Hormat dan menghormati adalah keinginan naluriah yang melekat pada diri manusia. Ia merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Tidak akan ada manusia yang merasa senang ketika orang lain merendahkannya, menghinanya dan menyepelekannya. Sebaliknya, ia akan berusaha sekuat tenaga agar orang lain menghormatinya dan menghargainya. Malah tidak sedikit orang yang rela mati demi membela harga diri dan kehormatan. Penghormatan diberikan kepada orang lain karena ada sesuatu yang ‘lebih’ pada diri mereka. Bisa usia, status sosial, pendidikan, atau kedudukan. Hormat pada guru bisa karena status kedudukannya atau kewibawaannya. Sementara hormat pada Pak Lurah adalah karena kedudukannya. Hormat pada orang tua adalah karena rasa sayang sekaligus segan. Pada kehidupan masyarakat primitif, orang-orang terhormat bahkan para pemimpin mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan secara fisik. Biasanya jabatan kepemimpinan ditentukan melalui uji fisik bagi calonnya. Melawan mahluk buas, melalui pertarungan, atau menaklukkan keganasan alam, atau melalui peperangan. Ada kepercayaan bahwa mereka yang kuat fisiknya, pasti kuat jiwanya. Sebenarnya ‘kelebihan’ itu tidak mesti sesuatu yang terindera oleh kita, bisa berupa sesuatu yang invisible tapi terasakan, seperti karisma atau kewibawaan. Marilah kita melihat Rasulullah saw. Jauh sebelum ia diangkat sebagai utusan Allah, masyarakat Quraisy dan para pemimpinnya telah menghormati beliau. Gelar Al-Amin – yang terpercaya – diberikan kepada Muhammad muda, sebagai penghormatan atas kebijakan dan kecakapannya dalam berpikir dan bertindak, yang menyelamatkan masyarakat Quraisy dari perpecahan dan permusuhan. Di antara kita, banyak yang tidak memiliki kelebihan status sosial tapi dihormati masyarakat. Pak Dullah dihormati tetangganya karena pemurah meski dia bukan orang kaya, Pak Somad dihargai masyarakat karena ramah dan penolong, dan Pak Husni dihormati orang karena rajin beribadah dan berdakwah.
ooOoo
Penghormatan dan penghargaan tidak akan datang bila kita tidak menghormati dan menghargai diri sendiri. Bagaimana orang akan menghargai kita bila kita tidak peduli pada diri sendiri? Penampilan dibiarkan kotor, pikiran kita tidak lepas dari rasa pesimis, keluh kesah, berpikir negatif tentang diri kita dan masa depan kita, lalu kita pun menjauh dari amal ibadah, dan tidak pernah mencintai ilmu. Mengharap orang lain menghormati kita padahal kita melecehkan diri sendiri sama dengan seorang kaya yang menjadi peminta-minta. Tidak sedikit teman-teman remaja yang gelisah mencari pengakuan dan ingin dihormati, tapi mereka malah menempuh jalan yang menjatuhkan harga diri sendiri. Ida yang duduk di kelas dua SMU ingin agar teman-temannya menghargai dan mengenalnya. Lalu ia mulai dengan dandanan yang seronok untuk memperlihatkan bahwa ia cantik, ikut-ikutan mengidolakan kalangan artis dan pergi ke diskotik bersama teman-temannya agar ia dibilang gaul, dan berpacaran untuk menunjukkan kalau ia mampu punya pacar. Lain lagi dengan Adi, ia merokok, minum sebotol bir, ikut tawuran, agar tidak dikucilkan teman-temannya dan disebut solider. Ia amat butuh penghargaan dari mereka. Kawan, penghargaan hakiki adalah penghargaan yang dilandaskan keikhlasan hati dan kebenaran ilahi. Bukan cuma sekedar acungan jempol, tepukan tangan atau ucapan ‘hebat!’. Penghargaan yang datang dari orang-orang yang mengajak kita pada kesalahan adalah sama dengan tangisan pilu orang-orang yang menyayangi kita. Maka sebelum terlambat pikirkanlah siapa orang yang menghargai dan menghargai kita. Tidak ada kebanggaan mendapat penghormatan dan pengakuan dari mereka yang mencelakakan kita. Penghormatan yang sejati tumbuh secara alami, bukan dari paksaan. Rasa hormat yang ditunaikan rakyat pada para diktator, adalah ketakutan bukan penghormatan. Penghormatan yang dituai para diktator hanya akan melahirkan dendam yang akan dilampiaskan saat ketakutan rakyatnya sirna. Mussolini di Italia, Najibullah di Afghanistan, Pinochet di Chili adalah bagian dari kehormatan yang berubah menjadi kehinaan. Kesemuanya dirutuki rakyatnya setelah tak berkuasa. Mereka yang memaksakan kehormatan dengan cara kekerasan hakikatnya adalah orang-orang yang tak terhormat.
ooOoo
Mempertahankan kehormatan adalah keharusan, tetapi gila hormat adalah sebuah ketidaklayakan. Tidak sedikit orang yang berubah menjadi bossy hanya setelah memperoleh jabatan. Sebagian orang berpendapat hal seperti itu adalah kewajaran. Bukankah saya sudah menjadi seorang pemimpin, maka saya berhak memerintah siapa saja menurut kehendak saya? Kawan, pernahkah antum mendengar kisah Abu Bakar Ash Shiddiq setelah ia menjadi khalifah. Hanya berselang beberapa hari menjadi khalifah, Abu Bakar mendatangi rumah janda-janda tua para syuhada yang sering ia bantu sebelum menjadi khalifah. Ketika ia mengetuk satu rumah, wanita tua pemilik rumah yang sedang berada di dalam menanyakan pada anak perempuannya siapa yang datang. Anak itu menjawab, “Pemerah susu domba kita, Bu.” Ibunya bergegas keluar dan dengan malu ia memarahi anaknya, “Hai? bodoh, kenapa tidak kamu katakan ‘khalifah Rasulullah’!” Abu Bakar berkata, “Biarkan ia, sungguh ia telah memanggil saya dengan pekerjaan yang paling saya sukai pada Allah Swt.” Khalifah pertama ini pun langsung memerah susu domba keluarga tersebut, mengadon tepung, dan membuat roti bagi para janda-janda tua tersebut. Apakah diri kita merasa lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq. Nasihat lama mengatakan “Hormatilah orang lain jika dirimu ingin dihormati.” Secara manusiawi, manusia akan menghormati orang lain jika dirinya dihormati dan dihargai. Mereka yang menghormati orang lain menunjukkan bahwa dirinya memang layak dihormati. Kehormatan dibalas kehormatan, sementara kehinaan juga berbuah hal yang sama. Bagaimana kita dapat menghormati seseorang yang selalu melecehkan apalagi merendahkan derajat orang lain? Meski demikian agama mengajarkan kita bahwa tulus ikhlas harus menyertai pemberian penghormatan pada orang lain. Bukan karena mengharapkan balasan setimpal. Baik materi atau non-materi. Sahabat nabi, Sa’ad bin Waqqash radliyallahu ‘anhu memberikan contoh mulia. Meski ibunya membenci dan menyakitinya karena memeluk Islam, ia tetap menyayangi dan menghormati wanita itu. Bahkan rasa hormat itu tidak hilang meski Ibundanya mengancam anaknya dengan mogok makan. “Duhai Bunda, meski dirimu memiliki seratus lembar nyawa dan lepas dari dirimu satu demi satu, aku tidak akan kembali pada agama kita,” jawab Sa’ad dengan santun dan lembut pada ibunya yang menolak makan berhari-hari. Kebencian dan kekerasan yang dibalas dengan rasa hormat dan cinta. Penghormatan yang kita berikan pada orang lain juga harus berupa penghormatan yang tulus ikhlas, karena perintah Allah. Bukan karena mengharap balasan penghormatan dari orang lain. Rasa hormat yang diberikan tanpa keikhlasan adalah riya’ di hadapan Allah, dan disebut menjilat di hadapan manusia. [januar]
[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Juli 2002]