Thursday, 21 November 2024, 20:20

Bolos lagi bolos lagi, gara-gara bu guru demo (coba nyanyiin kayak lagu Si Komo!). Ungkapan ini kayaknya pas banget bila kita mau merhatiin kondisi sekarang. Terus terang, bila guru-guru rajin demo, murid-murid bisa melongo (kecuali yang doyan bolos). Suer, nggak percaya? Silakan coba. Eit tunggu dulu! Tentu kita nggak mau dong, kalo sekolah bolos terus. Iya, nggak?

Nah, yang baca koran or nonton siaran berita di televisi pasti tahu soal ini. Ya, beberapa waktu yang lalu, tepatnya 17 April 2000, sekitar 50.000 guru asal Jawa Barat?  berkumpul di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta. Mereka datang menuntut agar pemerintah segera merealisasikan kenaikan gaji dan tunjangan yang dijanjikan sebesar 300%.

Para guru yang tergabung dalam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) itu datang dari semua kabupaten dan kotamadya se-Jawa Barat. Mereka menggunakan sekitar 450 bus serta Metro Mini. Kendaraan-kendaraan tersebut diparkir mengepung Gedung DPR, bahkan sampai ke Parkir Timur Senayan. Tidak ketinggalan para guru mengenakan seragam kebanggaan PGRI, batik dengan warna dasar putih dan kembang-kembang hitam, serta ikat kepala hijau dengan tulisan `Guru Menggugat`. Wuih, heboh juga, ya?

Dipikir-pikir nggak salah-salah amat sih guru demo, tapi memang harus dipikirkan juga akibat lanjutnya. Kita nggak terlalu menyalahkan guru yang berdemo, tapi juga nggak mendukung. Lho, gimana sih maksudnya? Tenang dulu, maksudnya adalah, kita harus bijak juga menilai persoalan ini. Harus tahu masalah sebenarnya. Nggak sembarangan, lho!

Kalo melihat tuntutannya, bisa dipahami kalo para guru kepaksa melakukan itu. Abis, selama ini ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu selalu dipandang sebelah mata—khususnya untuk urusan kesejahteraannya. Barangkali karena menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa itulah sehingga sah-sah saja pihak-pihak tertentu menyunat gaji guru atau mengabaikan urusan kesejahteraannya.

Masalah ini tentu saja kalo dipikirkan lebih mendalam dan serius ternyata tidak berdiri sendiri alias berkaitan dengan kasus lain. Ada akar masalahnya. Nasib guru yang digambarkan dalam lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals adalah potret buram kehidupan guru—khususnya di pedesaan. Sebuah profesi mulia dengan imbalan yang ala kadarnya. Tentu nggak sebanding dong. Bener nggak, Non?

Para guru yang berunjuk rasa mungkin menganggap hal itu sebagai cara terakhir untuk mengeluarkan segala uneg-uneg yang dipendam selama puluhan tahun. Namun, tentu saja bila ini terus berlangsung bisa gawat juga, Brur! Nggak heran bila?  nanti murid ikut terlantar.

Jauh berbeda dengan artis dan atlit
Soal penghasilan guru yang pas-pasan—bila nggak mau dikatakan tekor—sudah menjadi rahasia umum. Malah ada juga sebagian besar guru di pedesaan yang honornya cuma untuk memenuhi kebutuhan hidup selama 1 minggu. Kasihan, ya? Menyedihkan memang.

Tentu saja, hal ini nggak berlaku bagi guru yang ngajar di sekolah swasta elit macam Pelita Harapan atau yang sejenis yang memang oke punya. Kita bicara gaji guru di sekolah negeri. Terus terang saja, gaji dan tunjangan pun belum bisa mengejar harga-harga bahan pokok yang kian melangit. Walhasil, guru cuma bisa pasrah menghadapi kenyataan ini. Hanya kesabaran—mudah-mudahan—yang tetap mem-berikan semangat para guru untuk bertahan menjalani profesi mulianya itu.

Melihat fakta umum soal penghasilan guru, ternyata sangat ironis dengan honor artis atau atlit. Jadi artis, adalah profesi yang tak terlalu mengandalkan otak, tapi uangnya melimpah. Teringat omongannya Issabella Rosselini, mantan model kondang dunia. Doi bilang, model itu adalah pekerjaan tanpa otak! Terang aja, cuma jual tampang dan bodi aduhai doang, kok. Itu saja. Sekali teken kontrak, katakanlah 20 juta rupiah, wuih, uang itu setara dengan tunjangan guru pegawai negeri golongan III-A—yang cuma 200 ribu perak itu—selama 8 tahun. Bayangkan, jauh banget, kan? Malah dulu bom seks Indonesia—Ineke Koesherawaty—bisa ‘berpanas-panas’ dengan 250 juta perak. Ruarr.. biasa!

Dengan atlit? Ah, gaji dan tunjangan guru nggak ada apa-apanya bila dibanding honor atau pendapatan atlit. Mau yang lokal atau yang mancanegara, dua-duanya menggiurkan. Mau tahu berapa gaji bomber Juventus, Alessandro Del Piero selama setahun? 5,6 juta dolar, Cing! (setara dengan 44,8 miliar rupiah, jika dihitung dengan kurs Rp 8000,-). Itu masih rendah dibanding Christian Vieri—striker Inter Milan ini digaji 6,5 juta dolar setahun. Gilee.. bener!

Maka, nggak salah-salah amat bila kemarin guru-guru unjuk gigi, eh, sori, unjuk rasa, sekaligus unjuk kekuatan menuntut perbaikan nasib. Walau bagaimanapun juga, guru adalah manusia, yang punya keinginan sama seperti halnya artis dan atlit dalam soal kesejahteraan. Wajar kan orang pengen kaya raya? Iya, nggak, Non?

Melihat kondisi kehidupan guru yang seret, yang identik dengan potret kesederhana-an, tepatnya kemiskinan. Tentu saja mengandal-kan penghasilan yang pas-pasan seperti itu bukan cara terbaik, Sehingga keadaan ini mendorong beberapa guru yang ‘kreatif’ untuk melakukan akrobat dengan nyambi di sana-sini. Dari mulai yang boleh dibilang wajar sampai yang nggak wajar. Yang masih kuat iman, barangkali nyari sabetan lewat ngajar privat atau di tempat kursus, atau paling pahit?  nyambi jadi tukang ojek. Nggak masalah, selama itu halal dan di luar jam kantor.

Namun, bagi yang kendor iman dan punya prinsip yang penting bisa hidup, ini bisa berabe. Gawat bin bahaya. Jangan kaget bila kamu dapetin guru yang kepergok jadi BD alias bandar narkoba. Ih, memalukan!

Celakanya lagi, bagi generasi sekarang yang melihat penghasilan guru yang morat-marit begitu, mengurungkan niatnya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa itu. Konon kabarnya IKIP Jakarta saja kekurangan mahasiswa sehingga perlu mengubah diri menjadi universitas. Bahkan anak-anak kecil pun sekarang ‘dipaksa’ bercita-cita menjadi artis setelah melihat keberhasilan Joshua dan Tasya—artis cilik yang kaya raya. Ah, semakin parah ternyata.

Bukan cuma soal gaji dan tunjangan
Namun, ada satu hal yang terlupa atau mungkin dilupakan para guru ketika demo. Tuntutan perubahan kurikulum pendidikan nyaris tak terdengar. Semuanya hanya bicara soal urusan perut. Padahal bahaya yang siap mengancam masa depan bangsa adalah lahirnya generasi-generasi amburadul karena cuma ditempa dengan pengetahuan dalam kurikulum yang kering dengan nilai-nilai keimanan.

Tawuran, seks bebas, narkoba, free thinker, merupakan catatan ‘prestasi’ tersendiri remaja sekarang. Lebih heboh dan lebih seram, Brur!

Persoalan-persoalan itu adalah sebagian produk sistem kapitalisme yang sekuler. Khususnya sistem pendidikannya yang diber-lakukan sekarang ini. Kamu merasa juga kan, kalo ternyata orientasi orang belajar sekarang ini adalah untuk nyari duit. Sekolah adalah sarana latihan untuk tujuan kerja, tok. Jarang sekali remaja atau ortu yang berpikir bahwa sekolah adalah salah satu cara dalam pemenuhan kewajiban menuntut ilmu. Karena belajar adalah ibadah. Selebihnya, bahwa dengan belajar kemudian bisa dapet pekerjaan itu adalah sebuah konsekuensi. Iya, nggak, Brur?

Kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme yang cuma menonjolkan aspek duniawi saja dengan mengabaikan aspek ruhiyah terbukti telah menemui kegagalan. Seks bebas adalah salah satu produk dari sistem pendidikan yang cuma mengejar hasil. Pokoknya tahu dan pokoknya dapat nilai. Tak diperhatikan, apakah ada upaya untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diajarkan atau tidak. Pendidikan agama pun hanya diberikan 2 jam pelajaran dalam satu minggu. Tentu saja nggak cukup. Celakanya, metode penyampaiannya pun terkesan hanya ala kadarnya. Yang penting sudah diberikan dan murid tahu. Tidak ada tuntutan untuk diamalkan. Misalnya, ketika belajar tentang bab aurat. Seharusnya setelah disampaikan definisi dan batasan-batasan tentang aurat, mestinya ditekankan pula bahwa itu bukan hanya teori, tapi dituntut untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Iya, nggak, Non? Sehingga nggak bakalan mendapatkan murid yang dandanannya menor bak penjaga swalayan. Hal ini pun bisa untuk mengerem laju pergaulan bebas.

Nah, jadi kurikulum pendidikan yang ada sekarangpun mestinya mendapat perhatian yang serius pula dari kalangan guru. Paling tidak, para guru bisa protes soal kurikulum pendidikan yang cenderung sekuler ini. Yakni memisahkan antara agama dengan kehidupan. Misalnya dalam pelajaran biologi, bila kita belajar tentang proses terjadinya kehidupan manusia, yang dijelaskan hanya sebatas peristiwa pembuahan sel telur oleh sel sperma. Lalu akan?  terbentuk embrio (janin), dan setelah sembilan bulan berada dalam rahim, lalu lahir ke dunia. Hanya itu tok. Tidak disampaikan peran Allah dalam proses tersebut. Sehingga yang terjadi memang pendidikan tersebut kering dengan nilai-nilai keimanan. Ini bisa celaka. Dengan demikian, kurikulum pendidikan ini pun harus diubah.

Cara Islam menghargai guru
Memang tugas mendidik itu bukan cuma tanggungjawab guru semata. Peran orangtua pun sangat besar dalam menumbuhkan kepri-badian anak-anaknya. Bahkan karena persoalan ini saling berkaitan satu sama lain, maka dibutuhkan peran negara untuk mengaturnya. Nggak sembarangan, lho!

Maka dalam hal ini, negara berkewajiban membuat kurikulum pendidikan yang mampu menjadikan para pelajar yang tidak saja hebat dari sisi pengetahuan umumnya, tapi juga akidahnya. Untuk mencapai tujuan mulia itu, tentu saja negara membutuhkan ‘bantuan’ guru. Maka, supaya guru bisa fokus ngasih perhatian ke murid-muridnya, harus diberikan jaminan dalam kehidupannya oleh negara. Logis, kan? Iya, dong!

Umar bin Khaththab r.a. ketika menjadi khalifah (pemimpin negara Islam), beliau memberikan gaji kepada guru yang mengajar anak-anak (setingkat TK) sebesar 15 dinar sebulan. 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Berarti sekitar 63,75 gram emas. Kalo dikonversi ke uang berarti sekitar Rp 4.781.250 (dihitung bila 1 gram emas senilai 75 ribu rupiah). Coba, ada nggak sekarang negara yang mampu menggaji guru anak-anak sebesar itu? Guru yang mengajar anak-anak Raja Thailand dalam film Anna and The King yang diperankan Jodie Foster pun mungkin nggak digaji sebesar itu. Makanya, di masa pemerintahan Islam nggak ada kasus guru berdemo minta kenaikan gaji dan tunjangan. Catet, itu!

Soal kurikulum pendidikan
Ini juga adalah tugas negara dalam menyusunnya. Karena negara memang yang bakal bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk dalam menerapkan sistem pendidikan ini.

Kamu perlu tahu juga definisi dari kurikulum pendidikan. Yakni suatu rangkaian mata pelajaran berikut penyampaiannya yang menjadi patokan penyampaian ilmu pengetahuan. Sedangkan tujuan pendidikan adalah suatu kondisi yang menjadi target penyampaian pengetahuan tersebut. Pusing? Gini deh singkatnya, kurikulum pendidikan adalah dasar dari pendidikan, sedangkan tujuan pendidikan merupakan sasaran yang dimaksud. Sekarang ngerti kan, siapa dulu dong bapaknya? (he..he..)

Nah, tujuan kurikulum dan pendidikan Islam adalah membekali akal, dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, hal itu mengenai aqaid (cabang-cabang akidah), maupun hukum. Islam telah memberikan dorongan agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. Firman Allah Ta’ala: “Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dan orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Az Zumar: 9).

Jadi, memang pendidikan itu untuk mencerdaskan manusia. Dengan kata lain, orang yang nggak belajar, jelas nggak bakal dapat pengetahuan. Malah Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Firman-Nya, “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadalah: 11).

Islam memang aturan hidup yang sempurna, unik dan khas. Nggak ada ideologi lain yang mengungguli keampuhan sistem Islam ini. Asal, Islam yang diterapkan tidak sepotong-sepotong. Tapi harus diterapkan sebagai akidah dan syariat. Benar, nggak, Brur?

Ibnu Sina, pakar kedokteran Islam itu, tidak saja canggih dalam urusan medis, tapi juga berakhlak mulia dan taat kepada Allah. Al Khawarizmi, ‘dedengkot’ matematika yang menemukan angka nol ini pun termasuk seorang muslim yang memiliki kepribadian Islam yang tinggi. Belum lagi Jabbir Ibnu Al Hayan, yang bukan cuma ahli dalam urusan kimia, tapi juga seorang ulama.

Dan dorongan mempelajari Islam yang tinggi telah menjadikan kaum muslimin yang hidup di bawah naungan sistem Islam produktif menciptakan karya-karya mereka. Bahkan di masa Khalifah Harun Ar Rasyid, para penulis buku akan dihargai dengan emas yang beratnya sesuai dengan berat buku yang dibuatnya. Fantastis, bukan?

Seharusnya begitu, sobat. Tapi kan yang terjadi sekarang malah banyak orang yang semakin pinter malah makin keblinger. Semakin tekun mendalami iptek malah semakin melupakan Allah. Inilah ‘penyakit’ matematika alias makin tekun makin tidak karuan. Bisa berabe, Cing!

Inilah rusaknya sistem pendidikan dalam ideologi kapitalisme yang memang sekuler. Alih-alih bisa membekali akal murid dengan pengetahuan yang sehat, yang terjadi justru peracunan dengan ide-ide rusak. Udah gitu, gurunya nggak dijamin urusan kehidupannya. Ini kan nggak jelas dan memang nggak benar.?  Weleh-weleh, berat juga, ya?

Jadi sekarang gimana? Iya, persoalan ini nggak berdiri sendiri, Jadi kalo mau mem-bereskan, harus total. Bila tak mau pelajar tawuran terus, dan nggak ingin seks bebas serta kasus narkoba akrab dengan remaja, maka negara harus mengubah sistem pen-didikannya dan memberikan kesejahteraan kepada guru supaya mereka betah ngajar. Soalnya, kalo demo terus, murid bisa melongo!

Tentu saja, kita nggak bakal menyaksikan kondisi ideal seperti itu kecuali dalam kehidupan Islam. Yakni, negara yang menerapkan aturan Islam dengan benar. Sampai kiamat pun nggak bakal bisa dilakukan oleh ideologi kapitalisme, apalagi komunisme yang cuma bertahan ‘hidup’ seumur jagung. Suer, cuma ideologi Islam yang bisa berbuat seperti itu, Brur!

(Buletin Studia – Edisi 15/Tahun 1)

1 thought on “Guru Demo, Murid Melongo

  1. sedikit2 demon, sedikit demon, dari semua profesi yang ada dipemerintahan ini, hanya profesi guru yang paling memalukan, demoooon terus, guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa, tapi sudah menjadi pahlawan minta pamrih, minta jasa, apa kurang negara ini sama mereka? APBN 20%, guru honor diangkat menjadi PNS tanpa tes, tanpa saringan kualitas yang jelas, tapi masih demoooooooon terus, memalukan, pantaslah semua latah demon, ada gurunya sich,, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, malu dan memuakkan..

Comments are closed.