Thursday, 21 November 2024, 22:40

Jujur aja, punya hero kadang bikin kita pede. Ada panutan yang bisa dijadiin rujukan. Sejauh mana kita harus merasa perlu punya hero?

“Waktu kecil, saya punya hero bernama Spiderman. Abisnya, tuh hero sakti dan baik hati,” aku Donni pada SoDa saat nongkrong di sebuah pusat pertokoan di Jakarta.

Ternyata kawan kita ini menyukai salah satu tokoh komik ‘lulusan’ Marvel. Sama seperti kita waktu kecil. Bukan hanya Spiderman, tapi juga ada banyak di antara kita punya hero seperti Batman, Fantastic Four, Gundala, Flash Gordon, termasuk jawara silat lokal macam Jaka Sembung, Jaka Gledek, Joko Tingkir. Why?

“Kalo kita punya hero, kita jadi bisa ngikutin teladannya. Jadi rujukan kita. Panutan kita,” Donni ngasih alasan.

Memang sih, seorang panutan akan membuat kita merasa tenang dan merasa punya rujukan. Bahkan kita akan memposisikan diri sebagai bagian dari hero tersebut. Kelihatannya sih wajar en sah-sah aja. Karena siapa pun pasti merasa terinspirasi dari sesamanya. Manusia satu sama lain saling memberi inspirasi.

Ahmad Dhani yang komandan Dewa 19, konon kabarnya punya idola Bung Karno. Itu sebabnya, dalam beberapa penampilan doi sering menggunakan atribut yang mencirikan sosok Bung Karno (jas dan peci khasnya). Dengan begitu, kayaknya Dhani Dewa kepengen banget ‘disejajarkan’ dengan Bung Karno. Atau paling nggak, ngikutin semangatnya dari tokoh hero pujaannya itu.

Teman kita juga ada yang ngefans banget sama hero bernama lengkap Soekarno ini, “Karena dia presiden sekaligus negarawan yang dekat dengan rakyat,” papar Andri, siswa SMA Karya Pembangunan Bandung.

Andri juga menekankan bahwa punya hero itu perlu. Untuk apa? “Untuk jadi panutan dalam hidup kita,” jelasnya.

Hal senada soal hero dikatakan Edi, mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, “Bisa mencontohnya, kemudian memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia.”

Jadi panutan? Bisa jadi. Karena jujur aja kita sendiri sering bingung. Dalam hidup ini selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Belajar dari orang yang kita anggap lebih baik kayaknya lebih efektif. Kita bisa meniru apa yang dilakukannya. Pendek kata, memang tuh hero jadi panutan en rujukan kita dalam menjalani hidup ini.

Itu sebabnya, kayaknya bener deh pendapat teman kita yang satu ini, “Punya hero perlu, tapi jangan yang imajiner. Kita tidak butuh pahlawan yang hanya sekadar untuk dikagumi. Tapi, kita butuh sosok-sosok nyata yang kiprahnya bisa diteladani. Yaitu pahlawan yang dapat memproduksi pahlawan-pahlawan baru dari remaja-remaja tersebut,” jelas Titok, mahasiswa UGM Yogyakarta dengan panjang lebar.

Meneladani sang hero

Seharusnya memang demikian. Seorang hero bisa memberikan semangat kepada ‘pengikutnya’. Kita pasti tahu bagaimana kuatnya kharisma Tjut Nyak Dien ketika berjuang menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang melawan Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Semangatnya mampu menyebar di dada para pejuang Aceh.

Kalo sekarang mungkin yang jadi hero adalah orang yang bisa memberikan inspirasi dalam hidup kita. Untuk lebih percaya diri, untuk lebih bisa tenang menjalani hidup karena merasa ada orang yang mampu dijadikan rujukan dalam berbuat dan bertindak. Karena jujur aja nih, kita sering ingin banget dapetin ‘pembenaran’ dan dukungan atas apa yang kita lakukan. Salah satunya dengan kita mengikuti gaya hero yang kita teladani.

Sekalian bisa bilang ke orang-orang, bahwa apa yang kita lakuin memang ada teladannya. Dan itu adalah hero kita. Sehingga orang lain bisa ngeh dengan apa yang kita lakuin dan menganggap wajar karena ngikutin idola kita yang udah teruji keteladanannya di mata banyak orang.

Dan yang terpenting agar kita bisa meneladani sang hero, maka hero yang kita pilih adalah yang benar dan bagus. Yang tentunya lebih baik dari kita. Bisa dipercaya, bisa dijadikan rujukan dalam kebaikan. Terlebih, seorang hero tuh harus mampu memberi inspirasi yang baik buat kita. Itu sebabnya, menurut Fendy, salah seorang mahasiswa di Surabaya ngasih penjelasan soal tipe hero yang diinginkannya, “Tipe hero yang superhero, pokoknya yang bisa rejuvenation of mind (meremajakan kembali pemikiran -red).”

Hmm.. jika tipe hero yang diinginkan seperti, tentu bukan yang ecek-ecek dong ya. Kelasnya lain. Berarti tuh hero kudu menjadi inspirator ulung bagi setiap calon pengikutnya. Inspirator dalam melakukan kebenaran dan kebaikan tentunya.

Hero juga manusia

Seringkali kita membutuhkan dan menganggap bahwa hero tuh kudu kuat, sakti, baik hati, nggak pernah salah, dan nggak pernah mengecewakan. Tapi inget lho, hero juga manusia, yang bisa berbuat salah sekaligus mengecewakan kita. Tentu, jika kita memilih hero yang asal bungkus aja sesuai kriteria rasa suka kita. Bukan menyeluruh penilaiannya. Nggak objektif, tapi kita cenderung subjektif.

Kayak gimana sih sosok hero yang bisa dijadiin teladan en panutan kita?

“Intinya sih yang baik-baik. Tapi yang paling penting merakyat. Mo ganteng, pinter atau apapun selama tidak merakyat ya percuma,” Andri ngasih pendapat.

Tapi, ngomong-ngomong, siapa sih hero kamu saat ini Ndri?

“Saya memilih SBY. Soalnya kebijakan dia menaikan harga BBM itu merupakan keputusan yang baik. Dia menyelamatkan bangsa dari kebangkrutan di masa depan. Daripada diambil terus ama penyelundup karena harga di kita terlalu murah,” ujar Andri semangat. (Nah lho. Kalo gitu definisi merakyat menurutmu apa dong, Andri?)

Oke lah, tiap orang memang punya selera masing-masing buat nyari hero. Tapi mbok ya pilih-pilih en pilah-pilah gitu lho (untuk soal ini, silakan liat deh di Bidik 2, oke?).

Deden, yang masih tercatat sebagai siswa sebuah SMA di Bandung ngasih komentar soal hero yang ternyata nggak selamanya baik, “Pasti kecewa. Tapi semua itu relatif. Tergantung kesalahannya. Kalau parah ya cari panutan baru,” ujar Deden ringan aja.

Mungkin itu juga yang menyebabkan tiap orang bisa punya hero lebih dari satu atau berganti hero. Mungkin saja yang tadinya dianggap bajingan, tapi suatu saat jadi superhero. Sebaliknya, sosok yang tadinya dipuja bak mahluk setengah dewa kayak di lagunya Bang Iwan Fals, eh bisa jadi esok atau lusa ketika berbuat salah dan jahat, langsung turun derajat, bahkan berganti peran menjadi sosok yang paling dibenci di dunia. Mudah saja bukan?

Jadi, nggak perlulah kemudian kita meyakin-yakinkan diri bahwa hero juga manusia, nggak lepas dari salah dan dosa. Lalu kita menganggap wajar aja. Ah, kalo pernyataannya kayak gitu mah, namanya mengampuni diri sendiri atas pilihan yang salah.

Itu sebabnya, meski punya hero itu perlu, tapi kudu jaga diri dari godaan menjadikan sosok biasa untuk disulap jadi hero, apalagi superhero. Mereka yang jadi hero memang manusia. Itu sebabnya kudu memilih sosok hero yang paling sedikit kesalahannya. Atau paling nggak memang manusia pilihan sebagaimana Rasulullah saw. Insya Allah bisa lebih membimbing kita dijalan yang benar. Oke? [solihin: liputan daerah: gilang, rizki, sigit]

BOX:

Islam sumber keberanian dan motivasi

Benar. Islam sejak lama sudah menjadi magnet kuat bagi manusia yang cinta kebenaran. Sosok Muhammad saw. pasti salah satu daya tariknya. Para sahabat menjadikan beliau guru, sahabat, sekaligus hero dalam kehidupannya.

Uniknya, karena Islam adalah sumber keberanian dan motivasi dalam hidup, maka banyak dari pengikut Muhammad saw. yang tadinya ‘manusia biasa’ menjadi ‘luar biasa’. Mereka menjadi hero di antara para hero dan tentunya layak dan pantas kita jadikan hero dalam kehidupan kita.

Khalid bin Walid, mantan panglima perang kafir Quraisy ketika memukul mundul pasukan kaum muslimin di Perang Uhud, terpesona dengan Islam dan mengubah dirinya dari hero jahat menjadi hero baik di jalan kebenaran.

Sosok Usamah bin Zaid yang masih muda usia melambung namanya setelah menjadi panglima perang pada usia 18 tahun. Salman al-Farisi yang semula penyembah api, lalu masuk Islam dan menjadi sosok hero buat kita yang bisa diandalkan. Masih banyak. Masih ribuan sosok hero yang berhasil ‘diproduksi’ Islam sebagai ideologi yang bisa menyegarkan kembali pemikiran umat manusia selama ini.

Yup, kita bisa meneladani hero-hero yang lahir dari rahim Islam. Bahkan, jika kita meneladani mereka, terus kita ‘menjerumuskan’ diri kepada Islam dengan sepenuh hati, suatu saat, cepat atau lambat, insya Allah pasti kita jadi hero pula. Menjadi teladan buat anak-cucu kita. Teladan dalam dakwah dan perjuangan menegakkan Islam. Inilah sosok hero yang sebenarnya. Are you ready? [solihin]

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda edisi Desember 2005]

1 thought on “Hero Itu Perlu

Comments are closed.