edisi 079/tahun ke-2 (2 Jumadil Awal 1430 H/27 April 2009)
Minggu-minggu ini tema kelelahan kerasa banget di sekitar gue, selain cukup banyak kerjaan di kantor, di jalan pun setiap kali papasan sama anak sekolah, terlihat sebagian dari mereka banyak yang bertampang kuyu dan kelihatan stres. Hmm.. pasti musim ujan dateng nih, eh musim ujian maksud gue. Seperti kebiasaan rutin tahunan lainnya, kayak puasa, idul fitri, lebaran haji dan mandi kembang (eh nggak lah), perayaan ujian nasional tahun ini masih juga diwarnai dengan kegiatan yang sama dan berulang setiap tahunnya. Dari belajar keras (emang bisa belajar lembek ya?), nambah les/bimbel, makan makin banyak sampe maen facebook-an, masih dilakukan juga. Hmm.. ada hubungannya nggak sih?
Nggak mau kalah dengan muridnya, para guru dalam menyambut Ujian Nasional (UN), menggelar berbagai gawean seperti bikin kisi-kisi, bikin panitia UN, rapat koordinasi sampai tryout, yang emang selalu out alias nggak pernah in. Semua dibikin sibuk dengan gawean-gede negara ini, untuk menguji hasil kerja keras para guru dalam mendidik anak muridnya. Fenomena UN memang cukup menarik karena terdapat berbagai sisi yang kelihatan baik namun sekaligus menyimpan juga berbagai masalah potensial, apa aja tuh? Yuk kita simak terus.
Lain harapan, lain kenyataan
UN cukup menarik untuk diobrolin, ujian ini sebenarnya udah cukup lama ada, dan bukan barang baru lagi. Jaman dulu dikenal dengan Ebtanas (gue ngalamin tuh), terus kemudian menjelma menjadi Ujian Nasional alias UN, terus apa yang berbeda dengan UN? UN ini muncul sebagai salah satu tools/alat untuk melakukan standardisasi kualitas pendidikan di Indonesia. Wow pendidikan yang standar, boleh juga tuh. Sebenarnya ide standardisasi bukanlah ide baru, kita bisa menemukan ide ini dengan mudah bila kita gunakan kacamata produksi dalam Kapitalisme.
Ide standardisasi ini muncul sebagai respon terhadap revolusi industri, yang memerlukan sebuah standar untuk semua barang produksinya, supaya apa? Supaya bisa dikasih harga dan ditetapkan keuntungannya dengan mudah. Sebagai ilustrasi simpelnya, nggak akan mungkin ada orang jualan sabun mandi 20 rebu perak sebatang, kecuali memang ada justifikasi/pembenaran kualitas atau apalah yang menjadikannya sangat wajar dijual dengan harga mahal.
Nah dari ilustrasi di atas kita tahu bahwa kualitas tidak pernah akur dengan namanya biaya, karena kualitas memerlukan biaya, baik biaya produksi maupun biaya bahan bakunya. Jadi amatlah logis bila kemudian ide standardisasi diterapkan di dunia pendidikan, pastilah akan berimbas terhadap biaya, di sini berlaku kaidah “You get what you pay”. Lho berarti pendidikan di Indonesia sudah dikapitalisasi? Ya, betul banget!
Kapitalisasi memerlukan kompetisi untuk melanggengkan sistemnya, karena dalam kapitalisme semua adalah modal yang harus bisa dijual, no matter what! Dengan menjual dagangannya dalam sebuah kompetisi/lomba “kecerdasan”, sistem ini memastikan bahwa akan selalu ada orang yang membeli dagangannya sehingga keuntungan menjadi hal yang pasti. Dalam sebuah lomba diperlukan sebuah batasan/tujuan yang harus dicapai, misal lomba mancing ikan, penangkap ikan terberatlah yang menang, lomba balap mobil, mobil tercepatlah yang menang. Sifat dasar yang harus ada dalam batasan lomba ini, adalah sesuatu yang jelas dan terukur. Kalau lombanya punya batasan yang “relatif”, maka akan menghasilkan kompetisi yang cukup aneh dan nggak bisa di-standarisasi, misalnya? nih, lomba adu cantik dan cakep, nggak akan pernah muncul standar cakep. Seperti kata pepatah, cantik dan cakep adalah relatif buat orang lain kecuali gue, lho? (hahaha…)
Nah dari situlah muncul ide standardisasi pendidikan di Indonesia, hasil pendidikan harus bisa dinilai dengan standar yang terukur, karena itulah UN selalu menyertakan standar nilai kelulusan dalam setiap gelarannya. Terus apakah ini suatu yang buruk? Bukankah dengan pendidikan yang terstandardisasi bakal menghasilkan lulusan yang berkualitas? Jawaban singkatnya: rencananya sih, iya! (lho kok?)
Kembali menengok standar dari kaca mata manajemen produksi kapitalis, untuk menjaga keadilan/fairness dalam kompetisi standar ini, ternyata diperlukan kualifikasi awal. Wah apaan tuh? Kok kayak balapan MotoGP aja ada babak kualifikasi untuk nentuin pole position? Ya, kualifikasi awal yang menentukan apakah seseorang/suatu lembaga layak mengikuti “perlombaan standar” ini. Yang dimaksud dengan kualifikasi di sini adalah serentetan prasyarat yang harus dipenuhi sebelum mengikuti perlombaan. Umumnya kualifikasi ini kita kenal dengan ISO. Nah, sebuah perusahaan harus dinyatakan memenuhi kualifikasi ISO oleh Auditor, sebelum perusahaan tersebut bisa mengikuti perlombaan kualitas dan menggunakan kualitas itu untuk melakukan justifikasi untuk semua hal.
Kembali lagi ke UN (moga kamu nggak bingung bolak-balik mulu kayak setrikaan), sebelum perlombaan kecerdasan dimulai, untuk menjaga fairness, setiap sekolah harus diaudit terlebih dahulu, apakah sekolah tersebut memiliki kualifikasi untuk mengikuti perlombaan ini atau nggak. Seharusnya sih gitu, biar start-nya fair. Lha, kenyataannya kualifikasi ini nggak berlaku untuk urusan UN. Dilewatin gitu aja. Jadilah tiap sekolah harus bin kudu bisa memenuhi standar perlombaan yang ditentukan oleh pemerintah. Sementara di fasilitas dan kualitas sekolah nggak merata. Kebayang kan gimana bakal amburadulnya?
Mari kita lihat fakta: Setiap sekolah memiliki kualitas SDM pendidik yang berbeda, fasilitas yang beragam, demikian juga kualitas murid yang nggak sama “bahan bakunya”, tapi terus dituntut supaya bisa mencapai target kelulusan yang sama. Wah, gimana urusannya neh? Fair-kah? Ya jelas nggak lah. Sesuatu yang nggak sesuai dengan fitrah manusia, pasti akan menyimpang! Mari kita lihat fakta lagi.
Sore ini barusan gue lihat TV, padahal nggak biasanya gue lihat TV, kebetulan di channel Trans 7 lagi bahas masalah UN. Dalam acara itu disodorkan berbagai fakta mengenai kecurangan yang “terpaksa” dilakukan oleh para murid bekerja sama dengan pendidik, semua alasannya supaya bisa lolos UN. Kalo dari sudut pandang murid mungkin masih make sense kecurangan dilakukan, lha kalo dari point of view pendidik, apa untungnya ya?
Nah inilah yang disebut sebagai reward and punishment, ah apaan lagi neh? Standaridsasi hampir selalu diikuti dengan sistem reward and punishment, kenapa? Ya untuk menjaga supaya standar yang dibuat tetap terjaga dan perlombaan tetap menarik. Orang yang sesuai dengan standar akan dikasih reward, sementara yang nggak sesuai standar, pasti kudu kena hukuman alias punishment.
Para guru pasti nggak mau dihukum gara-gara anak didiknya nggak lolos UN. Oya, gue sempat ngobrol dengan salah seorang temen yang menjadi pengawas UN abis bekam siang ini, cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa “kecurangan” UN ini ternyata dilakukan dengan terstruktur dari para penyelenggara pendidikan itu sendiri. Mulai dari para pengawas dikumpulkan untuk diberi arahan supaya “jangan terlalu galak” pada saat ngawasin hingga nggak perlu mengelem amplop hasil UN, dengan dalih pengeleman akan dilakukan oleh tim khusus, untung alasannya bukan karena pabrik lemnya tutup atau lemnya ketingalan di Australia. Halah!
Kenapa ya kok nggak boleh dilem? Hmm… karena lembar jawaban dikumpulkan jam 2 siang, sementara ujian sudah selesai jam 10 atau jam 12, jadi cukup banyak hal yang bisa dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Salah satunya, ‘memperbaiki’ jawaban siswa yang dianggap nggak pinter-pinter amat biar bisa lulus UN. Gubrak!
Sementara dari acara di Trans 7 yang gue lihat, terungkap berbagai kecurangan yang dilakukan oleh murid dengan mudah, tanpa ada halangan sama sekali. Dari yang mulai jelas-jelas buka contekan di atas meja eh dibiarin aja tuh sama pengawas, sampai ada guru yang bagi-bagi jawaban lewat SMS dan secarik kertas kecil sebelum UN dimulai. Liputan ternyata tidak berhenti di situ saja, salah seorang guru diwawancara tentunya dengan identitas yang dikaburkan, doi ngaku emang menjual jawaban ke murid supaya target setoran kelulusan di sekolahnya bisa tercapai, sekaligus dapet keuntungan pribadi. Hebat kan? Sekali dayung dua pulau terlampaui, ngakunya seh hasil bersih yang dia terima dalam sekali UN bisa sampe angka 25 juta rupiah, bahkan diklarifikasi pula bahwa itu adalah angka bersih buat dia doang, yah pastinya oknum pendidik yang lain juga ada bagian/porsinya. Ckckck..
Liputan masih berlanjut dengan mengkonfirmasi salah satu petinggi pendidikan di negeri ini mengenai fakta yang di temukan, dan seperti sudah bisa ditebak, mereka yakin bahwa nggak bakal ada kecurangan dan pengawasan telah dilakukan optimal. Menyedihkan!
Sebenernya harapan masih tersisa di TPI, bukan nama stasiun TV (loh kok stasiun, emang ada keretanya?), tapi singkatan dari Tim Pengawas Independen, kiprah mereka kadang membuat gerah mafia pendidikan, terus kenapa kok masih saja banyak kita temuin kecurangan dalam UN? Karena memang kiprah mereka belum optimal, dikarenakan banyak oknum tim pengawas independen yang ngelaba juga buat kocek pribadi…huh dead end!
Sikap kita
Bagi kamu para remaja, kamu harus mulai ngeh dengan situasi pendidikan di Indonesia, kamu harus nyadar kalo kita emang nggak hidup dalam kondisi yang ideal, jadi kamu harus bisa menyesuaikan diri, pilih mana yang memang harus dan perlu dipelajari dan worth alias berharga untuk diperjuangkan, tinggalin yang nggak perlu. Pelajari Islam seperti kuatnya keinginan kamu untuk lolos UN, Kenapa? Karena hanya Islam yang mengantarkan keselamatan di akhirat, tempat dimana kehidupan adalah abadi.
Jangan mau pendidikanmu dikapitalisasi murni, karena kamu berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, supaya kamunya juga berkualitas. Tolak bocoran UN dari guru kamu, kerjakan semaksimal kamu bisa. Terus gimana kalo nggak lulus? Tanya sama guru kamu kenapa sampai ngga bisa lulus, mereka bertanggung jawab terhadap kelulusan dan kualitas pendidikan yang kamu terima. Kalo mereka kemudian berlepas diri dari tanggung jawab? Simple, itu artinya mereka penyelenggara pendidikan yang tidak berkualitas, cari sekolah lain saja, insya Allah masih banyak penyelenggara pendidikan yang berkualitas.
Bagi para penyelenggara pendidikan di negeri ini, bersikaplah fair dan jujur, kalo emang mengharapkan output dengan standar kualitas yang baik, tentu juga seharusnya menstandardisasi pelayanan pendidikan dan fasilitas pendidikan yang diberikan, baru kita bisa ngomong soal standar kelulusan dan biaya (yang hampir pasti mahal). Kalo murid yang nggak berkualitas tidak lolos UN, maka guru yang tidak berkualitas pun harus diberhentikan, pemerintah harus “tega” memecat guru-guru yang bekerja di bawah standar.
Pemerintah juga harus memastikan nggak ada bangunan sekolah yang ambruk, sekolah yang digusur dll, masih banyak pendidikan diselenggarakan dengan “seadanya” di negeri ini. Kalo mau jujur pada diri sendiri, sebenernya kita masih jauh ngomongin soal standardisasi.
Bagi para orang tua, memang menyenangkan dan membanggakan memiliki anak yang pandai dan cerdas, apalagi menonjol di sekolahnya, namun bukan itu tujuan mereka hidup di dunia ini. Menjadi juara kelas bukanlah segalanya, apalagi di sekolah yang sekuler dan perilaku anak kebawa jadi sekuler. Menjadi juara dalam memahami fisika, biologi, matematika, kimia dll, di sekolah yang sekuler sebenernya tidaklah membanggakan. Bila kita membenci sekulerisme maka jangan mau menyekolahkan anak kita ke sekolah yang sekuler yang bakalan menjadikan kepribadian anak kita kebawa jadi sekuler.
Lain ceritanya bila pendidikan agama sudah menjadi mahal, baru deh wajib nangis darah nasional. Perlu kita ingat, bahwa mendidik tetap menjadi kewajiban orang tua, kewajiban ini tidak bisa ditransfer ke guru di sekolah! Bahkan kewajiban ini nanti akan kita pertanggung jawabkan di akhirat. Sebagai orang tua, pendidikan kepada anak harus diarahkan kepada tujuan mereka hidup di dunia ini, yaitu untuk beribadah, seperti yang tercantum dalam QS-adzzariyat ayat 56 (silakan dibaca dengan seksama ya).
Mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, masih dalam angan-angan, namun bukan berarti kita diam saja, karena Allah SWT nggak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka sendiri pengen berubah! Yuk kita reformasi cara berfikir kita mengenai apa itu cerdas, seberapa perlukah kita berkompetisi dalam kecerdasan? Seberapa pentingkah juara kelas? Dan mau apa setelah jadi juara kelas dan sukses menembus sekolah bergengsi? Apakah kemudian otomatis menjadikan mereka masuk surga? Jangan mau dijadikan obyek untuk diperas dan diekploitasi oleh kapitalisme!
Sungguh mengerikan bila masyarakat kita dipimpin oleh orang-orang yang dididik seperti ini, dipimpin dan dikendalikan oleh kelompok masyarakat yang cerdas menurut standar sekuler dan cerdas menurut standar kapitalis, jangan heran kalo sangat sulit mengenyahkan kedua sistem kufur tersebut dari bumi Indonesia, dan tragisnya, sebagian dari kita malah menikmatinya (baik dengan kesadaran penuh maupun pura-pura nggak tahu)
Ok deh, kita harus sadar bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari standar yang dibikin sendiri oleh penyelenggaranya. Hasil dari sistem pendidikan itu pun nggak memberikan indikasi perbaikan dan kemanfaatan kepada bangsa ini, kecuali keuntungan pribadi di masing-masing level, terbukti masih terpuruknya bangsa ini, sejak dideklarasikan merdeka 64 tahun yang lalu.. Hampir satu generasi telah lewat, masih perlu berapa generasi lagi untuk berubah? Kalo kita merdeka saja perlu 3,5 abad, perlu berapa lama untuk bisa membangkitkan umat ini?
Bro en Sis, yang perlu kita lakukan saat ini adalah: sadar, belajar, mehami, dan mengamalkan dalam perjuangan untuk lebih baik lagi. Maju bersama untuk melawan penjajahan kapitalisme dan menjadikan Islam satu-satunya sebagai sistem pengangganti kapitalisme. Sebab, cuma Islam yang bisa menyelesaikan semua masalah. Tapi ada syaratnya, yakni Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Iya nggak sih? Sip deh! [aribowo: aribowo@gaulislam.com]
Benar, saya sangat setuju dengan makalah di atas. Mau jadi apa bangsa ini kalaulah pendidikan dikomersilkan? Murid macam apa, dan alumni yang bagaimana yang akan tampil nantinya?
Biarlah angkatan tua saja yang merasakan nikmatnya kapitalisme (sic!), marilah kita berantas ini semua, menuju pendidikan yang jauh lebih baik, dari apa yang telah terjadi dan kita alami bersama.
Aslm. Saya setuju dengan artikel di atas. Kalo pendidikan semakin mahal, apa kita akan kembali ke jaman Belanda? Apa kita mau yg bisa sekolah cuma orang2 kaya aja?
assalamualaikumwrwb.
YupZZZ setuju dah…
emang Kapitalisme adalah biangnya!!!
dan satu2nya solusi untuk mengatasi hal di atas tidak lain hanya kembali melanjutkan kehidupan Islam…
Allahuakbar…!!!!
ya begitulah….. hehhehehe
bolehkah saya mengambil materi ini untuk dipiblikasikan?????
saya ucapkan terima kasih! sebab materi ini relevan sapanjang masa dalam dunia pendidikan kita…. merupakan kontribusi pemikiran yang positif