gaulislam edisi 766/tahun ke-15 (28 Dzulqa’dah 1443 H/ 27 Juni 2022)
Prihatin sih dengan kondisi kita sebagai muslim akhir-akhir ini. Level pemahaman agama di antara kita berbeda-beda. Ada yang alim banget, itu ulama namanya, ada yang sedang-sedang saja seperti para ustaz dan muballigh, ada juga yang awam banget kayak kita-kita ini.
Nah, ketika ada suatu masalah seperti kemarin tuh, legalisasi nikah beda agama oleh salah satu pengadilan negeri di Surabaya, atau waralaba yang menjual miras sengaja bikin promosinya dengan memberikan hadiah bagi orang yang bernama Muhammad dan Maryam. Itu kan namanya ngeledikin, bahkan bisa level penghinaan. Reaksi kita sebagai muslim? Ya, beragam juga tergantung level iman, takwa, dan ilmunya. Kamu ada di posisi mana? Semoga berada pada barisan pejuang dan pembela Islam, ya.
Sebelumnya lagi, jauh beberapa pekan lalu, soal makanan haram yang disematkan kepada daerah tertentu yang sebenarnya daerah itu identik dengan masyarakat muslim. Ini juga ribut lagi. Pro dan kontra. Nah, kita mestinya ada di posisi yang membela dan memperjuangkan Islam. Bukan malah berada di barisan netral alias nggak menunjukkan sikap pembelaan terhadap Islam, tetapi juga nggak mengecam pihak yang melecehkan Islam. Sikap netral dalam kondisi kayak gini, membahayakan, Bro en Sis. Nggak boleh. Harus menunjukkan upaya pembelaan dan perjuangan terhadap Islam, walau harus menghadapi penderitaan atau kerugian duniawi.
Saya sendiri kemudian merenung, melihat banyak masalah yang mendera kita sebagai muslim. Umat sebanyak ini, sebesar ini komunitas muslim dalam sebuah negara, kok masih aja banyak yang mengusik dan sepertinya mengetes kesabaran kita sebagai muslim. Apalagi jika ada di antara, kaum muslimin, yang malah nggak peduli dengan persoalan ini. Apakah karena tidak sampainya dakwah kepada mereka, atau memang mereka menjauh dari Islam? Cuma ngakunya saja sebagai muslim, tetapi kelakuan belum islami. Apa benar seperti ini?
Tulisan ini saya fokuskan pada persoalan bagaimana bisa seorang muslim tidak peduli terhadap agamanya, dan bagaimana kita memahami kondisi kaum muslimin yang akan kita dakwahi supaya ngeh juga dengan persoalan Islam dan kaum muslimin saat ini.
Seberapa kuat kita berjuang?
Sobat gaulislam, dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory) disebutkan bahwa selama hidupnya manusia selalu berpikir untung-rugi atas apa yang akan diperbuatnya. Itu sebabnya kemudian muncul variabel cost and reward (biaya dan imbalan). Dengan kenyataan seperti ini, sudah saatnya kita mulai memahaminya dan menjadikan kita bisa lebih peka terhadap berbagai masalah manusia dan berusaha mencari inovasi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika kita mengingat masa lalu, ketika kita memilih mengkaji Islam dan bahkan serius terjun dalam perjuangan dakwah pasti sudah memikirkan ‘untung-rugi’ atas perbuatan yang akan kita ambil. Dari mulai penilaian dengan persepsi yang terendah, sederhana, sampai yang tertinggi dan kadang tak bisa diukur dengan materi.
Mengukur untung-rugi sepertinya memang naluriah manusia. Ketika akan menentukan suatu perbuatan yang akan dikerjakan kita akan berpikir dengan serius: Apa keuntungan jika kita melakukan perbuatan itu? Berapa harga yang harus ditebus? Sebandingkah dengan keuntungan yang didapat? Jika lebih banyak untungnya, kita pasti akan melakukannya. Sebaliknya, kita akan meninggalkan perbuatan tersebut jika ruginya lebih besar dari keuntungan yang akan kita dapatkan.
Perlu dicatat bahwa pertimbangan untung-rugi atas dasar cost and reward itu pasti dipengaruhi oleh persepsi kita masing-masing saat itu. Persepsi yang muncul sesuai dengan latar belakang budaya kita, tingkat pendidikan kita, wawasan kita, dan informasi yang kita terima selama ini. Dan menurut saya, pertimbangan ‘untung-rugi’ yang paling benar adalah menyandarkan kepada aturan Islam. Bukan yang lain.
Maka, dengan konsekuensi seperti ini, semoga kita menjadi lebih peka dan terbuka dalam menghadapi umat yang akan kita ajak untuk mengenal Islam. Sampaikan sedetil mungkin berbagai informasi yang bisa memberikan keputusan terbaik yang akan diperbuatnya. Mustahil mereka akan merasa perlu untuk melakukan apa yang kita tawarkan jika kita sendiri tidak mengkomunikasikannya dengan benar, baik, dan bijak.
Kesabaran dan keikhlasan kita dalam mengemban amanah dakwah ini menjadi nilai tambah untuk meraih dukungan banyak pihak terhadap dakwah kita. Semoga setelah kita mengetahui sisi-sisi manusiawi calon penerima dakwah kita, akan menjadikan kita lebih pandai dan terus belajar untuk menghasilkan inovasi dalam dakwah.
Memang bukan perkara gampang meyakinkan orang agar mau seperti kita. Tak mudah untuk menyulap seseorang agar mengikuti apa keinginan kita. Selalu saja ada benturan, sekecil apa pun. Setidaknya memang demikian. Karena dalam diri setiap manusia, berdasarkan kajian para psikolog ada tahapan ketika manusia akan menentukan ‘jalan lain’ dalam hidupnya.
Ada proses untuk meyakinkan dirinya dengan jalan baru yang akan dipilihnya. Dalam kajian ilmu psikologi disebut dengan cognitive dissonance/disonansi kognitif, meski teori ini masih diperdebatkan di kalangan ilmuwan psikologi sendiri, tapi setidaknya bisa dijelaskan bahwa unsur kognitif (pikiran, sikap, kepercayaan) berada dalam hubungan ketakcocokan. Sederhananya, disonansi kognitif adalah untuk menggambarkan perubahan sikap yang terjadi ketika terjadi ‘benturan’ tentang apa yang kita pahami selama ini dengan apa yang akan kita perbuat setelah mendapat informasi baru tentang perbuatan yang seharusnya kita lakukan.
Itu sebabnya, ketika mendakwahkan Islam kepada seseorang akan terjadi benturan dan bagi orang tersebut terjadi proses disonansi kognitif. Baik orang yang sudah mengkaji Islam, maupun bagi orang yang baru mau mengkaji Islam tapi lebih banyak menerima informasi di luar Islam. Ini butuh kelihaian kita sebagai pengemban dakwah.
Selain mengandalkan semangat, kita juga harus mampu menjadi negosiator ulung untuk menjelaskan maksud kita menyampaikan dakwah kepadanya. Kita bisa menekankan bahwa kita tidak memaksa, hanya memberikan ilmu yang kita yakini kebenarannya. Sehingga diharapkan terjadi proses dialog (yang mungkin saja berulang sampai puluhan kali) untuk menyamakan persepsi. Di sinilah, sekali lagi, dituntut kesabaran, keikhlasan, dan ilmu yang cukup untuk memahami karakter calon penerima dakwah kita.
Pasa saat disonansi kognitif inilah peran penguatan dari lingkungan sekitar akan ikut mempengaruhi keputusan. Jika pengaruh lingkungan baiknya lebih besar, maka insya Allah ia akan memutuskan ke arah yang baik. Teman yang sabar dan ngemong, pengemban dakwah yang tak kenal lelah menyampaikan, juga dukungan pihak keluarga yang bagus akan sangat membantu seseorang yang berada dalam posisi untuk memilih ‘jalan baru’ bisa mengambil keputusan yang tepat benar. Semoga kita bisa melakukannya dengan baik dan benar.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Semoga tulisan ini mampu menggerakkan semangat kamu semua. Mampu menciptakan inspirasi tambahan dalam perjuangan dakwah ini. Karena saya yakin, tsaqafah saja belum cukup, semangat saja belum cukup, jika tak ada hubungan yang paling akrab sesama pejuang dakwah. Hubungan yang menghargai kita sebagai manusia.
Pejuang dakwah yang baik, sebagaimana teladan kita semua, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mampu menjadi pembina sejati, yang pandai memotivasi para sahabatnya, menularkan semangat dan mentransfer ilmu, dan bahkan tanpa merasa harus turun derajat karena sering menghormati sahabatnya yang jauh lebih rendah levelnya dari beliau. Semoga beliau tetap menjadi teladan kita dalam kehidupan ini, termasuk menjadikannya idola dan pahlawan kita dalam perjuangan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam yang telah beliau rintis ratusan tahun silam.
Hidup kita kian berat. Pejuang Kapitalisme terus menggencarkan tekanannya kepada kita. Bahkan para pengemban Sosialisme-Komunisme merasa harus berjuang lagi untuk menghancurkan dominasi ideologi yang ada di dunia ini. Kita, juga tak boleh tinggal diam. Segala sarana pendukung untuk perjuangan dakwah Islam ini harus kita optimalkan perannya. Kita harus bisa meraih sebanyak mungkin pendukung dakwah ini. Agar dakwah ini semakin kuat, semakin bertenaga dan ada jaminan dilanjutkan oleh penerus kita. Karena sangat boleh jadi, perjuangan menegakkan Islam ini akan berlangsung lebih lama dan usia kita akan menggerogoti sisa tenaga untuk menggerakkan potensi yang kita miliki. Jika ada jutaan bahkan miliaran pengemban dakwah, insya Allah kita tak perlu khawatir. Bahkan jika kita dijemput lebih dulu untuk menghadap Allah Ta’ala kita tidak perlu khawatir karena telah menularkan begitu banyak ilmu dan semangat kepada para pejuang lain.
Hanya saja, jika kita berdiam diri, jangankan miliaran atau jutaan umat yang mau menceburkan dirinya dalam dakwah, mungkin ratusan saja tak akan sampai. Itu sebabnya, mumpung masih ada waktu, masih kuat tenaga dan pikiran kita, gencarkan perjuangan dakwah ini. Tak perlu merasa bahwa kita harus menuai hasilnya pada saat kita masih hidup. Bukankah para pahlawan perjuangan banyak yang tak menyaksikan hasil perjuangannya? Dan Allah pun hanya akan mencatat usaha yang kita lakukan. Bukan hasil yang kita dapat. Biarlah, anak-cucu kita saja yang akan menikmati keberhasilan upaya kita. Itu sebabnya, jadilah seorang pejuang dakwah yang bisa dikenang sejarah tanpa kita sendiri merasa harus menjadi pahlawan. Biarlah hanya Allah yang mencatat amal baik kita.
Bro en Sis, semoga kita tetap bersama dalam perjuangan dakwah ini. Semoga kita masih bisa menikmati hasil perjuangan dakwah kita. Kita bisa bertemu dalam kesempatan yang lebih baik dari sekarang. Kesempatan ketika Khilafah Islamiyah sudah berdiri. Tapi, jika pun Allah mewafatkan kita semua sebelum menikmati hasil perjuangan ini, semoga kita bisa ‘reuni’ di surga-Nya yang sangat luas dan hanya diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya dan berjuang menegakkan agama-Nya. Insya Allah. Semoga Allah memberkahi kita semua.
Jadi intinya, memang perlu dakwah untuk melakukan perubahan individu, masyarakat, dan negara. Tentu saja, perubahan yang dituju adalah kebaikan. Berubah menjadi baik. Nah, tugas kita memulainya dengan dakwah. Oya, jangan lupa, tetap berharap pertolongan Allah Ta’ala. Siap, ya. [O. Solihin | IG @osolihin]