Dr Hofmann tidak pernah terputus membaca Al-Qur’an sejak ia terkesan dengan ketabahan Muslim Aljazair dan kepatuhan mereka selama bulan Ramadhan
Al-Qur’an adalah buku petunjuk yang tidak ada habisnya untuk seluruh umat manusia, keajaibannya tidak pernah berakhir dan sangat cocok untuk segala tempat dan waktu, demikian kata seorang mantan diplomat Jerman.
“Saya tidak pernah berhenti membaca Al-Qur’an. Saya berubah, demikian pula masalah-masalah saya. Namun, saya selalu mendapatkan jawaban sempurna di dalam Al-Qur’an,” kata Dr. Murad Wilfried Hofmann, pemenang untuk Islamic Personality of the Year, dalam Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2009.
Hofmann mengatakan bahwa penghargaan yang diterimanya itu merupakan suatu kehormatan bagi dirinya dan seluruh Muslim di Eropa dan dunia Barat.
“Ini merupakan isyarat baik bagi lebih dari 30 juta Muslim di Eropa. Hal seperti ini membuktikan bahwa Muslim di seluruh dunia adalah satu bangsa,” kata Hofmann tentang penghargaan yang diterima tanggal 10 September 2009 itu.
Wilfried Hofmann dilahirkan dalam keluarga Katolik di Aschaffenburg Jerman tahun 1931. Setelah lulus dari Union College di New York, ia merampungkan studinya di Universitas Munich, di mana ia meraih gelar doktor untuk bidang jurisprudensi dalam hukum pada tahun 1957. Ia pernah menjadi asisten peneliti untuk reformasi prosedur sipil federal. Dan di tahun 1960 mendapat gelar LL.M dari Harvard. Selama tahun 1983 hingga 1987 ia menjabat direktur informasi NATO di Brussel. Tahun 1987 ia mendapat tugas sebagai duta besar Jerman untuk Aljazair. Tahun 1990 ia dipindah ke Maroko, tempat tugasnya selama 4 tahun.
Sentuhan pertamanya dengan dunia Islam adalah ketika mulai bekerja sebagai seorang atase di kedutaan Jerman untuk Aljazair tahun 1961. Di sana ia berada dalam situasi perang gerilya antara tentara Perancis dengan tentara Aljazair, Algerian National Front, yang telah berjuang untuk kemerdekaan negaranya selama 8 tahun.
Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kekejaman dan pembantaian massal yang dialami rakyat Aljazair. Setiap hari, hampir selusin orang dibunuh dari jarak dekat –dengan “gaya eksekusi” — hanya karena mereka orang Arab atau karena berbicara tentang masalah kemerdekaan.
“Saya menyaksikan kesabaran dan ketabahan orang-orang Aljazair menghadapi penderitaan yang sangat ekstrim, kepatuhan mereka yang tinggi selama bulan Ramadhan, keyakinan diri bahwa bisa merdeka, dan juga rasa perikemanusiaan mereka di tengah penderitaan yang dialaminya sendiri.”
“Saya selalu penasaran mengapa orang Aljazair begitu disiplin, meskipun mereka menderita.” Ia merasa bahwa agama merekalah yang menjadikan mereka kuat seperti itu. “Karena itu, saya lantas membaca kitab suci mereka, Al-Qur’an,” katanya bercerita. “Saya tidak pernah berhenti membacanya, hingga saat ini.”
Karya seni Islam adalah hal kedua yang menarik perhatiannya.
Dulu ia sangat senang dengan seni dan keindahan tarian balet. Namun, hal itu lantas tersapu sejak ia mengenal karya seni Islam. “Saya terkesan dengan arsitektur Islam dan Arab di Spanyol dan Tunisia, tempat saya biasa berlibur. Itu merupakan seni yang tinggi dibandingkan dengan seni Yunani dan Romawi yang dingin.”
“Rahasianya seperti tersimpan pada kehadiran Islam yang kental dan universal, sebagai sebuah agama dalam segala manifestasi artistiknya, kaligrafi, ornamen Arab, motif karpet, arsitektur masjid dan bangunan, serta perencanaan kota. Saya memikirkan kecermerlangan masjid yang menyingkirkan semua hal berbau klenik, tata letaknya yang sangat demokratis.”
“Saya juga memikirkan tentang kualitas introspektif istana-istana Muslim, kemampuan mereka menghadirkan surga di taman yang teduh, air mancur dan aliran air. Juga tentang stuktrur fungsi sosial yang rumit di kota pusat Islam dulu, yang menyerap semangat dalam bermasyarakat, keterbukaan pasar, suasana panas dan angin, dan menjamin ikatan kuat antara masjid dengan pusat kesejahteraan untuk orang miskin, sekolah, penginapan, pasar dan wilayah pemukiman.”
“Apa yang saya rasakan adalah, Islam begitu membahagiakan di banyak tempat … dalam hal-hal nyata yang kelihatan efek harmoni Islam, cara hidup Islam, dan cara Islam merawat dan memperlakukan sebuah tempat, semuanya meninggalkan kesan di hati dan pikiran.”
Namun, yang memberikan pengaruh besar pada Hofmann untuk menerima Islam, mungkin sebenarnya adalah pengetahuannya tentang sejarah dan doktrin Kristen.
Ia menyadari ada perbedaan nyata antara apa yang dipercayai oleh pemeluk agama Kristen dengan apa yang diajarkan oleh dosen sejarah di universitas. Ia tidak bisa menerima adopsi yang dilakukan oleh gereja atas doktrin yang dibuat oleh Saint Paul mengenai sejarah Yesus. “Ia (Saint Paul), seseorang yang yang belum pernah bertemu dengan Yesus. Tapi dengan kristologinya yang ekstrim, ia mengganti pandangan asli dan benar Yudeo-Kristen tentang Yesus!”
Sangat sulit baginya menerima bahwa manusia dibebani “dosa asal” dan tuhan merelakan putranya sendiri untuk disiksa dan dibunuh demi menyelamatkan umat ciptaannya. “Saya jadi menyadari, betapa dahsyat bahkan merupakan hujatan besar demi membayangkan tuhan tunduk menyerah di hadapan ciptaannya sendiri, bahwa ia tidak bisa berbuat apapun untuk mengatasi masalah — yang dianggap disebabkan oleh Adam dan Hawa — tanpa harus memperanak seorang putra dan dikorbankan dengan cara berdarah-darah seperti itu. Dan bahwa tuhan menderita karena ciptaannya sendiri, yaitu manusia.”
Hofmann juga bertanya tentang keberadaan Tuhan. Setelah menganalisa buah karya para filosof seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, and Kant, ia menyimpulkan adanya pengakuan intelektual atas keberadaan Tuhan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan manusia sehingga mereka bisa dibimbing. Hal ini membuat ia mengakui perlu adanya wahyu. Tapi mana yang benar, kitab suci Yahudi, Kristen atau Islam?
Ia menemukan jawaban atas pertanyaan penting itu di dalam Al-Qur’an. “(Yaitu) bahwasanya orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS: 53:38). Ayat itu membuka mata dan menjadi jawaban atas dilemanya. Sangat jelas baginya bahwa Al-Qur’an menolak ide beban “dosa asal” dan harapan “campur tangan” dari orang-orang kudus.
“Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hirarki keagamaan. Ketika berdoa ia tidak berdoa melalui Yesus, Bunda Maria atau melalui orang kudus lainnya. Tapi langsung kepada Tuhan, sebagai seorang umat yang benar-benar bebas. Dan ini adalah agama yang bebas dari misteri.” Menurut Hofmann, seorang Muslim adalah manusia beriman yang bebas, “Par Excellence.”
“Saya mulai melihat Islam dari sudut pandangnya sendiri, sebagai sebuah kepercayaan terhadap Allah yang benar, yang tidak dicampuri oleh hal lain, yang murni, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satupun yang menyamainya.” Dalam masalah ketuhanan yang dipercayai serta disembah oleh banyak suku-suku dan masalah trinitas, menurut Hofmann, “Al-Qur’an menunjukkan konsep Tuhan yang paling jernih, paling mudah, paling abstrak — yang demikian secara historis paling maju — dan paling sedikit sifat antropomorfiknya.”
“Pernyataan ontologis Al-Qur’an, sebagaimana ajaran etisnya, bagi saya sangat masuk akal, ‘bagaikan emas’, sehingga tidak ada tempat untuk meragukan kebenaran misi kenabian Muhammad. Orang yang memahami sifat manusia pasti mampu menerima kebijaksanaan yang terkandung dalam perintah dan larangan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui Al-Qur’an.”
Saat putranya berulang tahun yang ke-18, Hofmann memberikan 12 halaman tulisan, di mana ia menulis tentang apa yang diyakini sebagai agama yang benar.
Ia meminta seorang imam di Cologne, Muhammad Ahmad Rasul untuk memeriksa tulisannya. Pria itu mengatakan kepada Hofmann bahwa ia seorang Muslim, jika benar-benar mempercayai apa yang ditulisnya.
Beberapa hari kemudian ia pun bersyahadat. Tepatnya pada 25 September 1980. Ia mulai menulis banyak buku, kajian buku dan ratusan artikel mengenai Islam di Jerman.
Dr. Hofmann terus melanjutkan karirnya sebagai seorang diplomat Jerman dan pejabat NATO selam 15 tahun setelah ia memeluk Islam. “Saya tidak mengalami diskriminasi dalam profesi saya,” katanya.
Tahun 1984, tiga setengah tahun setelah ia pindah agama, presiden Jerman Dr. Carl Carstens menganugerahinya penghargaan Order of Merit of the Federal Republic of Germany. Pemerintah Jerman membagikan bukunya “Diary of German Muslim” ke seluruh perwakilan Jerman di negara Muslim, sebagai alat untuk analisa.
Kewajiban dalam pekerjaannya tidak menghalanginya untuk melaksanakan ajaran Islam. Dalam jamuan formal, dengan sopan ia akan menolak tawaran minuman beralkohol seperti anggur merah. Sebagai seorang diplomat, seringkali ia harus menjamu tamu-tamu asingnya untuk makan siang. Hofmann selalu menghadiri acara makan siang itu, namun piring di depannya akan tetap dibiarkan kosong, selama bulan Ramadhan.
Tahun 1995, dengan sukarela ia mengundurkan diri sebagai diplomat, mendedikasikan diri untuk kegiatan keislaman. Ia memberikan ratusan kuliah di seluruh penjuru Amerika Serikat dan Eropa. “Saya tidak pernah mengatakan apa yang ingin saya bicarakan. Saya selalu bertanya pada peserta apa yang ingin mereka bicarakan.”
“Mereka lebih memahami tentang negara mereka,” katanya memberi alasan.
Hofmann tidak mengubah nama aslinya ‘Wilfried’, yang berarti pria yang mempunyai keinginan kuat untuk perdamaian. “Istri saya yang orang Turki, yang memilihkan nama Islam saya ‘Murad’,” katanya bercerita.
Hofmann mengajak semua Muslim agar menyampaikan tentang Islam secara bijak, mengatakan Islam yang sesungguhnya Islam, bukan Islam yang sebenarnya bukan Islam. “Lebih baik membicarakan Islam dan jazz, daripada Islam dan terorisme.”
Dalam satu kesempatan diskusi mengenai bahaya alkohol pada kehidupan pribadi dan masyarakat, Ia menceritakan kecelakaan yang pernah dialaminya akibat alkohol. Ketika masih kuliah di New York tahun 1951, ia melakukan perjalanan dari Atlanta ke Mississippi. Ketika sampai di Holy Spring, Mississippi, tiba-tiba dari arah depan ada sebuah kendaraan yang dikemudikan supir mabok meluncur cepat, kecelakaan pun terjadi. Hofmann kehilangan 19 buah gigi dan mulutnya tidak lagi berbentuk.
Setelah menjalani operasi dagu dan bibir bawah, dokter bedah menemuinya dan berkata, “Biasanya, tidak ada yang selamat dalam kecelakaan seperti itu. Tuhan mempunyai sebuah rencana istimewa untukmu, kawan!”
Ketika ia meninggalkan rumah sakit di Holy Spring, dalam keadaan pincang, lengan tangan digendong, lutut dibalut perban dengan warna iodine, dan wajah bagian bawah yang dijahit, ia bertanya-tanya apa gerangan makna dari ucapan ahli bedah itu.
“Akhirnya 30 tahun kemudian, pada hari saya menyatakan iman dalam Islam, makna sebenarnya mengapa saya bisa tetap hidup ketika itu, manjadi jelas bagi saya!”[di/slm/kt/www.hidayatullah.com]