gaulislam edisi 740/tahun ke-15 (22 Jumadal ‘Ula 1443 H/ 27 Desember 2021)
Akhir tahun masehi umumnya dirayakan masyarakat sedunia. Pesta berlangsung semalaman. Beragam alasan dalam menggelar momen pergantian tahun. Ada yang karena keyakinan, ada pula yang karena bisnis, tak sedikit yang justru sekadar ikut-ikutan. Semua jadi satu, merayakan pesta yang sebenarnya tak perlu dirayakan itu.
Oya, mungkin di antara kamu ada yang bertanya, kenapa judulnya seperti ini? Mengapa habis pesta terbitlah duka? Begini, Bro en Sis. Ini bukan sembarang alias asal nulis. Saya sengaja membuat judulnya memang demikian. Saat pesta semua lupa kondisi masing-masing. Ya, layaknya yang suka cita, yang dirasakan hanyalah kegembiraan. Nggak dipikir akibat setelahnya. Mungkin ada yang nggak peduli, sehingga bilang “peduli setan” atau “bodo amat”. Waduh, ngeri dah!
Sobat gaulislam, setiap tahun sebenarnya banyak kebijakan pemerintah di negeri ini yang berpengaruh kepada kehidupan rakyatnya. Beban ekonomi sudah pasti. Kabar akan dihapusnya BBM jenis Premium dan Pertalite bikin ketar-ketir banyak orang. Gimana pun juga, berarti kudu merogoh kocek dalam-dalam karena yang dibeli jadinya BBM jenis Pertamax. Alasannya, jenis BBM yang mau dihapus itu terkategori nggak ramah lingkungan.
Sebenarnya kalo BBM itu murah atau gratis, rasa-rasanya rakyat nggak bakalan gelisah dan protes. Biasa aja. Masalahnya kebijakan ini jadinya memberatkan secara finansial, dan biasanya kalo urusan BBM ini efeknya domino alias jatuh satu jatuh semuanya. Naik satu naik semuanya. Begitu seterusnya. Pantaslah kalo kebijakan tersebut jadi diterapkan, habis pesta (tahun baru), terbitlah duka karena banyak beban bagi rakyat di tahun depan.
Oya, belum lagi urusan pandemi yang sepertinya belum akan selesai (atau diselesaikan?). Meski kebijakan libur Nataru tak diberlakukan PPKM seluruh Indonesia, katanya dengan alasan kasus penularan Covid-19 melandai kurvanya (tapi nggak tahu sih alasan utamanya), tetapi diprediksi pulihnya sektor ekonomi masih akan tertatih-tatih. Tak mudah untuk bangkit langsung. Jadi, ya siap-siap aja untuk berduka. Lebih parah lagi kalo virusnya “milih-milih” sasaran. Pas libur Nataru sepi, begitu menjelang Idul Fitri melonjak lagi sehingga diberlakukan PPKM berlevel-level, yang utamamya melarang orang untuk mudik, membatasi mobilitas, menghalau kerumunan, yang dampaknya dirasakan juga masyarakat kecil yang nyari nafkahnya di pasar atau berjualan. Kita lihat aja nanti.
Namun, satu alasan yang hendak saya tuliskan dalam pembahasan edisi kali ini, mengapa banyak manusia lupa, bahwa sejatinya merayakan pergantian tahun itu sama saja dengan berpesta pada jatah umur yang berkurang. Pendek kata, kok bahagia kalo jatah umurnya berkurang? Sebenarnya tiap hari yang kita lalui juga makin mengurangi jatah umur yang ditetapkan untuk kita. Hanya saja, karena datangnya kematian (ajal) itu dirahasiakan, banyak manusia nggak nyadar, bahkan akhirnya lupa. Padahal sejatinya, jam berganti hari, hari bertukar pekan, pekan bergerak menuju bulan, bulan melaju menjadi tahun, semua itu menunjukkan makin berkurang jatah hidup kita di dunia ini. Jadi, untuk apa dirayakan?
Masih mending muhasabah diri, eh, tetapi apa iya muhasabah diri bisa dirasakan dalam sebuah pesta?
Usia, modal yang selalu berkurang
Ya, usia itu ibarat modal bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Dan, modalnya itu selalu berkurang. Setiap hari berkurang jatahnya. Padahal, apa yang kita cari, bagi kita kaum muslimin, adalah kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Berat sebenarnya. Itu sebabnya, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap doa “sapu jagat” yang kita panjatkan. Sebagaimana yang dianjurkan dalam surah al-Baqarah ayat 201: rabban? ?tin? fid-dun-y? ?asanataw wa fil-?khirati ?asanataw wa qin? ‘a??ban-n?r (artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”)
Dunia harus diraih, tetapi akhirat yang lebih utama untuk kita dapatkan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS al-Qashshas [28]: 77)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS al-A’la [87]: 17)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah ta’ala berkata kepada seseorang, “Berapa usia anda?”
Orang itu menjawab, “Enam puluh tahun.”
Al-Fudhail kembali berkata, “Bila demikian adanya, engkau berjalan menuju Rabbmu sejak 60 tahun silam, dan tak lama lagi akan tiba kepada-Nya.”
“Innalillahi wa inna ‘ilaihi raji’uun.” ucap orang itu.
“Tahukah engkau makna ucapan tadi?” tanya Al-Fudhail.
Beliau melanjutkan, “Maknanya adalah aku hamba Allah dan hanya kepada-Nya aku kembali.”
“Barang siapa mengetahui bahwa ia hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaklah ia memahami bahwa dirinya kelak akan dihisab (pada hari kiamat)”
“Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya kelak akan dihisab (pada hari kiamat) maka hendaklah ia memahami bahwa dirinya akan ditanya”
“Dan barang siapa mengetahui bahwa dirinya kelak akan ditanya maka hendaklah ia mempersiapkan jawaban pertanyaan”
“Bagaimanakah caranya?” tanya orang itu.
Al-Fudhail menjawab, “Sederhana sekali. Engkau memperbaiki sisa umur yang ada niscaya dosa-dosamu yang telah lalu akan diampuni. Adapun jika engkau masih saja berbuat salah di sisa usia maka engkau akan disiksa karena dosa yang lalu dan dosa yang sekarang.” (dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, jilid 2, hlm. 383)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata,
“Seorang hamba sejak menginjakkan telapak kakinya di dunia ini, maka ia telah mulai perjalanannya menghadap Tuhannya. Lama perjalanannya adalah sepanjang usia yang ditetapkan baginya. Umur merupakan waktu perjalanan seseorang dalam dunia ini menghadap kepada Tuhannya. Kemudian Allah Ta’ala menempatkan hari-hari beserta malamnya sebagai fase-fase perjalanannya: setiap hari dan setiap malam merupakan bagian dari fase-fase perjalanan tersebut. Seseorang akan terus menempuh langkahnya fase demi fase hingga perjalanannya berakhir. Musafir yang cerdik adalah yang dapat mengambil pelajaran dari setiap fase perjalanan yang dilaluinya, sehingga ia berusaha untuk melaluinya dengan selamat dan sehat, serta membuahkan hasil. Ketika melanjutkan perjalanannya, maka ia pun memandang fase berikutnya dengan seksama. Ia juga tidak membiarkan harapannya terlalu jauh hingga membuat hatinya keras dan menumbuhkan sifat bermalas-malasan; seperti Taswif (berjanji akan melakukannya nanti atau besok), banyak berjanji, senang terlambat, dan bahkan mengulur-ulur waktu.” (dalam Jalan Orang Shalih Menuju Surga, hlm. 4]
Al-Imam al-Muwaffaq Muhammad as-Safarainy rahimahullah menjelaskan, “Manfaatkanlah -semoga Allah merahmatimu- hidupmu yang berharga dan jagalah sebaik-baiknya waktumu yang mahal. Ketahuilah bahwa masa hidupmu terbatas, sedangkan napas-napasmu bisa dihitung. Itu sebabnya, setiap napasmu akan mengurangi bagian dirimu.
Umur itu semuanya pendek, sedangkan yang tersisa darinya hanya sedikit. Setiap bagian darinya merupakan permata yang sangat berharga. Ia tidak ada bandingannya dan tidak tergantikan. Sebab, dengan hidup yang pendek ini, bisa jadi akan diraih kekekalan abadi dalam kenikmatan atau azab yang pedih.
Jika engkau membandingkan kehidupan ini dengan kekekalan abadi, engkau akan mengetahui bahwa setiap napas lebih berharga dibandingkan dengan semiliar tahun dalam kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan, atau bisa jadi sebaliknya (dalam azab, -pent.). Tentu, apabila keadaannya demikian, umur tidak ternilai harganya.
Itu sebabnya, jangan engkau sia-siakan permata umurmu yang sangat berharga tanpa amal. Jangan habiskan umurmu tanpa mendapatkan ganti. Bersungguh-sungguhlah supaya jangan sampai satu napasmu kosong, kecuali dalam amalan taat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sungguh, seandainya engkau memiliki salah satu permata dunia, pasti kehilangannya akan membuatmu sangat bersedih. Jika demikian, bagaimana bisa engkau menyia-nyiakan kesempatan-kesempatan dan waktu-waktumu? Bagaimana bisa engkau tidak bersedih terhadap umurmu yang berlalu tanpa mendapatkan ganti?” (dalam Ghadza` al-Albab Syarh Manzhumah al-Adab, jilid 2, hlm. 448—449)
Sobat gaulislam, semoga firman Allah Ta’ala dan nasihat-nasihat para ulama yang barusan dituliskan, bisa memberikan wawasan dan semangat untuk menata hidup kita. Menjadikannya bahan renungan agar lebih bijak dalam memanfaatkan nikmat usia ini (yang tak kembali dan tak bisa diganti). Sayang banget, kalo waktu berlalu begitu saja tanpa diisi dengan amal shalih. Percuma saja waktu berlalu dan kita nikmati, tetapi diisi dengan hal yang sia-sia, bahkan maksiat. Itu sih rugi serugi-ruginya.
Itu sebabnya, pembahasan seputar tahun baru dan larangan merayakannya udah dibahas di buletin kesayangan kamu ini dalam edisi-edisi terdahulu. Silakan dicari saja arsipnya di website, ya. Edisi kali ini sekadar mengingatkan kembali. Selain karena pembaca buletin ini baru lagi, juga bagi yang udah lama menjadi pembacanya bisa me-refresh lagi dan kian meneguhkan pemahaman selama ini. Insya Allah tetap ada manfaatnya bagi setiap yang membacanya.
So, tak perlulah berpesta merayakan momen pergantian tahun. Nggak ada gunanya. Apalagi ke depan hari-hari kita bisa jadi tak membuat kita bahagia. Malah duka nestapa yang akan ditemui dan dirasakan. Itu sebabnya, sebaiknya muhasabah diri, dan memperkuat keimanan, serta persiapan jika hari-hari sulit itu benar-benar kita rasakan. Dan, sebaiknya memang terus muhasabah diri, apalagi kematian (datangnya ajal) tak ada yang tahu. Jangan sampai kita sedang melakukan kemaksiatan, eh ajal datang. Naudzubillahi min dzalik.
Kita semua berharap, semoga saat ajal kita datang, kita sedang melakukan amal shalih. Kita senantiasa berharap husnul khatimah. Baik di akhir hayat kita. Amiin ya robbal ‘alamiin.
Yuk, perbaiki diri. Jangan ada pesta merayakan tahun baru (apalagi kalo akhirnya kudu berduka). Muhasabah setiap hari jauh lebih baik, karena jatah usia kita juga berkurang setiap harinya. Semangat raih dunia, dan lebih semangat lagi menggapai keridhaan Allah Ta’ala untuk kebahagiaan akhirat kita. [O. Solihin | IG @osolihin]