Friday, 22 November 2024, 21:20

Bagi yang bergelar ABRI, alias Anak Buah Rhoma Irama, kayaknya apal betul dengan lagu beliau yang berjudul Emansipasi Wanita. Ayo tunjuk jari bagi kamu yang merasa fans berat Soneta (he..he..he..). Iya, Wak Haji ini pernah bikin lagu yang menjadi soundtrack film Pengabdian yang dibintanginya sendiri bersama Ricca Rachim. Yang menarik adalah syair lagunya. “Wanita laksana tiangnya negara/ Tanpa tiang coba Anda bayangkan/ Kalau semua maju ke garis depan/ Tentunya lemah di garis belakang/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Rumah tangga kehilangan ratunya/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Anak-anak kehilangan pembina/ Bukan salah remaja kalau mereka binal/ Bukan salah mereka kalau tidak bermoral/ Bukan hanya makanan, bukan hanya pakaian/ Yang lebih dibutuhkan cinta dan kasih sayang�

Sobat muda muslim, kampanye emansipasi wanita saat ini masih anget untuk dibicarakan. Soalnya, masih banyak juga yang keukeuh mengamalkan ide itu. Para aktivis feminisme tentunya paling getol dong ngomongin dan ngamalin paham ini. Mereka, rajin banget ngomporin kaum Hawa untuk terjun di luar rumah dengan lebih banyak waktu. Sementara di rumah, cukup malam hari saja. Walah?

Teman-teman remaja puteri pun udah lama kenal lho dengan ajaran ini. Maklumlah, sejak kita diajarin, “Ini Budi, Ini Ibu Budi� udah dikenalkan tokoh pergerakan wanita, namanya RA Kartini. Kata bapak dan ibu guru waktu SD itu, ibu Kartini adalah salah satu tokoh pembebasan kaum wanita. Wanita yang tadinya cuma ngurusin �dapur-sumur-kasur’, tapi diperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan dan kegiatan lainnya yang selama ini hanya bisa dilakukan kaum pria.

Sayangnya, cita-cita RA Kartini kemudian �dimodifikasi’ pihak-pihak tertentu menjadi lebih luas dan lebih liar. Gimana nggak, wong kemudian cita-cita Kartini ini sempat dihubungkan dengan perjuangan feminisme. Bahkan dianggap sebagai peletak dasar perjuangan hak-hak kaum feminim di negeri ini. Waduh, emang tergantung siapa yang bikin sejarahnya sih. Kasihan sekalee. Lebih kasihan lagi yang ngikutin seruan kaum feminis saat ini. Hih, kasihan deh lu..!

Sobat muda muslim, jaman kiwari bisa kita saksikan maraknya kiprah kaum wanita di luar rumah. Kalo sekadar mendapatkan pendidikan, kita pikir nggak masalah ya. Sebab, pendidikan bukan monopoli anak cowok aja. Anak puteri juga berhak untuk mendapatkannya. Setinggi apa pun. Tapi, kalo udah memasuki kehidupan umum lebih jauh lagi, bahkan sampe tega mengorbankan harga diri, nah itu yang malah berbahaya.

Nggak percaya? Lihat aja gimana teman-teman remaja puteri (seleb) yang kemudian ‘ikhlas’ terjun di dunia film, iklan, sinetron, dan model. Tapi sejujurnya dan sejatinya, teman-teman puteri itu sedang ditipu. Lho kok bisa? Maklum saja, dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, wanita telah menjadi komoditas alias barang yang diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Barang jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan ‘jasa’ wanita. Pendidikan dan media-massa menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Dengan kata lain, penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi! Wuih, kasihan banget deh.

Sobat muda muslim, pada masyarakat bebas kayak begini, wanita dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif, kecuali kepentingan industri. Bener lho, nggak boong. Lihat aja, tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Bayangin aja betapa konyolnya, iklan mobil mewah rasanya belum lengkap kalau tak hadir di sampingnya gadis berbodi aduhai. Permen rasanya belum manis kalau tak menyertakan penampilan gadis dengan bibir sensual mengunyah permen. Inul, yang memakai kaos dan celana jeans ketat—di-shot kamera—memperlihatkan keampuhan minuman berenergi, Sakatonik Greng. Lha ini maksudnya promosi minuman atau promosi Inul “ngebor� Daratista? Tulalit banget deh!

Sayang, kaum wanita banyak yang nggak ngeh dengan masalah ini. Bahkan parahnya, banyak pula yang menikmatinya. Itu artinya pula, emansipasi yang kebablasan ini adalah racun bagi kehidupan kaum wanita. Celaka dua belas. Ati-ati deh!

Habis gelap terbitlah terang?
Semboyan Door Duisternis tot Licht alias Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi begitu bergema bagi kalangan perempuan di negeri ini. Simbol semangat dari perjuangan pembebasan kaum wanita. Katanya sih begitu.

Sobat muda muslim, dengan semboyan seperti ini—maklum yang nerjemahinnya orang Nasrani (Armijn Pane), artinya jadi bias banget. Perjuangan Kartini untuk mengajak kaumnya bangkit, masih ada kemungkinan untuk �dimodifikasi’ sesuai keinginan si penulis sejarah. Akhirnya ya seperti sekarang, �Kartini-Kartini’ kontemporer menyerap makna perjuangan RA. Kartini sebatas perjuangan hak-hak wanita. Karena, waktu itu wanita �dijajah’ pria. Dalam masalah pendidikan, misalnya, RA Kartini jelas banget memperjuangkan agar wanita bisa mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Sayangnya, jaman kiwari cita-cita perjuangan Kartini akhirnya diperluas dengan peran wanita yang lebih bebas dan luas di luar rumah. Bahkan, katanya atas nama emansipasi, kian getol mengambil �jatah’ peran kaum pria. Ada lho, wanita yang jadi hansip, satpam, bahkan polisi. Kita nggak tahu, penjahatnya nanti galak apa malah ngerayu…

Sedikit tentang perjuangan RA Kartini, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah (hlm. 183), menuliskan komentar Kartini, “Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang seteguh-teguhnya di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun (jahiliyah. red.) menjadi terang (cahaya iman Islam. red.), dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.� Dijelaskan pula bahwa kata-kata Habis Gelap Terbitlah Terang terpengaruh cahaya al-Quran yang menerangi lubuk hatinya; Minazh zhulumati ilan nur (dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam).

Nah, itu terjadi saat beliau mengalami kebingungan setelah melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di luar negeri (Belanda). Bercerita tentang apa saja. Termasuk tentang agama. Jadi, bukan cuma bicara tentang �emansipasi’ doang euy.

Tuh, ternyata kalo dipiki-piki, perjuangan RA Kartini, paling nggak menurut pengarang buku Menemukan Sejarah, masih ada kaitannya dengan pergerakan kebangkitan, yang bernuansa Islam. Kamu kudu ngeh lho soal itu. But, bukan kesimpulan akhir memang. Sebab, Kartini juga konon kabarnya baru sebatas proses berpikir ke arah Islam. Itu juga kudu diakui sebagai prestasi tersendiri bagi seorang wanita yang hidup di tengah kehidupan bangsawan dan di masa penjajahan. Sayang, Kartini keburu meninggal di usia muda, 25 tahun.

Nah, jadi tentu sangat tidak adil dong kalo kamu selalu menghubungkan perjuangan RA Kartini sebatas emansipasi wanita doang. Sebab, banyak sisi kehidupan beragama beliau yang nggak tergali (atau sengaja nggak digali?) oleh para penulis sejarah pada umumnya. Bahkan kesannya maksain banget kalo semboyan Door Duisternis tot Licht cuma dihubungkan dengan pembebasan kaum wanita dari �penjajajan’ kaum pria.

Jangan mau jadi korban!
Sobat muda muslim, khususnya anak puteri, jangan mau deh jadi korban gaya hidup sekarang. Maklumlah, kehidupan sekarang ini banyak godaannya. Keikutsertaan perempuan dalam proses kehidupan di luar rumah dengan jumlah waktu yang lebih banyak, justru akan menjadi blunder, alias bumerang. Gimana nggak, kalo semua perempuan bekerja di luar rumah dengan semboyan P4 (pergi pagi pulang petang), maka dengan siapa anak-anak akan belajar tentang kehidupan? Lha, pas pergi anak masih tidur. Eh, pas dateng anak udah tidur. Gimana menyalurkan kasih sayang dan perhatiannya? Sebab, duit nggak selalu menjadi yang terpenting untuk menenangkan anak. Justru perhatian dan penanaman nilai agama adalah hal yang paling utama. Tul nggak?

Oke deh, kalo pun kudu bekerja (karena memang bekerja bagi wanita adalah mubah), mbok ya kerjaannya jangan yang menyita perhatian dan menyita waktu dong. Nanti nggak bisa ngurus suami dan memperhatikan anak-anak. Betul?

Bang Rhoma juga �ngingetin’ lho dalam penggalan lain dari lagu Emansipasi Wanita, “Majulah wanita, giatlah bekerja/ Namun jangan lupa tugasmu utama/ Apa pun dirimu/ Namun kau adalah ibu rumah tangga�

Anna Rued yang menulis dalam sebuah bukunya—Eastern Mail, ia menyebutkan bahwa “Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja bersama laki-laki di kilang-kilang minyak—yang tidak saja menyalahi kodrat—tetapi bisa menghancurkan kehormatannya.”

Sobat puteri, jangan bingung dulu. Meski peran kamu di luar rumah dibatasi, bukan berarti nggak boleh keluar sama sekali dari rumah. Kamu masih boleh (mubah) untuk bekerja di luar rumah. Dengan catatan, jenis pekerejaannya nggak menyita perhatian dan mengambil jatah waktu yang banyak. Bahkan di masa Rasulullah juga banyak wanita yang terjun di medan jihad sebagai perawat prajurit Islam yang luka. Pada jaman setelahnya, banyak pula wanita yang berpendidikan tinggi dan tetap mampu menjaga tugas utamanya sebagai pengatur rumah tangga.

Nah, itu artinya kamu kudu ngeh soal prioritas amal. Mendahulukan yang wajib ketimbang yang sunnah, apalagi mubah. Mengurus suami dan anak-anak, adalah wajib, sementara bagi wanita bekerja hukumnya mubah. Jangan sampe suami dan anak-anak nggak diperhatikan, karena sibuk bekerja di luar rumah.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy; ia sangat menyayangi anaknya ketika kecil dan sangat memperhatikan suaminya ketika ada di sisinya� (HR Muslim)

Nah, bagaimana dengan aktivitas di luar rumahnya adalah berdakwah untuk menyerukan kebangkitan Islam dan umatnya? Begini, dalam Islam yang termasuk fardhu (wajib) yang dari segi pelaksanaannya dibagi ke dalam dua jenis; fardlu al-muwassa’ (yang leluasa waktu pelaksanaannya) dan fardlu al-mudhayyaq (kewajiban yang waktu pelaksanaannya amat sempit, sehingga harus segera dilaksanakan). Intinya, fardlu al-mudhayyaq kudu didahulukan ketimbang fardlu al-muwassa’. Contohnya, panggilan suami (bagi istri) untuk berada di rumah lebih didahulukan daripada aktivitas berdakwah (keluar rumah). Sebab, aktivitas dakwah seorang wanita dapat dilakukan kapan saja (sehingga tergolong fardlu al-muwassa’). Sementara panggilan suaminya saat itu, yang mengharuskannya berada dalam rumah, tidak dapat ditunda. Begitu Non.

Jadi, jangan sampe deh kamu (pas berkeluarga nanti) mendahulukan urusan dakwah di luar rumah (apalagi sampe berhari-hari keluar kota misalnya), hingga membuat kamu menelantarkan anak dan suami. Hih, istri macam apa itu? Sori lha yauw, walaupun itu urusan dakwah, tapi kalo menelantarkan suami dan anak-anak, dosa juga euy! Meskipun suaminya ikhlas diperlakukan begitu, jangan anteng dulu Non. Bukankah menelantarkan urusan rumah tangga adalah dosa? Bukankah itu artinya pula mempraktikkan seruan kaum feminis? Catet yo..

Oke deh, tetap getol mengkaji Islam, dan giatlah berjuang untuk Islam, tapi peranmu nanti sebagai ibu rumah tangga kudu jadi prioritas. Tetep semangat!

(Buletin Studia – Edisi 141/Tahun ke-4/21 April 2003)