gaulislam edisi 380/tahun ke-8 (13 Rabiul Akhir 1436 H/ 2 Februari 2015)
Akhir-akhir ini publik Indonesia diramaikan dengan satu kosa-kata baru: hijab. Hijab kali ini dalam bentuk film. Ya…hingar-bingar film Hijab telah membuat media sosial seperti kerumunan yang ramai membicarakan hal ini. Bahkan yang lebih heboh lagi banyak suara mangandung ajakan untuk tidak menonton film Hijab. Suara ini datang mulai dari putri Amin Rais yaitu Hanum Salsabila Rais hingga ibu rumah tangga yang hobi nulis bernama Yana Nurliana dengan tulisan berjudul Stroberi busuk film Hijab. Tulisan kedua muslimah berhijab ini di-share atau disebarkan hingga ribuan kali.
Sobat gaulislam, ajakan untuk tak menonton film tersebut sampai-sampai sutradaranya sendiri, Hanung Bramantyo mengungkapkan kekecewaannya terhadap minimnya penonton datang ke bioskop untuk menonton film Hijab. Jelas, sedikitnya penonton bermakna kerugian bagi penyelenggara film. Bukan itu saja, istri sang sutradara yaitu Zaskia Adya Mecca juga mengungkapkan kegeramannya terhadap ajakan boikot ini. Apalagi katanya, ajakan berasal dari orang yang belum atau tidak menonton filmnya. Tak tanggung-tanggung, Zaskia menuliskan aktivitasnya sebagai seorang muslim yang salat, puasa, berhijab bahkan anak-anaknya pun belajar di sekolah Islam.
Terlepas dari pro dan kontra film Hijab, yuk kita lihat sisi lain yang mengatasnamakan film sebagai sarana syiar. Syiar yang benar atau justru syiar yang salah.
Mereka yang pro film Hijab
Mereka yang pro film Hijab akan mengatakan bahwa film ini merupakan karya anak bangsa yang patut diapresiasi. Alasan ini yang paling sering muncul dari kalangan yang melakukan pembelaan terhadap sebuah karya film. Tak peduli menimbulkan kontroversi atau tidak, yang penting berkarya dulu. Lalu ada juga yang mengatakan bahwa film ini cukup menghibur dan ada pesan moral bahwa istri harus nurut dengan suami.
Mereka yang pro film Hijab melontarkan sanggahan bahwa toh yang menolak film ini belum tentu bisa berkarya seperti Hanung dan Zaskia. Jadi mereka ini memaklumi apa pun film yang dibuat Hanung meskipun itu memberi citra buruk pada Islam dan umatnya. Kondisi ini yang biasanya mengurangi kemampuan mereka untuk memberi masukan karena sudah terlanjur ngefans.
Mereka yang kontra film Hijab
Gerah dengan film-film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Ini adalah salah satu alasan mereka yang menolak film Hijab. Sebut saja film Perempuan Berkalung Sorban dan ? (baca: tanda tanya) yang sudah dinyatakan sesat dan haram oleh MUI. Film Hijab semakin mengokohkan nama Hanung di jalur perfilman yang karyanya menyakiti umat Islam. Meskipun tak diakui dengan jelas, tudingan sebagai bagian dari JIL santer diberikan bagi sang sutradara.
Sebagaimana digambarkan oleh penulis artikel ‘Stroberi busuk film Hijab’, bahwa tak bisa dipungkiri ada hal-hal buruk pada diri umat Islam. Tapi tak lantas bisa dengan seenaknya sutradara film membidik sisi ini demi fulus dan memuluskan tujuannya untuk meliberalkan Indonesia.
Masyarakat kita sudah semakin jeli. Mereka sudah mulai bisa berkata tidak pada film yang bermuatan sipilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Hijab adalah satu kosa-kata tertentu yang merujuk pada pakaian muslimah atas dasar ketakwaan. Tak pantas rasanya mengangkat judul ini tetapi isinya sangat tidak menunjukkan kualitas muslimah yang sebenarnya. Toh, pemakai hijab tidak melulu mereka dari kalangan kaya. Masih banyak muslimah yang berjuang demi hijab hingga nyawa taruhannya. Ini semua karena berangkat dari rasa takwa.
Selain itu, dalam film itu dijejalkan pepahaman “yang penting ikhlas”. Namun sayangnya yang dimaksud adalah, berhijab itu jangan dipaksa, nunggu dia sadar aja supaya bisa ikhlas. Kalo gitu, jangan menghukum maling, biarkan saja sampai dia sadar bahwa mencuri itu salah. Ngawur bener ‘syiarnya’ Hanung di film Hijab ya?
Film sebagai syiar
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Seorang muslim, tiap detik waktunya, desah nafasnya, arti kehidupannya adalah ibadah. Ibadah tidak melulu salat, zakat dan puasa sebagaimana diyakini kebanyakan orang. Ibadah adalah keseluruhan tingkah laku kita, termasuk berkarya seperti membuat film.
Dikutip dari situs almanhaj.or.id, ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah: Pertama, ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Kedua, ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Ketiga, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS adz-Dzaariyaat [51]: 56)
Itu sebabnya, sebisa mungkin, dalam karya kita itu ada nilai tambah bagi timbangan amal kebaikan. Bukan sebaliknya, menjual Islam sebagai alat untuk meraup rupiah sebanyak-banyaknya tidak peduli apabila cara itu akan ‘merusak’ umat perlahan dari dalam.
Ya…merusak dari dalam. Masyarakat kita adalah masyarakat yang visual, hobinya nonton daripada membaca buku. Pesan akan mudah sampai ketika disampaikan lewat tayangan. Bisa kita bayangkan bila film yang dibuat adalah satir, mengolok atau membidik bagian negatif dari tubuh umat Islam. Maka itulah yang akan ditangkap oleh masyarakat kita.
Jadi dari sini saja, kita patut berhati-hati. Kita tak ingin bukan, kalo masyarakat yang sudah mulai bagus semangat keislamannya ini akan mundur hanya karena sebuah karya? Kehati-hatian itu tak ada jeleknya. Apalagi ini membawa nama simbol agama yang itu merupakan bukti ketakwaan seorang hamba terhadap Rabb-nya.
Sama-sama berkarya, sama-sama lelah mengerjakan pembuatan film. Mengapa tidak kita buat film bermutu yang itu akan mencerahkan masyarakat dan menuntun mereka untuk makin mencintai Islam? Saya jadi teringat status salah satu teman di wall Facebooknya. Banyak penulis hebat meninggal dunia mewariskan karya-karyanya. Banyak aktor dan pembuat film hebat meraih banyak pernghargaan atas film-filmnya. Tapi apakah karya dan film yang telah membuatnya hebat itu bisa menolongnya nanti di akhirat? Ini yang seharusnya diingat oleh seorang muslim ketika dirinya ingin berkarya.
Kritik adalah sarana membangun
Sobat gaulislam, adanya kritik adalah mengingatkan akan adanya kekurangan pada sesuatu. Pahit memang tapi bila itu bisa menjadikan diri lebih baik, why not?
Begitu juga dengan kritik terhadap film Hijab. Ajakan boikot merupakan kekesalan umat akan film yang menampilkan sisi buruk pemeluk Islam. Ini adalah bukti kecintaannya pada agama yang diyakininya sepenuh hati.
Oya, salah satu pemeran film Hijab, Zaskia Mecca pun bilang bahwa dia mencintai Islam dan hijab yang dikenakannya. Tetapi perlu ditegaskan bahwa cinta adalah perbuatan. Dia tidak berhenti pada kata-kata semata. Kecintaan pada Islam semoga menjadikan insan perfilman, penulis atau siapa pun yang berkarya akan menghasilkan bukti nyata dalam karyanya. Tidak harus menuding mereka yang mengkritik bisanya mengkritik saja. Ingat, tiap orang mempunyai bidang masing-masing.
Siapa tahu saat ini dia bisanya mengkritik saja. Tapi di saat lain, dia adalah orang yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan umat. Dia bagus dalam bisnis dagangnya, dia bagus dalam peran serta di masyarakat tempat tinggalnya. Masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Biarlah kritiknya dia sebagai bukti cinta bahwa ada yang salah pada tayangan ini. Tak harus disikapi berlebihan.
Kritik tak akan menjadikan kita mati. Kritik akan menjadikan diri introspeksi. Boleh jadi proyek film itu bisa menjadikan pembuatnya merugi. Itu baru kerugian di dunia. Bagaimana nanti perhitungan di akhirat ketika ternyata karya yang kita buat malah membuat umat semakin jauh dari Islam? Pernahkah hal-hal seperti ini menjadi pertimbangan para sutradara, produser dan aktor/aktris yang terlibat dalam pembikinan satu film?
Finally…
Film sebagai sarana syiar kita terhadap agama yang kita cintai, seyogyanya tidak menjadikan penikmatnya sekadar mendapat hiburan. Apalagi bila sampai meninggalkan kesan buruk terhadap Islam dan umatnya, naudzubillah. Jangan sampe deh!
Film sebagai syiar seharusnya menunjukkan keindahan Islam karena memang Islam itu indah. Poin inilah yang seharusnya menjadi poin untuk disampaikan kepada penonton apapun judul dan alurnya. Ketika usai menikmati sebuah karya, penonton merasa tercerahkan dan makin mencintai Islam hingga taraf rela berkorban dan berjuang demi Islam.
Istilah-istilah tertentu dalam Islam tak pantas bila dijadikan bahan tertawaan atau olok-olok. Apapun itu bentuknya. Semoga kita semakin cerdas berbuat, bersikap dan berkarya. Satu catatan lagi: jangan pernah membuat karya dengan tujuan syiar tapi salah! [Ria Fariana | riafariana@gmail.com]