gaulislam edisi 128/tahun ke-3 (20 Rabiuts Tsaniy 1431 H/5 April 2010)
Diberlakukannya internasionalisasi pendidikan di Indonesia, telah mengakibatkan berbagai dampak sosial dalam kehidupan pendidikan di negara kita. Mulai dari pendidikan biaya tinggi, pengkelasan level pendidikan hingga standardisasi mutu pendidikan dengan UN. Namun tidak banyak yang memperhatikan bagaimana sekolah bisa mengejar ‘status’ internasional mereka, sehingga bisa mengklaim dengan instan kalo pendidikan yang mereka selenggarakan adalah berskala internasional. Salah satu cara yang paling sering dan mungkin paling mudah ditempuh, adalah dengan mengimpor guru asing. Yuk kita bedah lebih dalam bagaimana kiprah guru asing di sekolah-sekolah elit di negara kita.
Perut keroncongan and konsentrasi buyar adalah dua tanda yang sangat jelas kapan gue harus makan siang, setelah sholat dhuzur, gue turun deh cari makan, (maklum ngantor di atas puhun). Longok kanan, en kiri, hmmm kok nggak ada yang menarik. Akhirnya setelah berfikir keras selama tiga jam, gue putusin makan di kantin sekolah, sebelah kantor. Siang itu kantin udah kaya pasar. Namanya juga kantin sekolah, rame banget. Dari pembicaraan seputar gosip paling gress di kelas sampe berapa jumlah rambut tupai langsung bisa kita denger seketika. Di antara kericuhan kantin itu, sempet gue simak diskusi soal guru bule.
Gini nih obrolannya: (kode: A=Murid cewek, B= Murid Cowok) Murid A1: “Eh tahu nggak? Ada guru bule di kelas bahasa gantiin pak Amir, tampangnya miriiiip banget bule!”. Murid A2 bilang: “Ya iyaalah”. Terus Murid B1, “Eh namanya siapa? Gue habis ini ada kelas bahasa”. Murid A1 bilang, “Namanya mister Frank”. Murid A2 nimpali, “Sodaranya mister baso ya?” Murid A1, “Huss, sembarangan, bule gitu looh”. Tiba-tiba ada murid yang nggak jelas (tampang sih B tapi kelakuan A) ikut ngomong, “Cakep nggak? Cakep nggak?”. Murid A1: “Yah, Bule gitu looh” udah deh gue akhiri sampai di sini aja percakapan mereka, mules perut gue.
Sebenernya pembicaraan mereka hari itu tidak begitu menarik buat gue, sampai suatu ketika di dalem angkot Bogor yang kesohor, dua orang guru terlibat perbincangan seru soal guru bule, yang intinya mereka “khawatir” dengan keberadaan guru asing tersebut. Hmm dapet bahan menarik neh buat artikel buletin gaulislam. BTW, kalo ngomongin inspirasi buat nulis, semua ada di sekitar kehidupan kita.
Tuntutan globalisasi
Dengan embel-embel sekolah internasional atau sekolah nasional plus, maka dijanjikanlah pendidikan yang lebih maju dibanding sekolah-sekolah umum lainnya. Pada awalnya sekolah internasional dibuat untuk memenuhi permintaan pendidikan putra-putri warga asing di Indonesia. Tapi lambat laun, sekolah tersebut juga berisi murid lokal dari keluarga mampu yang menginginkan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pada akhirnya, bisnis pendidikan juga mulai dilirik oleh pemodal asing, agar lebih menarik, sekolah bermodal asing inipun memberdayakan SDM asing. Sehingga guru-guru asing pun didatangkan. Selain untuk memikat para orang tua murid, tuntutan globalisasi untuk memenuhi pendidikan dengan mutu yang mampu bersaing dalam skala internasional memaksa untuk mendatangkan guru-guru alien (baca asing) ini ke negara kita. Ada beberapa bidang pendidikan yang biasanya memanfaatkan jasa para guru alien ini, yang paling sering adalah bidang pendidikan bahasa, baik bahasa Ingris, Jepang, Cina, Arab maupun bahasa asing lainnya yang diajarkan di sekolah tersebut.
Guru asing dalam pendidikan bahasa memang lebih dianggap kredibel ketimbang guru lokal, walaupun guru tersebut punya nilai TOEFL yang tingginya selangit 7 lapis. Tetep saja guru dengan tampang bule (apalagi beneran orang bule) bakal dianggap lebih kredibel. Sebagai contoh salah satu lembaga pendidikan Bahasa asing Elit di seputar Sempur Bogor, malah menggunakan 100% tutor alien. Jangan tanya soal biaya pendidikan, karena sudah pasti di atas rata-rata. Sebab, memang tidak murah biaya yang harus dikeluarkan untuk “merayu” para guru alien ini untuk mau dateng ke negara kita untuk jadi guru. Ah, gue jadi inget lagunya Iwan Fals, Umar Bakrie. Nasib guru Umar Bakri yang tetap miskin meski telah melahirkan murid yang pinternya nggak ketulungan. Kasihan deh!
Kredibilitas guru dalam pendidikan memang sangat berpengaruh. Penguasaan terhadap materi ajar dan kemampuan untuk berimprovisasi dan kecerdasan dalam mengajar, memang sangat diperlukan. Tengoklah di Jepang, murid setara SD rata-rata sudah bisa merakit komputer atas arahan gurunya. Kalo di sini jangan ditanya, lulusan SLTA pun banyak yang belum bisa mengoperasikan komputer.
Culture shock
Culture shock adalah suatu kondisi kebingungan yang dialami ketika seseorang meninggalkan lingkungan budayanya untuk tinggal di lingkungan dengan budaya baru. Ini adalah kondisi dimana seseorang dipaksa untuk menghadapi begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Orang yang tidak kuat dengan kondisi ini biasanya mereka akan merasa sedih, frustasi dan ingin pulang ke lingkungan asalnya. Nah budaya bule yang dibawa atau dikenalkan oleh guru-guru asing ini cepat atau lambat akan membawa kita pada pertarungan budaya yang lebih seru. Misal budaya bule yang suka banget mempertontonkan auratnya, mungkin menjadi lebih menarik untuk dicoba dan dipraktekkan dengan kehadiran examplenya/contohnya di depan mata para remaja kita. Bukan tak mungkin, para remaja akhirnya doyan mempertontonkan ketek mereka. Ampuuuun, ketek bagian dari aurat, Non. Sebagai muslim kita tidak boleh mempertontonkannya, apalagi mempertontonkan bau ketek kita, ampyuuun!
Kalo kita terbiasa dengan olahraga macem badminton, sepak bola kampung, renang, balap lari, panjat pohon dan sebagainya, mungkin banget rasanya guru-guru alien ini mengajarkan olahraga kampung mereka, jadi olahraga bangsa berkuda, rugby, maupun hocky. Sangat memungkinkan untuk bisa diajarkan juga. Anyway, entah kenapa olah raga berkuda jarang banget diajarin di sekolah-sekolah kita, padahal kalo kita ke pasar bogor, seabreg-abreg kuda bersliweran ke sono kemari (baca: tukang delman).
Disiplin dan budaya tepat waktu adalah salah satu hal yang bakalan bisa juga dinikmati dari para guru alien ini. Karena memang sudah sangat umum di negeri bule sono, untuk selalu tepat waktu. Jargon macam “time is money” udah hampir pasti akan diajarkan, padahal time is jelas-jelas bukan money (saya simpan pembahasan ini untuk artikel lainnya di buletin gaulislam, so tunggu saja!)
Bro en Sis, benturan budaya nggak bisa dihindarkan. Budaya baru yang diusung para guru alien ini, mau tidak mau bakal menjungkir balikkan budaya lokal sekolah yang telah lama tumbuh. Mulai dari benturan waktu ngaret, bekerja secara professional sampai dengan benturan nilai-nilai sosial budaya lainnya. Interaksi murid dengan guru emang nggak akan bisa dibatesin pada satu pelajaran saja, sangat memungkinkan para guru alien ini bakal jadi pembimbing untuk beberapa kegiatan ekskul yang udah pasti memberikan ruang dan waktu yang lebih luas untuk berinteraksi dengan para muridnya.
So, harus gimana dong?
Secara umum sikap kita terhadap keberadaan guru bule sebenernya sederhana saja dan cukup klasik, yaitu mengambil yang baik, dan membuang yang buruk. Namun sikap ini hanya bisa dilakukan dengan sempurna, kalo kita sudah memiliki dasar keimanan yang kuat, sehingga dengan keimanan tersebut kita bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Selain filter dipasang di setiap individu, perlu juga diterapkan oleh tiga komponen utama pendidikan di Indonesia, yaitu pemerintah, sekolah dan orang tua.
Pemerintah memiliki dua peran utama, yaitu pertama untuk menentukan regulasi yang jelas bagi warga negara asing yang ingin bekerja sebagai guru di Indonesia, terutama dalam hal perekrutan dan kualifikasi. Pemerintah harus memastikan kalo para guru impor ini memang digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sebagai alat penarik pelanggan (marketing).
Peran kedua pemerintah adalah untuk menentukan regulasi yang lebih fair dalam penentuan standar gaji guru. Dengan memberikan kebebasan bersaing dalam ranah gaji, tentunya sesuai dengan prestasi yang dicapai. Sehingga menjadikan profesi guru sebagai salah satu profesi yang cukup menjanjikan.
Sementara sekolah sendiri memiliki dua peran utama, yaitu 1) harus mempunyai sistem pengawasan dan kontrol yang cukup baik terhadap performa guru bule di sekolah mereka. Kontrol dan pengawasan ini merupakan alat utama pengendali mutu pendidikan di sekolah tersebut. Sehingga bila fungsi ini melempem, mau sehebat apapun guru yang didatangkan, tidak akan banyak manfaatnya.
Peran kedua sekolah adalah meningkatkan kemampuan SDM yang sudah ada, sehingga mampu bersaing dengan guru impor ini. Jangan pernah bermimpi untuk bisa bersaing di dalam pasar bebas, kalo untuk memberikan pengajaran yang layak saja kita masih bergantung dengan para guru asing ini.
Terakhir adalah peran murid/orang tua, peran orang tua dan setiap individu murid adalah menjaga Islam dan imannya. Bila kiprah para guru asing ini jelas-jelas melanggar hukum syara, maka hukumnya kudu bin wajib bagi kita untuk menolaknya. Tetap yang jadi masalah, ngerti nggak sih kita sama batasan-batasan hukum syara agama yang kita cintai ini? Kalo jawabannya nggak, berarti “Selamat! Kamu ketambahan PR kudu belajar agama lebih giat lagi!”. Yuk, kita belajar bersama memahami Islam. Semoga bermanfaat dan jangan lupa semboyan khas gaulislam, nggak ngaji nggak trendi! Tetap semangat, Bro![aribowo: aribowo@gaulislam.com]