Thursday, 21 November 2024, 20:46

gaulislam edisi 460/tahun ke-9 (12 Dzulqa’dah 1437 H/ 15 Agustus 2016)

 

Ungkapan di judul ini sudah marak disebar di media sosial. Setidaknya saya temukan di akun twitter @tausiyahku pada 9 Februari 2015. Nah, baru-baru ini, muncul lagi setelah pernikahan M Alvin Faiz (putra Ustaz Arifin Ilham) dengan Larissa Chou. Di beberapa grup WhatsApp bertebaran kutipan dari Alvin lengkap dengan foto bersama istrinya, “Kebanyakan pria tak bisa memberi kepastian. Banyak yang pacaran bertahun-tahun tapi tidak jelas kapan menikah. Perempuan tidak butuh kata-kata gombal atau romantis. Mereka cuma butuh kepastian. Jika memang suka, datangi orang tuanya. Segera halalkan, tapi jika belum mampu ya tunda atau tinggalkan!”*saya nggak tahu apa benar ini kutipan dari Alvin atau dari pembuat meme tersebut dengan memanfaatkan momen pernikahan Alvin-Larissa.

Waaah, pastinya pernyataan itu bikin jleb para aktivis pacaran tuh. Beneran. Gimana nggak, mereka yang pacaran kan lebih banyak mainnya daripada serius melanjutkan ke jenjang pernikahan. Bertahun-tahun pacaran cuma runtang-runtung nggak jelas kayak truk gandengan nggak dapet orderan muatan. Jalan bareng hanya dapat capek dan dosanya. Sering ketemu tapi bertabur dosa. Alangkah ruginya. Padahal, kalo emang udah siap, nikah aja. Kalo belum siap, ya tinggalkan pacaran. Prinsip hidupnya sesimpel itu, kok. Justru yang bikin runyam adalah, udah tahu pacaran itu dosa dan banyak ruginya, masih ada dijalanin. Ya sudah, itu namanya udah tahu dosa tapi betah berbuat dosa.

Buat apa pacaran bertahun-tahun tapi nggak ada niat untuk menikah? Apalagi kemudian bikin alasan yang udah terkenal: belum dapat kerjaan dan belum mapan. Tapi anehnya, untuk nikah nggak mau en nggak siap tapi pacaran malah doyan? Ah, itu cuma alasan aja karena terdorong hawa nafsu. Hati-hati.

 

Pemberi harapan palsu

Sobat gaulislam, seperti umumnya para aktivis pacaran, para cowok itu sulit memberi kepastian. Kalo ada yang berani ngasih harapan, tapi sepertinya palsu. Waduh!

Oya, kamu pernah dikibulin? Sakit? Sudah pasti. Nyeri? Tentu saja. Tetapi, kenapa ada yang senang berharap meski kemungkinannya di-PHP-in? Itulah mereka yang pacaran. Padahal, sejatinya mereka yang pacaran lebih berpotensi menjadi korban pemberi harapan palsu atau menjadi pelaku pemberi harapan palsu. Waspada!

Semua orang boleh berharap. Sebab harapan menjadi sebuah pendorong dan penggerak seseorang berbuat. Lihat deh, gimana semangatnya ayah kita bekerja. Sebab, ayah punya harapan, di akhir bulan ada honor yang diterimanya dari hasil jerih payah yang dikeluarkannya. Maka, jangan heran kalo pergi pagi pulang petang bakalan dijabanin aja.

Bisa kamu perhatikan juga para pedagang yang menjual barang dagangannya. Mereka antusias dan semangat memelihara harapan. Apa harapannya? Tentu saja barang dagangannya laku diserbu pembeli. Ada harapan yang sudah disemai sejak mulai pergi dari rumah, bahkan sejak mengemas barang-barang yang akan dibawa ke pasar.

Namun, bagaimana jika harapan tak sesuai kenyataan? Misalnya saja, ayah kita meski sudah bekerja maksimal tapi malah gajinya terlambat cair gara-gara uang kantor untuk gaji karyawan digasak rampok. Atau pedagang yang jualannya nggak laku karena tak ada satupun orang yang mampir melihat dagangannya, apalagi membelinya. Bersabar adalah kuncinya. Memelihara harapan juga jalannya. Tetap seperti itu.

Lalu bagaimana dengan pacaran? Kalo saya sih sudah menduga kuat kalo pacaran cuma upaya tipu-tipu para cowok (mungkin juga ada para cewek yang begitu). Iya. Itu sebabnya, saya lebih empati kepada para muslimah nih, supaya mewaspadai para cowok sok pemberi harapan, padahal yang ditebar cuma pesona doang, sementara janjinya kosong belaka. Itu namanya pemberi harapan palsu. Janji mau nikahin kalo udah merengek-rengek minta “begituan”, giliran ceweknya udah bertekuk lutut dan menyerahkan kehormatannya, tuh cowok malah kabur dan nggak mau bertanggung jawab. Maka, buat para muslimah, berhentilah berharap kebaikan dari pacaran. Nggak ada manfaatnya. Jauhi! *ini galak banget kesannya. Iya, sebab sudah kesal kuadrat dengan para pelaku pacaran. Anehnya kok pada masih mau pacaran ya? Padahal, potensi dikibulin lebih besar, kehormatan sudah pasti ternoda karena ibarat barang tanpa segel, boleh dicoba sesuka calon pembeli yang belum tentu jadi membeli. Bener nggak?

Sobat gaulislam, karena pacaran itu hubungan tanpa ikatan, maka sudah tentu rawan dengan tipu-tipu dan bohong. Beneran. Buktinya, istilah PHP (walau teman saya yang programer komputer merasa risih dengan istilah ini karena itu bagian dari bahasa pemrograman untuk website) itu muncul bagi yang pacaran. Umumnya digunakan di area hubungan tanpa ikatan itu, walau kalo mau spektrumnya diperluas ya bisa juga dalam berbagai kondisi. Namun, karena kita lagi ngobrolin seputar pacaran, ya inilah yang kita bahas.

Ya, pemberi dan penerima harapan palsu yang paling rawan adalah pada aktivitas pacaran. Coba deh kamu yang pernah pacaran atau sekarang lagi pacaran, pikir-pikir deh, apa sering kamu jadi korban para pemberi harapan palsu? Misalnya nih, janji tuh cowok nggak akan pindah ke lain hati, eh, baru sebulan pacaran udah kepergok jalan bareng ama cewek lain. Sakit? Bisa jadi. Baru aja berjanji bakalan mengikat jalinan cinta sehidup-semati, baru 3 bulan udah pindah ke lain hati dengan cara mencampakkan kamu ke lembah penderitaan sebagai mantan pacar tuh cowok. Perih? So pasti. Kapok? Kayaknya belum tentu deh. Buktinya masih ada juga yang ngarep jadian lagi ama cowoknya, meski pernah nyakitin. Kok bisa ya? Mungkin karena menganggap hubungan yang pertama dirasa belum maksimal. Idih, maksimal apanya? Maksiatnya sudah jelas terus ditumpuk, mau terus nambah maksiat? *sekali-kali pake gaya Cak Lontong: “Mikir!”

Hati-hati itu penting. Tetapi bagi yang memutuskan pacaran, justru sudah menabrak kehati-hatian dan siap-siap dapetin peluang lebih besar untuk diberi harapan palsu. Gimana nggak, jalannya udah kamu buat sendiri. Misalnya nih, buat yang memutuskan pengen pacaran, biasanya gerasuk-gerusuk nggak jelas. Ada cowok atau cewek yang merhatiin kamu, langsung pikiran dan perasaan kamu konek dan menyimpulkan kalo tuh cowok or cewek suka sama kamu. Itu namanya ge-er. Siapa tahu dianya malah biasa aja. Nggak punya pikiran macem-macem. Tapi karena tahu gelagatnya kamu kayak gitu, bisa saja dia jadi pengen ngerjain kamu. Bahaya.

Oya, seringkali nih kita suka lumer di hadapan orang yang ramah dan baik. Perlu waspada sobat, siapa tahu ramah dan baik yang dilakukannya bukan dari niat tulus (lagian gimana bisa tulus kalo dilakukan dengan cara pacaran? Jangan-jangan yang dimaksud ramah adalah akronim dari rajin menjamah. Hadeuueuh….). Tetapi yang sering kejadian adalah keramahan dan kebaikan yang dilakukannya karena ada maunya. Setelah kamu merasa nyaman dengan semua kebaikan, kasih sayang, kepedulian yang diberikannya, sehingga kamu terlena dan memiliki harapan berlebih kepadanya, dia sudah menyiapkan jurus berikutnya untuk menipu kamu. Hati-hati ya!

Oya, para pemberi harapan palsu pada pinter bikin kamu kecanduan perhatian dan kasih sayang. Kudu diwaspadai kalo ngelihat model gini. Ya, namanya juga pacaran. Udah mah hubungan tanpa ikatan, maka pacaran berpotensi menebar ancaman. Parahnya, kalo kamu udah ketagihan kasih sayangnya, ketagihan perhatiannya, udah enak menjadikan dirinya sebagai tempat curhat yang nyaman, di situlah para pemberi harapan palsu menebar jebakan supaya kamu nggak ngerasa dibohongi. Bahkan kalo pun kemudian putus, kamu tetap ngarepin dia balikkan lagi sama kamu. Aneh ya? Bener-bener deh!

 

Nikah muda? Nggak masalah!

Eh, bener? Iya. Nggak masalah. Walau banyak juga yang menganggap kalo nikah mudah itu bermasalah dan akhirnya dipersulit. Tapi dalam waktu yang bersamaan, pacaran dan gaul bebas malah dibiarkan.

Begitulah. Acapkali manusia suka kebalik-balik dalam menilai suatu perbuatan. Sebab, yang jadi patokan mereka dalam berbuat cuma mengandalkan perasaan dan ogah menggunakan akalnya sambil merujuk pada syariat. Walhasil, sering dibikin pusing oleh keputusannya sendiri. Nah, dalam masalah pergaulan bebas, masyarakat suka menilai bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan hanya dilihat dari apakah perbuatan itu menguntungkan baginya secara materi atau tidak. Itu salah besar, kawan. Bener. Sebab, yang kita nggap baik, siapa tahu malah jelek dalam pandangan Allah. Dan begitupun sebaliknya. Firman Allah Ta’ala:“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 216)

Ini memang aneh bin ajaib, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul bebas malah dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan dipermudah aksesnya. Aduh, bagaimana ini ya?

Dipikir-pikir, mau ibadah aja kok sulitnya minta maaf (eh, biasanya kan minta ampun ya?), tapi mau maksiat malah dikasih jalan bebas hambatan. Wah, kebalik-kebalik emang. Coba aja, untuk nikah aja harus pake ngurus beragam administrasi. Mending kalo cuma ngisi formulir doang, ini pake ngisi amplop segala dengan duit pelicin urusan. Berabe kan. Padahal itu baru melangkah. Berikutnya, kita dihadang dengan peraturan pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan, terus juga adanya larangan nggak boleh menikah saat masih sekolah. Aduh, seabrek alasan untuk menghambat pernikahan.

Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal, yakni belum siap mental dan belum mapan alias nggak punya biaya. Ya, inilah dilema bagi remaja. Maka jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang tak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas (dan umumnya diawali melalui pacaran). Kendala internal insya Allah masih bisa “diakalin” alias dicari jalan keluarnya. Tapi kalo udah kendala eksternal, ini yang rada sulit bin berabe. Sebab, itu melibatkan komponen yang lebih rumit dan sulit diajak kompromi.

Inilah salah satu produk kapitalisme, yang memang membolehkan setiap individu untuk berbuat sesukanya, sebab semuanya dijamin dengan kebebasan bertingkah laku yang ada dalam peraturan HAM. Inilah rusaknya sistem demokrasi. Inilah amburadulnya sistem kapitalisme.

 

Nasihat ulama

Sobat gaulislam, menikah di usia muda nggak jadi masalah. Silakan kalo udah siap seperti yang dilakukan M Alvin Faiz dan Larissa Chou. Dukungan orang tua juga sangat diperlukan. Tapi.. kalo belum siap segalanya yang diperlukan untuk menikah, ya tunda dulu dan jangan pacaran. Jangan malah nekat pacaran dengan alasan belum siap nikah. Itu namanya memperturukan hawa nafsu. Bahaya, apalagi kalo kamu udah tahu itu dosa.

Itu sebabnya, ada nih nasihat dari ulama buat mereka yang udah tahu pacaran itu dosa tapi masih aja melakukannya. Itu sebabnya, buat orang yang model gini, perlu disentil dengan pernyataan dari Ibrahim bin Adham.

Beliau adalah seorang ulama yang zuhud dan wara’, ditanya tentang firman Allah ta’ala yang artinya, “Berdoaalah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan doa kalian.” (QS al-Mu’min [40]: 60). Mereka mengatakan, “kami telah berdoa kepada-Nya namun belum juga dikabulkan”. Lalu beliau menjawab, “Karena hatimu telah mati dengan sebab sepuluh perkara. Pertama, kamu telah mengenal Allah tetapi kamu tidak menunaikan hak-hak-Nya. Kedua, kamu telah membaca kitab Allah tetapi kamu tidak mengamalkannya. Ketiga, kamu mengatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi kenyataannya kamu setia dengannya. Keempat, kamu mengaku cinta Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tetapi kamu meninggalkan sunnah-sunnah-Nya. Kelima, kamu mengaku cinta surga, namun kamu tidak melakukan amalan-amalan ahli surga. Keenam, kamu mengaku takut neraka, tetapi kamu tidak mau meninggalkan perbuatan dosa. Ketujuh, kamu mengatakan bahwa kematian itu adalah benar adanya, tetapi kamu tidak bersiap-siap untuk kematian itu. Kedelapan, kamu sibuk mencari aib orang lain sedang aibmu sendiri tidak kamu perhatikan. Kesembilan, kamu telah makan dari rizki-Nya namun kamu tidak pernah bersyukur kepada-Nya. Kesepuluh, kamu sering mengubur orang mati, tetapi kamu tidak pernah mengambil pelajaran darinya.”

Tuh,  catet ya. Yuk, jauhi pacaran, halalkan segera dengan pernikahan. Kalo belum mampu menikah, perbanyak shaum, rajin ibadah, rajin belajar, tinggalkan banyak maksiat, dan jangan pernah lakukan pacaran. Titik. [O. Solihin | Twitter @osolihin]