gaulislam edisi 619/tahun ke-12 (2 Muharram 1441 H/ 2 September 2019)
Alhamdulillah, udah masuk tahun baru hijriah. Tahun 1440 sudah kita tinggalkan, kini menapaki awal tahun baru 1441 H, di bulan Muharram. Semoga usia kita diberkahi oleh Allah Ta’ala. Amal-amal shalih kita diterima oleh Allah Ta’ala dan menjadi pemberat timbangan amal di yaumil hisab kelak. Insya Allah. Aamiin ya robbal ‘alamin.
Lembaran tahun kemarin di kalender sudah berganti dengan lembaran baru. Bagi kita, kaum muslimin, semestinya memang bukan sekadar berganti tahun atau kalender. Tetapi ini semacam perjalanan yang sudah melewati satu fase yang akan dilanjutkan dengan menapaki fase berikutnya hingga tujuan kita tercapai atau ajal lebih dulu menjemput kita. Mana yang lebih dulu, kita tak pernah tahu. Hikmahnya, berarti kita kudu hati-hati dan waspada. Jangan gagal fokus dengan tujuan akhir kita, yakni surga-Nya Allah Ta’ala. Sambil berharap mengais banyak maslahat dalam perjalanan menuju ke sana. Akhirat tujuan utama, dunia jangan dilupakan. Menikmati secukupnya, sekadar bekal di perjalanan.
Sejatinya, perjalanan kita selama ini, adalah bagian dari proses hijrah kita untuk terus memperbaiki diri. Memoles diri dengan berbagai kebaikan. Senantiasa menjadi yang terbaik, dari hari ke hari. Terus menerus sepanjang hayat masih dikandung badan.
Kisah hijrah sahabat nabi
Sobat gaulislam, amat banyak kisah menarik dan inspiratif dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Tentunya, tak semua bisa ditulis di buletin kesayangan kita yang terbatas halamannya ini untuk mengisahkan kemuliaan mereka. Beberapa contoh saya akan tuliskan secara singkat sesuai kebutuhan. Siapa saja mereka?
Pertama, Suhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu. Kisahnya sudah tersebar luas mengispirasi banyak manusia di seluruh dunia. Saya kutip beberapa informasi yang ditulis di website kisahmuslim.com.
Suhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara sahabat senior Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mungkin tidak dikenal oleh banyak kaum muslimin. Ia merupakan as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Saat jumlah kaum muslimin masih sekitar 30-an orang, Suhaib telah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan takut akan ancaman kafir Quraisy Mekah.
Suhaib bukanlah penduduk asli Mekah, ia adalah perantau yang datang ke Kota Suci tersebut dari kampung halamannya di Bashrah. Nama belakangnya ar-Rumi yang artinya orang Romawi, juga bukanlah menunjukkan jati dirinya yang asli, karena dia adalah orang Arab.
Suhaib adalah anak dari salah seorang hakim di wilayah dekat Bashrah. Saat orang-orang Romawi menyerang daerah tersebut, Suhaib pun menjadi seorang budak Romawi. Ia tumbuh besar di wilayah Romawi tersebut, karena itulah ia dipanggil Suhaib ar-Rumi.
Nama aslinya adalah Suhaib bin Sinan bin Malik, kun-yahnya Abu Yahya. Ternyata, kisah pilunya sebagai budak membawanya kepada suatu hikmah yang tidak dia sangka-sangka. Seorang penjual budak menjualnya kepada salah satu orang kaya Mekah, namanya Abdullah bin Jad’an. Beberapa lama bersama tuan barunya tersebut, Suhaib memperlihatkan kualitas diri yang menunjukkan dia tidak layak menjadi seorang budak. Ia memiliki kecerdasan, etos kerja yang tinggi, dan ketulusan hati. Lalu Abdullah bin Jad’an pun membebaskan Suhaib ar-Rumi, dan berubahlah statusnya dari seorang budak menjadi orang merdeka. Setelah merdeka, Suhaib memulai jalan hidupnya di Mekah sebagai pedagang sehingga ia menjadi salah seorang pedagang yang sukses di Ummul Qura tersebut.
Bagaimana beliau memeluk Islam? Ammar bin Yasir mengisahkan: Aku berjumpa dengan Suhaib bin Sinan di depan pintu rumah al-Arqam, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam rumah itu. Aku berkata kepada Suhaib, “Apa yang kau inginkan?” Namun Suhaib malah balik bertanya, “Kamu juga, apa yang kau inginkan?” Lalu kujawab, “Aku ingin masuk ke dalam rumah ini menemui Muhammad, lalu mendengarkan apa yang ia sampaikan.” Kata Suhaib, “Aku juga menginginkan hal yang sama.”
Ammar melanjutkan, “Kami berdua pun masuk ke dalam rumah al-Arqam, lalu menyatakan keislaman kami. Lalu kami berdiam di rumah hingga tiba sore hari, kemudian keluar dari rumah dalam keadaan takut.”
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Empat orang pendahulu: Aku adalah yang paling awal dari kalangan Arab, Suhaib paling awal dari kalangan Romawi, Bilal paling awal dari orang-orang Habasyah, dan Salam yang paling awal dari orang Persia.”
Salah satu peristiwa yang paling terkenal dan sangat mengagumkan dari perjalanan hidup Suhaib adalah kisah hijrahnya beliau radhiallahu ‘anhu. Sebagaimana telah disebutkan, Suhaib adalah seorang yang tidak memiliki apa-apa, lalu datang ke Mekah dan menjadi salah seorang pedagang yang kaya. Lalu datanglah panggilan hijrah, dan Suhaib pun menyambut panggilan tersebut.
Saat dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, Suhaib dicegat oleh orang-orang Mekah. “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Setelah itu terjadilah di antara kita apa yang terjadi (perselisihan karena Islam). Engkau boleh pergi, tapi tidak dengan semua hartamu.” Suhaib pun meninggalkan hartanya tanpa ia pedulikan sedikit pun.
Kemudian sampailah Suhaib di Madinah, lau ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung mengucapkan, “Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Suhaib berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu turunlah ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS al-Baqarah [2]: 207)
Luar biasa. Jujur saja, membaca kisah ini, atau pernah juga mendengarkan kisahnya yang dibacakan di radio, saya sangat terharu dan meneteskan air mata.
Kedua, keluarga Salamah. Masih saya nukil dari website kisahmuslim.com (yang juga menukilnya dari website islamstory.com). Abu Salamah bin Abdul Asad termasuk orang yang pertama dan bergegas menyambut perintah Rasulullah untuk berhijrah ke Madinah. Ia juga merupakan orang yang pertama yang berhijrah dari kekufuran menuju keislaman. Ia dan istrinya, Ummu Salamah, berasal dari kabilah yang sama, dari Bani Makhzum.
Kedudukan mereka yang mulia sebagai keluarga terhormat di Mekah, tidak menghalangi mereka untuk hijrah ke Madinah. Mereka nafikan kelas sosial mereka demi menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Abu Salamah, istrinya, dan seorang anaknya pun berangkat menuju Madinah.
Setelah keluar dari batas Kota Mekah, mereka bertemu dengan keluarga Ummu Salamah. Mereka berkata kepada Abu Salamah, “Masalah dirimu, itu adalah urusanmu, tapi bagaimana dengan kerabat perempuan kami ini (Ummu Salamah)? Dengan alasan apa kami membiarkanmu dengan mudah membawanya keluar dari negeri ini?”
Setelah mencoba mempertahankan istrinya, akhirnya Abu Salamah yang seorang diri pun tidak mampu melawan keluarga istrinya itu. Mereka berhasil merebut tali kekang onta Ummu Salamah dan mengambil istri dan anaknya. Lalu berangkatlah Abu Salamah menuju Madinah.
Melihat keadaan demikian, keluarga Abu Salamah tidak bisa menerima perlakuan keluarga Ummu Salamah terhadap kerabat mereka. Mereka mendatangi keluarga Ummu Salamah, lalu berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak kami (anak Abu Salamah) tinggal bersamanya (Ummu Salamah) jika kalian memisahkannya dari ayahnya”. Lalu kedua keluarga ini memperbutkan anak kecil, buah hati Abu Salamah dan Ummu Salamah. Kedua keluarga saling tarik-menarik memperebutkan sang anak. Sampai akhirnya anak tersebut berhasil direbut dan kemudian dibawa oleh keluarga Abu Salamah. Tinggallah Ummu Salamah radhiallahu ‘anha seorang diri di Mekah.
Setelah itu, setiap hari Ummu Salamah keluar menuju tempat perpisahannya dengan sang suami tercinta. Di tempat tersebut, ia senantiasa menangis dari pagi hingga sore hari. Teringat akan dua orang yang ia cintai telah dipisahkan darinya secara paksa. Pada malam hari, barulah ia pulang menuju rumahnya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga satu tahun lamanya.
Rasa sedih yang dialami Abu Salamah yang terpisah dari anak dan istrinya, hidup sendiri di negeri yang asing, duka mendalam yang dialami Ummu Salamah, dan kesedihan yang dialami sang anak yang dipisahkan dari kedua orang tuanya, tidak lain dan tidak bukan kecuali disebabkan keimanan mereka kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Apakah Allah tidak menyangi mereka?
Demi Allah, merekalah orang-orang yang pertama memeluk Islam yang Allah puji di dalam al-Quran. Allah meridhai mereka. Namun demikianlah ujian. Demikianlah harga surga. Kalau kesuksesan itu mudah, maka semua orang pasti akan berhasil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Ketauhilah sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal dan ketauhilah bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga.” (HR Tirmidzi)
Setelah satu tahun berlalu, salah seorang paman Ummu Salamah mulai merasa iba terhadap keponakannya ini. Ia berkata kepada keluarga yang lain, “Tidakkah kalian merasa iba melihat keadaannya? Kalian pisahkan ia dengan suami dan anaknya”. Setelah beberapa waktu, akhirnya ia berhasil membujuk anggota keluarga Ummu Salamah. Ummu Salamah pun diizinkan untuk menyusul suaminya.
Kemudian Ummu Salamah mendatangi keluarga Abu Salamah. Mengetahui bahwa Ummu Salamah akan pergi ke Madinah, mereka pun memberikan sang anak kepada Ummu Salamah. Saat melihat anaknya, ia pun langsung memeluk sang anak yang sudah terpisah satu tahun lamanya.
Kemudian ibu dan anak ini pun berangkat menuju Madinah, padahal keduanya tidak tahu jalan menuju Madinah.
Ketika sampai di daerah at-Tan’im, Ummu Salamah berjumpa dengan Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah dari bani Abdu ad-Dar. Ia berkata kepada Ummu Salamah, “Hendak pergi kemana wahai putri Abu Umayyah?” Ummu Salamah menjawab, “Aku ingin menyusul suamiku di Madinah”. Ia pun balik bertanya, “Apakah tidak ada seorang pun yang mengantarmu?” Maka beliau menjawab, “Demi Allah tidak ada kecuali Allah dan anakku ini”.
Singkat cerita, kemudian Ustman bin Thalhah bin Abu Thalhah mengantarkannya hingga ke Madinah. Perjalanan saat mengantarkan Ummu Salamah dan anaknya, juga menarik dan banyak ibrah. Silakan bisa baca kisah lengkapnya di situs tersebut.
Hanya dua kisah hijrah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam yang bisa saya tulis di buletin edisi kali ini. Semoga menjadi inspirasi. Saya hanya menulis ulang saja. Mengutip sesuai kebutuhan dari website yang sudah saya sebutkan sebelumnya.
Ya, hijrah itu indah. Sebab hijrah bukan saja membawa kebaikan, tetapi bagian dari ketataan atas perintah Allah dan Rasul-Nya.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Bagaimana dengan kita saat ini? Kita bisa hijrah dalam pengertian: dari gelap menuju cahaya; dari banyak maksiat menuju taubat; dari perilaku buruk menuju adab yang mulia. Semoga momen Muharram sebagai awal tahun baru hijriah ini, menjadikan kita hamba Allah Ta’ala yang pandai bersyukur atas segala karunia yang Allah Ta’ala berikan, sabar ketika mendapatkan musibah, dan senantiasa memperbaiki diri untuk menjadi yang lebih baik dan terbaik. Semoga juga mampu untuk berjuang dalam dakwah agar syariat Islam kembali tegak di muka bumi ini dan menebar manfaat bagi seluruh umat. Ya, hijrah itu indah. Insya Allah, meski untuk mencapainya kudu banyak berkorban. Insya Allah pengorbanan yang indah pula. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]