gaulislam edisi 401/tahun ke-8 (12 Ramadhan 1436 H/ 29 Juni 2015)
Sobat gaulislam, saat buletin kesayangan kamu edisi ke-401 ini terbit di hari Senin tanggal 29 Juni 2015 adalah bertepatan dengan tanggal 12 Ramadhan 1436 H. Nah, seperti tahun-tahun sebelumnya, di bulan Ramadhan banyak kaum muslimin yang selain melaksanakan ibadah shaum (puasa), juga gemar beramal shalih. Salah satu amal shalih selain shalat dan puasa, adalah berinfak dan shadaqah. Wuih, infak dan shadaqah sangat banyak dilakukan kaum muslimin. Mereka yang muhsinin (yang melakukan kebaikan) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah dermawan, di bulan Ramadhan jumlahnya terasa meningkat. Sepertinya gampang banget ngeluarin hartanya untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Oya, mungkin ada di antara kamu yang belum ngeh dengan istilah muhsinin, karena di negeri kita umumnya menggunakan istilah dermawan. Muhsinin adalah kata jama’ dari kata muhsin, yang asal katanya adalah ahsana -yuhsinu – ihsana, yang maknanya, berbuat baik–kebaikan. Jadi makna muhsinin adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di masyarakat Arab sendiri istilah ini lebih merujuk dermawan tanpa identitas. Maksudnya kalo di negeri kita dengan istilah “hamba Allah”. Nah, itulah makna muhsinin secara singkat. Nah, karena di negeri kita orang juga mengenal istilah dermawan, jadi agak mudah untuk menjelaskannya ya. Namun, alangkah lebih baiknya jika kita biasakan menggunakan istilah muhsinin. Lebih mantap kayaknya ya? Walau pun, tentu boleh juga menggunakan istilah dermawan untuk kondisi tertentu agar masyarakat mudah memahami. Ya, seperti dalam judul gaulislam kali ini. Ok?
Efek infak kita
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Efek artinya kan pengaruh, sementara infak adalah harta yang kita keluarkan untuk kebaikan. Berarti maksudnya, ada efek dari infak yang kita keluarkan tersebut, baik efek kepada kita maupun mereka yang mendapatkan manfaat infak yang kita keluarkan.
Oya, ada sedikit tambahan tentang pengertian infak. Supaya kamu tambah ilmu ya. Baik, secara lughawi (etimologis) atau bahasa, infak berarti membelanjankan harta. Dalam istilah fiqih, infaq (infak) adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan. Infak itu disunahkan, meski ada jenis infak yang wajib yakni memberi nafkah kepada istri dan anak.
Di bulan Ramadhan ini, banyak orang berinfak alias mengeluarkan hatanya untuk kebaikan, seperti pembangunan masjid, menyantuni anak yatim, menolong fakir miskin (kalangan dhuafa). Itu nyata terlihat. Jelas ada pahalanya, tentu jika dikerjakan dengan ikhlas alias hanya mengharap ridho Allah Ta’ala.
Sobat gaulislam, harta yang Allah anugerahkan itu semua hanyalah titipan dari-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS al-Hadiid [57]: 7)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa harta hanyalah titipan Allah karena Allah Ta’ala firmankah (yang artinya), “Hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” Hakikatnya, harta tersebut adalah milik Allah. Allah Ta’ala yang beri kekuasaan pada makhluk untuk menguasai dan memanfaatkannya.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta itu milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan harta pada jalan Allah, maka itu sama halnya dengan seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya. Dari situ, ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”
Jadi, efek infak kita adalah bagi diri kita yang berinfak akan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala dan orang yang mendapatkan infak dari kita ada manfaat yang bisa diambil untuknya. Keren kan? Kedua pihak bisa mendapatkan kebaikannya.
Teladan dalam berinfak
Infak yang ikhlas akan memberikan nilai yang baik bagi amal shalih kita. Ada contoh yang benar-benar membuat kita seharusnya berpikir dan merenung. Kisah tentang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar-benar beramal shalih karena terdorong janji Allah Ta’ala Mereka ikhlas karena ingin mendapat ridho dari Allah Ta’ala.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat (yang artinya): “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah [2]: 245). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat.
Tiba-tiba Abu Dahdaa radhiallahu ‘anhu berdiri. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, benarkah Allah meminta pinjaman kepada kita?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, benar.” Abu Dahdaa kembali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Dia akan mengembalikannya kepadaku dengan pengembalian yang berlipat-lipat?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, benar.”
“Wahai Rasulullah, ulurkanlah kedua tangan Anda,” pinta Abu Dahdaa radhiallahu ‘anhu tiba-tiba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Untuk apa?” Lalu Abu Dahdaa menjelaskan, “Aku memiliki kebun, dan tidak ada seorang pun yang memiliki kebun yang menyamai kebunku. Kebun itu akan aku pinjamkan kepada Allah.” “Engkau pasti akan mendapatkan tujuh ratus lipat kebun yang serupa, wahai Abu Dahdah,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Dahdaa mengucapkan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Lantas ia segera pergi ke kebunnya. Ia mendapati istri dan anaknya sedang berada di dalam kebun itu. Saat itu anaknya sedang memegang sebutir kurma yang sedang dimakannya.
“Wahai Ummu Dahdaa, wahai Ummu Dahdaa! Keluarlah dari kebun itu. Cepat. Karena kita telah meminjamkan kebun itu kepada Allah!” teriak Abu Dahdaa.
Istrinya paham betul maksud perkataan suaminya. Maklum, ia seorang muslimah yang dididik langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, segera ia beranjak dari posisinya. Ia keluarkan kurma yang ada di dalam mulut anaknya. “Muntahkan, muntahkan. Karena kebun ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala. Ladang ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala,” ujarnya kepada sang anak.
Subhanallah! Begitulah Ummu Dahdaa, seorang wanita yang begitu yakin rejeki datang dari Allah Ta’ala dan bersuamikan seorang sahabat Nabi yang begitu yakin akan janji Allah Ta’ala.
Sobat gaulislam, kisah ini (yang saya kutip dari situs dakwatuna.com) udah ngasih gambaran betapa kalo kita mengharap ridho Allah Ta’ala, materi bukan segalanya. Kekayaan dan kebun akan habis, tapi nikmat dari Allah karena kita akan dapetin keridhoan-Nya, insya Allah akan membawa kita kepada kemuliaan dan berlimpah pahala. Keren banget kan?
Kisah lainnya nggak kalah menarik. Al-Bazzar mengeluarkan hadits dari Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu yang berkata: Ke hadapan Umar radhiallahu ‘anhu dibawakan harta. Kemudian Umar membagi-bagikannya kepada kaum Muslim. Tetapi masih ada sisanya. Ia meminta pendapat kepada masyarakat. Mereka berkata: Biar disimpan saja jika ada musibah, untuk berjaga-jaga! Dituturkan: Sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berdiam diri tidak berkata-kata sedikit pun. Umar bertanya: Apa yang menimpamu wahai Abu al-Hasan sehingga engkau tidak berkata sedikitpun? Ali menjawab: Kaum itu sudah memberitahukan (pendapatnya). Umar radhiallahu ‘anhu mendesaknya: Berilah pendapatmu! Ali berkata: Allah telah menuntaskan pembagian harta ini. Ali menyebut-nyebut harta (dari daerah) Bahrain ketika disodorkan ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam harinya. Kemudian keesokan harinya harta itu langsung dibagi-bagikan usai shalat di masjid. Dan aku menyaksikan air muka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga harta itu tuntas dibagikan. Dikatakan: Tidaklah sempurna kecuali engkau bagi-bagikan. Maka Ali membagi-bagikan harta itu; aku sendiri (yakni Thalhah) memperoleh bagian delapan ratus dirham (al-Haitsami, juz 10/239)
Oya, hadis tentang harta dari Bahrain itu lengkapnya seperti yang diriwayatkan Amru bin Auf radhiallahu ‘anhu., ia berkata: Bahwa Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah ke Bahrain untuk memungut jizyahnya, karena Rasulullah telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Alaa’ bin Hadhrami sebagai gubernurnya. Kemudian Abu Ubaidah kembali dengan membawa harta dari Bahrain. Orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah lalu melaksanakan salat Subuh bersama Rasulullah. Setelah salat, beliau beranjak lalu mereka menghalanginya. Ketika melihat mereka beliau tersenyum dan bersabda: Aku tahu kalian telah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah tiba dari Bahrain dengan membawa harta jizyah. Mereka berkata: Benar, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Bergembiralah dan berharaplah agar mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kamu sekalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka. (Shahih Muslim No. 5261)
Keren abis euy. Kita mah kadang berlomba-lomba nyari harta buat diri kita sendiri, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berlomba dalam memberi infak. Subhanallah!
Yuk, mumpung masih di bulan Ramadhan (dan semoga di bulan lain juga begitu ya?) kita semangat untuk menjadi bagian dari orang-orang yang gemar berinfak dengan tetap mengharap keridhoan Allah Ta’ala. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]