gaulislam edisi 847/tahun ke-17 (3 Rajab 1445 H/ 15 Januari 2024)
Kampanye Pemilu (baik pilpres maupun pileg) nggak lama lagi akan segera usai. Saat ini, kamu pasti melihat banyak baliho, spanduk, atau banner bertebaran di kanan dan kiri jalan yang biasa kamu lalui. Wajah-wajah para caleg yang sebagian besar nggak kita kenal numpang nampang, lengkap dengan janji-janjinya. Wajahnya dibuat kinclong, walau aslinya nggak gitu. Ibarat kata, ganteng atau cantik itu relatif, tapi photoshop jadi alternatif. Apalagi sekarang bisa dimodif pake AI (Artificial Intelligence) alias kecerdasan buatan. Dipoles sesuai selera. Dimudahkan lagi dengan fasilitas text to image. Tinggal ketik sesuai apa yang kita inginkan, tunggu beberapa detik, jadi gambar deh.
Selain para caleg, para capres dan cawapres juga bersolek. Wajah mereka bertebaran di berbagai tempat. Di pinggir jalan, di media sosial, di kaos, di televisi, dan media lainnya yang menurutnya bisa menjangkau rakyat. Sambil berharap suara rakyat memilih mereka. Janji-janji banyak diumbar. Akan begini dan akan begitu jika terpilih nanti. Dan, seperti yang udah-udah, sebagian besar rakyat masih percaya kondisi yang demikian. Belum kapok juga meski ada yang sebelumnya jadi pemenang, tetapi janjinya sebagian besar nggak ditepati. Begitulah.
Mengapa demikian? Bisa jadi karena sudah terbius janji-janji bak angin surga. Bisa juga karena melihat tampilan mereka yang menggoda, apalagi sambil menebar beragam kebutuhan dapur seperti minyak goreng, beras, dan lauk pauk. Mereka memberikan tawaran yang tak bisa ditolak sebagian besar rakyat.
Bisa jadi memang ada yang benar-benar sesuai yang dicitrakan atau digambarkan ke publik melalu beragam media. Namun, ada juga yang sebenarnya sekadar pencitraan diri saja, agar mengesankan bahwa dia tampil sebagai orang yang jujur, baik, amanah, dan segala hal positif lainnya. Meskipun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Nah, kalo model gini jadinya pencitraan yang tidak sesuai fakta. Dimanipulasi. Bahaya. Ibarat peribahasa, “Serigala berbulu domba”. Jahat, tetapi pura-pura baik tersebab ada yang dicari. Jadilah, citra didongkrak agar terlihat baik, demi menggali suara agar terbanyak dipilih. Duh, ngeri bener niatnya.
Citra diri perlu, tapi…
Sobat gaulislam, nggak apa-apa ya kamu saya ajak untuk mikir. Agak berat dan mungkin rumit, karena terkait urusan politik. Khususnya dalam hal ini memilih calon pemimpin negeri. Perlu banget sih peduli urusan ini. Sekarang malah udah banyak tuh teman kamu yang akhirnya mau terlibat aktif dalam pembahasan kepemimpinan. Mungkin di antara kamu udah ada yang tahu ya ketika para K-Popers mulai menggandrungi salah satu paslon pilpres. Iya, kan?
Oya, kalo ngomongin soal citra diri, setiap kita sebenarnya berhak untuk menampilkan diri kita sesuai dengan karakter kita masing-masing, dan memang sehari-hari kita juga begitu. Bukan sekadar pencitraan agar dikesankan begini dan begitu dalam bentuk yang dinilai positif, tetapi secara fakta memang berkarakter baik atau positif.
Jadi, tujuan pencitraan model begini adalah mengenalkan kepada yang belum tahu bahwa seseorang itu memang baik dan ditonjolkanlah kebaikannya agar lebih banyak diketahui orang. Ibarat iklan, sebuah produk yang ditawarkan itu memang berkualitas bagus. Jadilah dipasarkan dengan cara menonjolkan kualitasnya. Bukan sebagai bentuk kamuflase atau mengelabui, tetapi secara fakta memang bagus, hanya saja belum banyak yang tahu. Jadi, tujuannya adalah mengenalkan dan menawarkan produk yang memang secara fakta bagus supaya banyak diketahui dan akhirnya menjadi pilihan.
Oya, ada beberapa alasan mengapa citra diri diperlukan dari perspektif psikologis, yakni melibatkan aspek-aspek berikut:
Pertama, identitas dan pengenalan diri. Citra diri membantu seseorang mengidentifikasi dan mengenali dirinya sendiri. Ini mencakup pemahaman akan karakteristik fisik, emosional, dan kognitif individu. Kira-kira kamu udah bisa melihat belum dari paslon yang ada?
Kedua, pengaruh terhadap perilaku. Jadi, citra diri dapat memengaruhi perilaku seseorang. Orang cenderung berusaha untuk menjaga dan meningkatkan citra diri yang positif, yang dapat memotivasi mereka untuk mengambil tindakan yang mendukung kepercayaan diri dan kepuasan pribadi. Ini diupayakan semua paslon, termasuk caleg. Meski entah niatnya seperti apa.?
Ketiga, adaptasi sosial. Di sini, citra diri berperan dalam interaksi sosial. Seseorang yang memiliki citra diri yang positif mungkin lebih mampu berinteraksi dengan orang lain secara positif, sementara citra diri yang negatif dapat menghambat kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Keempat, kesejahteraan emosional. Citra diri yang positif dapat berkontribusi pada kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki pandangan positif tentang diri mereka cenderung lebih bahagia, lebih percaya diri, dan lebih mampu mengatasi stres.
Kelima, pengaruh terhadap prestasi. Jadi, citra diri yang kuat dapat memberikan dorongan motivasi bagi seseorang untuk mencapai tujuan dan meraih prestasi. Sebaliknya, citra diri yang rendah dapat menjadi hambatan untuk mencapai potensi penuh.
Keenam, pengaruh terhadap keputusan. Nah, citra diri dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pemilihan karir, hubungan, dan gaya hidup.
Ketujuh, persepsi diri sebagai individu yang berarti. Citra diri memberikan rasa makna atau signifikansi pada eksistensi seseorang. Persepsi diri yang positif dapat membantu individu merasa bahwa mereka memiliki nilai dan tujuan dalam hidup.
Jika yang ingin ditawarkan adalah citra diri yang sebenarnya, maka pilihan mengemas citra diri memang ada manfaatnya sesuai yang dijelaskan tadi. Setidaknya itu yang pernah saya pelajari dalam psikologi.
Citra diri calon pemimpin
Sobat gaulislam, bentar lagi pemilu pilpres. Kamu yang udah masuk umur untuk memilih, pastinya akan ditawarkan dan akan didorong untuk memberikan suaramu untuk satu pilihan paslon. Ini nggak mudah, apalagi ada faktor pandangan politik, budaya, status sosial, dan lainnya yang bisa aja memengaruhi sebuah keputusan.
Ada baiknya kamu perlu tahu juga soal ini, agar nggak bingung. Ngomong-ngomong soal citra diri, ternyata hal ini memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks memilih calon pemimpin. Namun, penting untuk memahami bahwa citra diri bukan hanya tentang bagaimana seseorang mempresentasikan dirinya di depan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana orang tersebut memahami dan mengevaluasi dirinya sendiri. Itu sebabnya, bisa gali dan cek dari berbagai hal yang memang diperlukan, di antaranya:
Pertama, keterbukaan dan kejujuran. Calon pemimpin yang memiliki citra diri yang konsisten dengan tindakan dan perilakunya memiliki potensi untuk membangun kepercayaan dari masyarakat. Jika citra diri mereka mencerminkan keterbukaan dan kejujuran, ini dapat menjadi indikator penting dalam memilih pemimpin yang dapat diandalkan.
Kedua, kredibilitas dan integritas. Jadi, citra diri yang mencerminkan kredibilitas dan integritas dapat menjadi faktor penentu dalam memilih pemimpin. Jika calon pemimpin memiliki reputasi baik dan citra diri yang bersih, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan mereka untuk memimpin dengan adil dan etis.
Ketiga, kemampuan berkomunikasi. Citra diri yang baik juga melibatkan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif. Pemimpin yang dapat menjelaskan visi dan misi mereka dengan jelas dapat membangun citra diri yang kuat sebagai pemimpin yang terinformasi dan mampu menyampaikan pesan dengan baik.
Keempat, kepemimpinan yang inspiratif. Citra diri yang menciptakan kesan kepemimpinan yang inspiratif dapat memotivasi orang untuk mendukung dan mengikuti calon pemimpin tersebut. Kesanggupan untuk memberikan inspirasi dan motivasi melalui citra diri yang kuat dapat menjadi pertimbangan penting.
Oya, meskipun citra diri bisa memberikan gambaran awal tentang kepribadian dan kualitas kepemimpinan seseorang, penting untuk menggali lebih dalam dan mempertimbangkan fakta-fakta konkret, rekam jejak, dan rencana kerja calon pemimpin. Selain itu, partisipasi dalam diskusi publik, wawancara, dan debat dapat memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang pandangan dan keterampilan calon pemimpin.
Selain itu, dalam memilih calon pemimpin, penting untuk memiliki sikap kritis, mencari informasi dari berbagai sumber, dan tidak hanya bergantung pada citra diri yang dipresentasikan secara publik. Pemilih yang bijak melibatkan diri secara aktif dalam proses pemilihan untuk memastikan bahwa pilihan mereka didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kemampuan, integritas, dan visi calon pemimpin.
Pendukung “garis keras”
Sobat gaulislam, nggak cuma di sepakbola, dalam konteks dukungan terhadap paslon (pasangan calon) dalam kontestasi pilpres juga melibatkan pendukungnya. Kalo dalam sepakbola ada pendukung militan alias garis keras, yang rela bertarung kata-kata dan fisik meski pertandingan klub pujaannya itu udah usai, maka dalam dukungan terhadap paslon pilpres juga sama. Paslonnya udah selesai debat, pendukungnya bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu terus berdebat di media sosial atau di warung kopi. Padahal, adakalanya secara fakta paslon yang didukungnya itu ada kesalahan atau kekurangannya, tetapi tetap aja secara membabi buta membelanya.
Mengapa bisa begitu? Dalam kajian psikologis, ada istilah Efek Bulu Tangkis (Backfire Effect). Maksudnya, adakalanya ketika seseorang dihadapkan dengan informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka malah semakin mempertahankan pandangan mereka yang awal. Fenomena ini dikenal sebagai efek bulu tangkis, dan bisa membuat seseorang semakin keras kepala dalam mempertahankan keyakinannya. Itu sebabnya, kalo kamu nyimak debat tak berkesuduhan di media sosial, banyak kok para pendukung paslon yang model begitu.
Penggagas konsep efek bulu tangkis adalah dua peneliti, Brendan Nyhan dan Jason Reifler. Mereka menjelaskan fenomena ini dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 dengan judul “When Corrections Fail: The Persistence of Political Misperceptions” (Ketika Koreksi Gagal: Masih Adanya Salah Persepsi Politik).
Penelitian ini mengeksplorasi respons individu terhadap koreksi informasi yang bertentangan dengan keyakinan politik mereka. Nyhan dan Reifler menemukan bahwa dalam beberapa kasus, ketika individu dihadapkan dengan fakta yang bertentangan dengan pandangan politik mereka, mereka tidak hanya tidak mengubah pandangan mereka, tetapi justru memperkuat keyakinan mereka yang awal.
Lalu bagaimana seharusnya?
Gini deh, ini kan soal pilihan. Bisa aja setiap orang berbeda sesuai preferensi. Hanya saja, kita juga perlu untuk menentukan pilihan. Memang bagi kita sebagai muslim adalah terikat dengan aturan Islam. Kalo bicara hukum, ada juga yang berpendapat bahwa kita nggak perlu terlibat dalam urusan yang bertentangan dengan Islam. Sehingga akhirnya lebih menghindar dari persoalan ini alias bomat alias bodo amat. Kagak peduli, katanya. Oke itu pilihan dia.
Ada juga yang masih berpikir, meski nggak sempurna, dan memang sulit mencari yang sempurna di zaman sekarang, tetapi setidaknya masih ada harapan bisa mencari yang terbaik, apalagi jika calon lainnya udah jelas arah kebijakannya ke mana dan diduga kuat akan merugikan umat Islam. Maka, memilih yang lebih baik dari yang belum sempurna ini, menjadi ikhtiar untuk meminimalisir dampak buruk tersebut. Begitulah pendapat sebagian besar ulama yang memilih untuk terlibat dalam pemilihan calon pemimpin di negeri kita. Itu juga kita hargai pendapatnya.
So, balik lagi ke kita. Apakah mau tertipu dengan pencitraan para politikus yang niatnya mengelabui saja, ataukah kita percaya bahwa masih ada orang baik dan memang sesuai dengan yang dicitrakan, meski masih ada kekurangan di beberapa hal. Setidaknya, masih lebih baik dan berusaha untuk memberikan kebaikan. Itu artinya, jangan terpukau perilaku mereka yang mendongkrak citra demi mengeruk suara untuk kepentingan syahwat politiknya yang sebenarnya jauh dari apa yang dicitrakan tersebut.
Lalu bagaimana jika yang udah kita anggap baik lalu dipilih dan menjadi pemenangnya, tetapi di tengah jalan dia jadi nggak baik dan merugikan umat Islam? Kita tidak bisa memprediksi masa depan. Jawabannya, tergantung kondisi nanti. Toh, dulu juga ada yang didukung ulama, tetapi kemudian dia berulah dan berubah haluan. Sikap para ulama juga kemudian berubah. Maka, peran ulama saat ini juga diperlukan untuk mengawal paslon pilihannya agar tetap dalam koridor kebaikan, khususnya bagi umat Islam. [O. Solihin | IG @osolihin]