gaulislam edisi 555/tahun ke-11 (26 Ramadhan 1439 H/ 11 Juni 2018)
Sobat gaulislam, nggak terasa ya, pas buletin ini terbit udah tanggal 26 Ramadhan 1439 H. Artinya, udah berada di penghujung Ramadhan. Ini sudah hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Bulan mulia dan bulan suci. Apa bekal yang sudah kita dapatkan? Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur mendapatkan kesempatan beribadah dengan total di bulan penuh barokah ini. Semangat beribadah untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya. Insya Allah.
Hari-hari terakhir Ramadhan, itu artinya pula, kita siap berpisah dengannya. Aduh, jadi melow gini ya. Jadi inget pula lagu Bimbo deh. Apa tuh judulnya? Hmm, kamu nggak tahu? Hehe wajar sih, lagu ini tergolong jadul pisan. Saya aja denger pertama kali waktu SMK. Ya, itu tahun 1990. Widih, udah 28 tahun aja. Bagi yang kini SMA aja, rata-rata lahirnya di awal tahun 2000-an, kan? So, pasti jauh banget jaraknya.
Mau tahu lirik lagunya nggak? Judul lagunya, Setiap Habis Ramadhan. Gini nih sebagian liriknya:
Setiap habis Ramadhan/ hamba rindu lagi ramadhan/ Saat-saat padat beribadah/ tak terhingga nilai mahalnya/ setiap habis Ramadhan/ hamba cemas kalau tak sampai/ umur hamba di tahun depan/ berilah hamba kesempatan…
Duh, mbrebes mili beud syairnya nih, apalagi kalo diiringi musiknya. Makin angot dah tuh keluar air matanya karena sedih or terharu.
Tapi, tentu saja kondisi tersebut bagi orang yang sangat merasa kehilangan dengan Ramadhan. Kehilangan kesempatan mendapatkan pahala yang nilainya dilipatgandakan. Sehingga merasa perlu khawatir dan sedih ketika Ramadhan meninggalkan mereka. Kalo kita sih, kebanyakan malah seneng ya kalo Ramadhan udah mau berakhir. Sebab, artinya bakalan ketemu lebaran. Lebaran identik dengan serba baru yang kita kenakan. Biasanya sih baju baru. Duh, jadi bingung nih. Harus sedih atau gembira, sih?
Gembira, sedih, atau…?
Sobat gaulislam, jika setiap habis Ramadhan, gimana sih perasaan hatimu? Senang, sedih, cemas? Kayaknya gampang-gampang susah menjawab pertanyaan model begini. Sebab memang sulit memisahkan perasaan itu sendiri-sendiri. Maklum, ketika berakhirnya Ramadhan banyak perasaan yang muncul di hati kita. Bercampur jadi satu. Jujur banget, itu.
Perasaan senang muncul karena setidaknya kita merasa berhasil telah lolos dari medan ujian yang berat sebagai pemenang. Benar-benar sangat berat. Sebab, selain harus menahan diri dari rasa lapar yang mengiris-ngiris lambung kita, selain harus menahan haus yang terasa mengeringkan kerongkongan kita, juga kita dituntut oleh Allah Ta’ala untuk mengendalikan hawa nafsu kita. Tujuannya, agar puasa kita juga dibarengi dengan tambahan pahala yang lain dari Allah Ta’ala. Kita jadi orang yang bertakwa. Insya Allah.
Perasaan sedih juga muncul dari kita. Kenapa sedih dengan berakhirnya Ramadhan? Karena kita kehilangan kesempatan emas untuk menanam pahala di bulan tersebut. Sedih rasanya merasakan perpisahan dengan bulan yang telah dimuliakan Allah sebagai tempat untuk ‘menimbun’ pahala. Lebih sedih lagi kalo kita sampe tak mendapat apa-apa di bulan Ramadhan ini, kecuali rasa lapar dan haus. Atau lebih rugi lagi adalah nggak dapat apa-apa. Termasuk nggak dapat pahala puasa karena memang nggak puasa. Duh, rugi berat deh.
Rasa cemas juga kerap muncul dari kita. Khususnya bagi kita-kita yang memang telah mengisi Ramadhan tahun ini dengan segala aktivitas amal sholeh kita. Sehingga setiap habis Ramadhan, yang dirindukan adalah kembali bisa menikmati Ramadhan di tahun depan. Namun, ada kecemasan yang menggunung manakala menyadari dan khawatir jika usia kita nggak sampe di Ramadhan berikutnya. Harapan dan kecemasan bercampur jadi satu. Sampe kita sendiri nggak tahu, apa sebetulnya yang kita inginkan. Sebab, antara harapan dan kecemasan kelihatannya saling melengkapi. Setiap kali kita berharap, selalu saja ada kecemasan, meski sekecil apapun rasa cemas itu.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Perasaan-perasan tadi muncul secara wajar dalam diri kita. Alhamdulillah, moga kita menjadi hamba-hamba Allah yang bertakwa. Tapi jika sebaliknya, yakni kita tak pernah merasa senang, sedih, apalagi cemas dengan habisnya Ramadhan ini, wah, pantesnya kita mulai mengukur diri tuh. Sudah seberapa pantas menjadi seorang muslim. Dan itu berarti pula kita adalah termasuk manusia super cuek, nggak peduli dengan masa depan kita sendiri. Sungguh keras hati kita jika tak pernah ada ungkapan dari perasaan hati kita ini. Meski cuma diungkapkan setitik saja. Ah, rasanya kita pantas untuk ‘dimurkai’ Allah. Naudzubillahi min dzalik!
Padahal sobat, kita pantesnya malu sama Allah. Pantas ‘berhutang’ kepada Allah. Betapa banyak rizki dari Allah yang telah kita dapatkan. Betapa bejibun nikmat Allah yang telah kita rasakan. Betapa tak ternilai harganya ketika Allah menjadikan kita sebagai seorang muslim. Sebab, menjadi muslim, adalah petunjuk dari Allah. Itu adalah hidayah-Nya. Dan itu tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mendapatkannya.
Barangkali kita nggak merasakan tantangannya ketika menjadi muslim. Sebagian besar dari kita menjadi muslim karena memang lahir di keluarga muslim. Bayangkan jika kamu mendapatkan hidayah Allah ini berkat perjuangan yang melelahkan antara hidup dan mati.
Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, begitu berat menghadapi kenyataan ketika beliau menjadi muslim. Sang ibu melakukan protes keras dengan mengancam akan melakukan mogok makan sampe tuntutannya agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyangnya dipenuhi Sa’ad. Tapi Sa’ad tak mudah untuk tergoda lagi. Berat bukan?
Begitupun dengan Amr bin Yassir, yang harus rela melihat dengan mata-kepalanya sendiri orangtuanya menemui ajal di tangan orang-orang kafir Quraisy karena mempertahankan keyakinan mereka tentang Islam. Begitu pula, pernahkah kamu membayangkan bagaimana menderitanya Salman al-Farisi yang berusaha mencari kebenaran. Sempat pindah-pindah keyakinan sebelum akhirnya istiqomah dengan Islam. Saking istiqomahnya dengan Islam, beliau rela hidup menderita untuk membela Islam.
Wajar kan, jika nilai keimanan beliau-beliau boleh dibilang sangat mahal ketika ‘membelinya’. Amat beda dengan kita yang langsung instan. Karena memang lahir dan dididik di lingkungan keluarga muslim. Tapi walau bagaimanapun juga, ini merupakan hidayah dari Allah juga. Tinggal bagaimana kita mensyukurinya. Salah satunya adalah dengan taat terhadap apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepada kita. Wajib tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.
Kenapa masih ada yang maksiat?
Saya sendiri merasa sedih dan khawatir. Plus kasihan juga sih. Itu kalo ngomongin temen-temen kita, atau kaum muslimin secara umum. Why? Iya, di bulan Ramadhan yang terkategori bulan suci dan mulia, juga ada malam istimewa (Lailatul Qadar) di dalamnya, kok masih ada aja yang bermaksiat ya? Udah nggak terhitung deh jumlah orang Islam yang nggak puasa, padahal secara fisik (khususnya yang laki-laki) masih gagah, sehat, kuat. Eh, tapi di jalanan ngebul melulu ngisep asap rokok. Rumah makan juga masih buka, meski menggunakan hijab (dih, bagus amat istilahnya) untuk menutupi rasa malu orang yang makan di siang hari di warung tersebut.
Sobat gaulislam, selain kita mengukur apa yang telah kita lakukan di bulan suci ini, juga kita tumpahkan energi peduli kita untuk teman-teman yang masih tetap ‘istiqomah’ dalam kemaksiatannya. Nggak jarang kita jumpai, saudara kita yang masih berprinsip “semau gue” dalam berbuat. Malah tetep maksiat meski di bulan suci nan mulia ini. Astaghfirullah.
Kepada mereka, sikap peduli layak kita berikan. Tentu ini sebagai tanda kasih kita kepada mereka. Sebagai tanda cinta kita kepada mereka. Sebab kita adalah saudara seakidah. Bedanya, kita sudah mulai ingin benar dalam hidup ini, teman-teman—yang karena keterbatasan ilmunya—masih betah maksiat.
Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman yang menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara, mereka tetep keukeuh pacaran, tetep membuka auratnya, tetep tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. Kita khawatir banget, jangan-jangan, cuma mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu. Rugi deh. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga” (HR Ahmad)
Kita pun pantas prihatin dengan kondisi masyarakat. Saat ini, masyarakat sepertinya sederhana saja memandang kehidupan ini. Ringan aja menghadapi dinamikanya. Kita sedikit meragukan jika masyarakat ini masih menyimpan rasa peduli akan kebenaran. Sebab, buktinya banyak yang menyepelekan kebenaran. Individu memang banyak yang berbuat salah. Tapi yakinlah, ini akibat dari lingkungan tempat hidupnya.
Sudahlah takwa individu carut marut, dan ini jumlahnya banyak, eh, masyarakat secara umum juga udah terbiasa dengan kemaksiatan yang berlangsung dalam kehidupannya. Bahkan celakanya ada yang sampe menganggap bahwa itu emang bagian dari kehidupan sekarang. Individu dan masyarakat yang udah jebol ini makin diperparah dengan kedodorannya negara dalam mengatur rakyat. Karuan aja, makin surem aja deh kehidupan nih.
Itu sebabnya, meskipun kita gembar-gembor mengkampanyekan untuk melakukan perbaikan individu. Tapi dalam waktu yang bersamaan nggak dibarengi dengan mengubah masyarakat, maka kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Sebab, masalah akan terus berputar di situ. Jadi, mari ubah individu, dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadikan masyarakat ini sebagai masyarakat Islam. Masyarakat yang diatur dalam negara yang menerapkan syariat Islam.
Dengan begitu, kita tak perlu cemas, sedih, dan prihatin lagi menyaksikan kondisi kaum muslimin saat ini. Bukan hanya setiap habis Ramadhan, tetapi sepanjang waktu. Sebab, semuanya udah benar. Tinggal diarahkan aja. Sekarang? Kita harus membenarkan sekaligus mengarahkan. Relatif berat bukan? Banget!
Oke deh, moga-moga kita nggak cemas dan prihatin lagi setiap habis Ramadhan gara-gara mikirin kondisi umat ini. Tapi ya, selama kita hidup di bawah sistem kapitalisme seperti sekarang ini, kehidupan senantiasa diliputi rasa cemas, dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk saat seperti ini, setiap habis Ramadhan. Cemas, kalo umat ini akan balik bejat lagi akhlaknya setelah Ramadhan berlalu.
Ya, jangankan nanti, saat Ramadhan aja masih banyak yang memamerkan kesombongannya dengan nggak mau taat kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Tuh, di medsos banyak banget yang sombong dan sok tahu. Pake mengklaim jalan tol milik si anu, yang tidak mendukung si anu, jangan lewat tol ini. Hadeuuh… goblok kok dipiara. Oppss… jadi kebawa es-mosi, nih.
Beneran. Ini gampang aja kalo mau dibalikkin dengan cara berpikir yang sama: yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan menghirup oksigen yang dikasih sama Allah. Jangan gunakan panca indera dan fasilitas lainnya di bumi ini pemberian dari Allah Ta’ala. Nah, kalo digituin, gimana? Berbeda pilihan politik wajar, dukung-mendukung seseorang wajar. Tapi berpikir tetep waras, lah!
Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapat berkah, rahmat, dan ampunan. Senantiasa memohon kepada Allah agar kita digolongkan kepada orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Sekali lagi kita ngingetin, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Setuju kan? Siap!
Semoga masih bisa memanfaatkan hari yang tersisa di akhir Ramadhan ini untuk berlomba meraih pahala. Semoga pula akhirnya kita semua menjadi orang yang bertakwa. Dan, takwanya terus nyambung setelah Ramadhan dan sampai akhir hayat kita. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]