepertinya digelembungkan jumlahnya. Nggak tanggung-tanggung, malah bisa mencapai ratusan atau ribuan dalam satu TPS. Padahal, jumlah pemilih di masing-masing TPS dibatasi paling banyak 300 orang. So, gimana ceritanya kalo ternyata ada banyak TPS yang dalam penghitungan suara yang ditampilkan di website KPU, jumlah suara sahnya melebihi jumlah pemilih. Aneh.
Akibatnya, berbagai pihak (terutama rakyat yang merasa dirugikan karena suaranya disalahgunakan) akhirnya melakukan protes dan menuduh sudah ada kecurangan. Ada sih yang mencoba menganalisis, salahnya di mana, apakah dalam aplikasi siRekap atau di website KPU atau penggunanya. Silakan kamu cari tahu sendiri. Banyak beredar beritanya. Cuma kalo mau berpikir lebih dalam, jika pun ini kecurangan sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Sejak proses pendaftaran cawapres paslon tertentu, ikut cawe-cawenya presiden yang jelas-jelas mendukung paslon yang di situ ada anak kandungnya. Kalo kamu nonton film dokumenter Dirty Vote pada tanggal 11 Februari 2024 tayang serentak di dua channel Youtube, di situ dibahas cukup detil siapa mendukung siapa, siapa melakukan apa, siapa memihak siapa, dan tentu saja, proses kecurangan sudah berjalan terstruktur, sistemik, dan massif. Luar biasa.
Penggiringan opini juga udah di-setting sejak masa kampanye. Ada paslon yang gemar sekali mengeluarkan hasil survei, bahwa paslonnya selalu lebih unggul ketimbang paslon lainnya. Disebutkan bakal menang satu putaran, maka surveinya selalu di atas 50%. Nah, itu sudah penggiringan opini. Padahal, siapa yang disurvei, di daerah mana, nggak ada penjelasan detil. Pokoknya, keluar angka-angka yang udah bikin senang paslon tertentu dan pendukungnya.
Jadi wajar juga kalo akhirnya dicurigai ada kecurangan ketika di hari pencoblosan, paslon tertentu yang selama ini diunggulkan dalam survei, sore harinya udah berniat deklarasi kemenangan. Aneh nggak kira-kira menurut kamu? Hasilnya hanya berdasarkan quick count alias hitung cepat beberapa lembaga survei yang selama ini diduga kuat bagian dari pihak paslon mereka. Padahal, resminya adalah real count KPU.
Namun, setelah banyaknya suara penolakan terhadap hasil quick count lembaga survei dan gelombang warganet yang memfoto atau memvideokan beberapa bentuk kecurangan, akhirnya tak jadi deklarasi. Iya, sih. Belum-belum udah pengen menang aja.
Emang boleh curang?
Sobat gaulislam, pertanyaan retoris. Tahu apa itu pertanyaan retoris? Ya, pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang diajukan bukan untuk mendapatkan jawaban konkret, tetapi untuk menyoroti atau mengarahkan perhatian pada suatu argumen, menyampaikan sebuah gagasan, atau membangkitkan pemikiran dalam pikiran pendengar atau pembaca. Biasanya, jawaban atas pertanyaan retoris sudah jelas atau disimpulkan dari konteksnya, dan tujuan utamanya adalah untuk memperkuat pesan yang disampaikan atau untuk merangsang refleksi atau pemikiran yang lebih dalam.
Jadi, tentu saja kita nggak boleh berlaku curang. Malu dan memalukan kalo dilakukan. Kecurangan adalah tindakan nggak jujur atau nggak adil yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok atau untuk menghindari konsekuensi negatif.
Pertanyananya, mengapa seseorang bisa berlaku curang? Dari literatur yang pernah saya baca, terutama kaitannya dengan aspek psikologi, ada beberapa penyebab seseorang berlaku curang.
Pertama, teori kendali diri. Menurut teori ini, kecurangan bisa terjadi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan impuls untuk mendapatkan keuntungan segera, bahkan jika itu melibatkan tindakan yang tidak jujur atau melanggar aturan.
Waduh, ini udah terbukti di paslon tertentu yang dipaparkan di film Dirty Vote. Beneran. Jadi, bener ya orang yang curang itu nggak bisa mengendalikan impuls. Apa itu impuls?
Jadi, impuls itu merujuk pada dorongan atau keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu dengan cepat tanpa pertimbangan yang matang terhadap konsekuensi jangka panjang. Nah, dalam konteks teori kendali diri, impuls muncul ketika individu menghadapi konflik antara keinginan atau dorongan sesaat dengan tujuan jangka panjang atau nilai-nilai yang lebih besar.
Misalnya, kalo kamu memiliki keinginan untuk membeli barang-barang mewah yang sebenarnya melebihi kemampuanmu secara finansial. Meskipun menyadari bahwa membelanjakan uang secara berlebihan dapat berdampak negatif pada keuangan pribadimu, impuls untuk memenuhi keinginan sesaat bisa jadi memengaruhi pengambilan keputusanmu.
Nah, dalam konteks kecurangan, impuls juga dapat terkait dengan dorongan untuk mendapatkan keuntungan atau hasil yang diinginkan tanpa memperhitungkan konsekuensi etis atau moral dari tindakan tersebut. Orang yang curang mungkin terdorong oleh impuls untuk mencapai hasil tertentu dengan cepat atau untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan, bahkan jika itu melibatkan tindakan yang tidak jujur atau melanggar aturan.
Banyak beredar cuitan di X (dulu Twitter), kalo MK (Mahkamah Konstitusi) aja diakalin dengan meloloskan anaknya jadi cawapres dengan aturan yang nggak masuk akal, apalagi kalo sekadar mengakali KPU dan Bawaslu. Masa kampanye rakyat bawah diguyur bansos dan bantuan langsung tunai. Duitnya dari negara, tetapi paketnya dilabeli foto paslon dan yang bagiin juga ikut promosi supaya milih paslon tersebut yang didukung presiden. Jelas ini salah satu bentuk kecurangan. Duh, i…i…ini parah, nih!
Kedua, yakni teori norma sosial. Seseorang bisa saja melakukan kecurangan karena merasa tekanan sosial atau karena mengikuti norma yang ada di lingkungan mereka. Jika lingkungan di sekitarnya menganggap kecurangan sebagai hal yang dapat diterima atau jika melihat orang lain melakukan kecurangan tanpa konsekuensi yang signifikan, individu tersebut mungkin cenderung untuk melakukan hal serupa. Intinya, paslon ini udah merasa di atas angin ketika sejak pertama kali curang atau ngakalin, respon masyarakat biasa aja. Jadi, ngerasa udah diatas angin, akhirnya ketagihan berlaku curang karena dianggap nggak akan dipersolkan. Menyedihkan!
Ketiga, faktor kesempatan juga memainkan peran penting. Jika seseorang merasa bahwa kesempatan untuk curang ada dan risiko terdeteksi atau dihukum rendah, mereka mungkin lebih cenderung untuk melakukan kecurangan. Begitulah yang sering terjadi saat ini, dan bahkan pada kasus pemilu ini. Sebab, bukan cuma di 2024, di lima tahun sebelumnya, dan lima tahun sebelumnya lagi juga bisa jadi begitu. Akhirnya ya diulang. Cuma, sekarang nggak bisa melenggang bebas karena banyak pihak mempersoalkan dan mengeluarkan bukti-bukti kecurangan dan bersuara keras di media sosial dan media massa. Begitu.
Keempat, adanya motivasi eksternal. Ini berat, misalnya ada tekanan dari pihak tertentu untuk mencapai target atau harapan mereka, seperti tekanan dari atasan di tempat kerja, bisa juga dari keluarga karena keinginan berkuasa dari kalangan keluarga sendiri (politik dinasti), atau tekanan dari bohir (bandar) politik yakni para oligarki. Semua itu bisa mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan sebagai cara untuk memenuhi harapan tersebut.
Jadi, nggak boleh curang, ya. Bahaya kalo curang, apalagi pelaku curangnya demi mendapatkan jabatan penting di negara. Ingat, pelaku curang itu ya pecundang. Apa itu pecundang? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ada beberapa pengertian: yang kalah atau dikalahkan; bisa juga orang yang menghasut; dan bisa diartikan orang yang menipu. Nggak bagus semua artinya. Jika menyesuaikan dengan judul buletin edisi pekan ini, pecundang bisa diartikan orang yang menipu. Aduh, ngeri banget.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Jagalah dirimu dari dua musuh yang membinasakan kebanyakan manusia; orang yang menghalangi dari jalan Allah dengan syubhatnya dan ucapan indahnya yang menipu, dan orang yang terfitnah dengan dunia dan kepemimpinannya.” (dalam al-Fawaid, hlm. 74)
Tuh, dengerin nasihatnya, ya. Bukan malah ngenyek (merendahkan atau menghina) dengan bilang, “Sorry ye, Sorry yee!” Tapi harus direnungkan gimana kalo ternyata yang dituduhkan banyak orang adalah benar hasil kecurangan paslon tersebut dan para pendukungnya. Sadari dan bertaubat, lalu bertanggung jawab!
Pemimpin lebih berat tanggung jawabnya
Sobat gaulislam, setiap kita adalah pemimpin, dan tentu akan dimintai pertanggunganjawabnya di akhirat kelak. Bahkan di dunia pun bakalan diminta tanggung jawabnya, kok. Berat memang. Apalagi kalo di antara kita ada yang jadi pemimpin, apalagi dengan level tertinggi. Wah, makin berat dan sulit. Tanggung jawabnya jelas lebih berat lagi.
Dalam hadits, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhari)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata, “Seorang mukmin adalah pemimpin untuk dirinya sendiri, dia menghisab dirinya sendiri. Pada hari kiamat, hisab itu ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya sendiri ketika di dunia. Dan hisab itu berat bagi orang-orang yang tidak menghisab dirinya di dunia.” (diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd no. 307)
Kalo kita lihat sekarang, kok ada ya orang yang pengen terus berkuasa, bahkan untuk mewujudkannya malah menghalalkan segala cara, curang dan mengakali konstitusi. Udah jelas juga berkali-kali terbukti berbohong dan zalim (nggak adil), tapi pendukungnya membiarkan atau menganggap wajar. Aneh bin ajaib. Padahal, bahaya banget tuh buat dirinya dan juga buat rakyat.
Ada baiknya kita merenungkan hadits terkait hal ini, khususnya agar bisa juga kita share kepada penguasa dan para pendukungnya. Jangan sampe berbuat zalim. Ngeri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kepemimpinan pada seorang hamba lalu ia mati padahal ia telah menipu, melainkan Allah mengharamkan kepadanya surga.” (HR Imam Ahmad)
Namun, bagi pemimpin yang adil, ada pahala yang juga besar. Dalam hadits disebutkan, “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat saat tidak ada naungan kecuali dari Allah, di antaranya diberikan kepada imam atau pemimpin yang adil.” (HR al-Bukhari)
Itu sebabnya, keadilan itu dimulai dari diri kita, dari pikiran kita. Berpikir matang sebelum bertindak, patuhi norma agama dan norma masyarakat. Kalo udah begitu, kecil kemungkinannya akan berlaku curang, atau bahkan nggak akan berlaku curang. Lebih keren lagi kalo syariat Islam yang diterapkan, berbagai persoalan bisa diatasi. Kita kan muslim, ya tentu harus berjuang untuk mewujudkan tegaknya syariat Islam sebagai ideologi negara. Siap, ya! [O. Solihin | @osolihin]