Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah bercerita, “Aku dan Fatimah, putri Rasulullah saw. Pernah menderita kelaparan berhari-hari. Demi Allah, saat itu tak ada sebiji kurma kering pun pada kami.
Lalu Fatimah berkata kepadaku, “Pergilah mencari makanan!”
Maka aku bangkit mengenakan jubahku yang terbuat dari bulu domba untuk menahan rasa dingin yang menyengat. Kemudian aku memohon kepada Allah dan memohon ampunanNya agar Dia memberiku rizki.
Tiba-tiba, aku teringat dengan seorang Yahudi pedagang yang memiliki kebun di Khaibar. Maka aku bergegas pergi menemuinya. Ternyata ia sedang memutar kincir airnya di sawah.
Ali ra. lalu mengatakan, lalu aku bekerja padanya, yaitu menguras air sumur, dengan upah satu kurma setiap embernya.
Setelah aku menguras sumur itu hingga beberapa ember, ia memanggilku dan memberiku upah persis dengan jumlah hitungan ember air yang telah aku kuras, tanpa tambahan dan pengurangan sedikit pun.
Ali ra. mengisahkan, lalu aku pergi menemui Rasulullah saw. untuk memberitahukan pada Beliau apa yang baru aku lakukan. Beliau saw. tersenyum setelah mendengar ceritaku. Kemudian beliau mengundangku makan dan makan beberapa butir kurma.
Setelah itu aku menemui istriku, putrinya, Fatimah ra. maka sungguh Allah telah memberkahi kurma itu hingga mencukupi kami beberapa waktu cukup lama.
Sidang pembaca budiman, kisah Khalifah keempat Rasulullah saw. adalah cerminan tanggung jawab seorang suami sebagai tulang punggung keluarga. Ketika menyadari keluarganya tak memiliki makanan, Ali pun bergegas mencari nafkah, menembus dinginnya cuaca. Pekerjaannya pun amat sederhana – bahkan kasar – menguras sumur milik seorang Yahudi dengan upah beberapa butir kurma belaka.
Padahal bisa saja, Ali meminta bantuan kepada kaum muslimin. Toh ia menantu Rasulullah saw., dan kerabat dekat Beliau. Tapi perbuatan Ali mengajarkan kita bahwa seorang muslim harus memiliki sifat iffah, menjaga kehormatan diri. Malu menjadi benalu.
Kita, para suami sering dimanjakan dengan status sosial; yang sarjana dengan kesarjanaannya, yang aristokrat dengan kearistokratan-nya, yang pegiat dakwah dengan dakwahnya. Hingga enggan bekerja mencari nafkah halal karena gengsi. Tak sedikit pengemban dakwah yang menggantungkan hidupnya dari bayaran dakwah. Ia tak tahu – atau pura-pura tak tahu – bahwa umat bersusah payah mengumpulkan dana untuk mengadakan pengajian.
Padahal Ali bin Abi Thalib jauh melebihi keuletan, keberanian, dan kecerdasan juru dakwah manapun saat ini. Tapi tak pernah ia meminta-minta sesuatu di jalan Allah. Yang beliau pahami, bahwa seorang suami harus bekerja mencari nafkah agar kebutuhan keluarganya tercukupi. Ali tahu, bahwa ia adalah seorang tulang punggung keluarga, selain seorang pejuang Islam. Bagaimana dengan kita, wahai para suami? [januar]
[diambil dari Tabloid KELUARGA, edisi 01, 2008]