gaulislam edisi 467/tahun ke-9 (2 Muharram 1438 H/ 3 Oktober 2016)
Sobat gaulislam, buletin kesayanganmu edisi ke-467 ini bertepatan dengan tanggal 2 Muharram 1438 H (3 Oktober 2016). Itu artinya, udah masuk di tahun baru dalam penanggalan Islam. Kalo pekan kemarin kita masih berada di bulan Dzulhijjah tahun 1437 H, kini sudah masuk Muharram tahun 1438 H. Perjalanan ini sudah panjang, sobat. Artinya pula, Islam sudah menorehkan banyak jejak bagi dunia selama lebih dari 1400 tahun. Luar biasa. Masya Allah. Alhamdulillah.
Lalu, bagaimana dengan kita? Kalo mau dipikir-pikir sih, setiap hari juga kita menjejakkan sejarah dalam kehidupan kita. Banyak sudah peristiwa kita lalui dan rasakan. Sayangnya, banyak di antara kita yang melupakan (atau bahkan mengabaikan?) begitu saja. Tanpa ada hal yang istimewa dan memberi kesan dan manfaat. Rugi ya? Tentu saja. Sebab, selain waktu terus berputar tanpa kenal kompromi dan nggak peduli apakah manusia mau memanfaatkan atau mengabaikan waktu bagi mereka, juga waktu tak akan kembali dan menyapa kita untuk segera sadar. Tidak. Waktu terus berjalan lurus ke depan. Kita yang kudu menyesuaikan agar tak tertinggal atau malah terlindas tak bersisa.
Hijrah dan sejarah penanggalan hijriyah
Oya, ngomong-ngomong soal hijrah, ini tentu ada kaitannya dengan penanggalan hijriyah. Mau tahu sejarahnya? Begini latar belakangnya. Sebagian besar saya kutip dari wesbite muslim.or.id (dengan sedikit perubahan dan perbaikan yang disesuaikan dengan gaya remaja—termasuk ejaan).
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,
إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Sobat gaulislam, tersebab kejadian ini kemudian Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin. Ketika berlangsung musyawarah antara Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها
“Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى? مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS at-Taubah [9]:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga momen tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan, “Pelajaran dari as-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala surah at-Taubah ayat 108 tersebut.
Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)
Sobat gaulislam, perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.
بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم
“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu. Akhirnya para sahabatpun sepakat.
Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)
Dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.
Ayo, tinggalkan keburukan!
Sesuai judulnya dan juga saat dihubungkan dengan sejarah penanggalan hijriyah, maka momen ini nggak ada salahnya kalo dijadikan sebagai cambuk kesadaran untuk hijrah menuju kebaikan. Itu sebabnya, mulai sekarang kita belajar untuk berani meninggalkan keburukan. Harus berani dan punya semangat untuk meninggalkan keburukan. Kebaikan harus segera disambut dan dilaksanakan. Bahkan berlomba-lomba dalam membuat kebaikan.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” (QS al-Baqarah [2]: 148)
Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sobat gaulislam, Rasul mulia shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Bersegeralah menunaikan amal-amal kebajikan. Karena, saatnya nanti akan datang banyak fitnah, bagaikan penggalan malam yang gelap gulita. Betapa bakal terjadi seseorang yang di pagi hari dalam keadaan beriman, di sore harinya ia menjadi kafir. Dan seseorang yang di waktu sore masih beriman, keesokan harinya menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan komoditas dunia.” (HR Bukhari dan Muslim)
Yuk, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik (dan tentu saja sekaligus segera meninggalkan keburukan). Kita tiap hari menikmati hidup dan kehidupan yang Allah Ta’ala berikan. Aneh banget kalo sampe kita nggak bersyukur dan nggak mau berubah untuk jadi lebih baik. So, mumpung momen awal tahun baru hijriyah, di bulan Muharram pula, kita nyadar dan segera benahi diri jadi lebih baik. Itu sebabnya, yang masih pacaran, yang masih sering bolos sekolah, masih nggak hormat sama ortu dan guru, masih sering maen judi, sering nenggak miras, hobi tawuran dan seabrek kemaksiatan lainnya, segera hentikan, jauhi, dan tinggalkan. Cukup sampe di sini. Lalu, isi dengan beragam kebaikan berupa ibadah dan amal shalih lainnya. Berdoa selalu agar hati kita Allah Ta’ala tetapkan dalam Islam dan kebaikannya. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]