Thursday, 21 November 2024, 21:06

logo-gi-3 gaulislam edisi 140/tahun ke-3 (16 Rajab 1431 H/ 28 Juni 2010)

Kamu pasti pernah tahu kan gimana aksi-aksi suporter sepakbola dalam mendukung klub atau timnas pujaannya? Mereka bela-belain datang ke stadion jika klub pujaannya bertanding. Ada yang memang bayar masuk ke stadion untuk nonton, nggak sedikit juga yang cuma ngeramein jalanan aja karena nggak punya ongkos untuk beli tiket pertandingan. Para suporter ini nyaris memiliki semua atribut klub kebanggaannya: kaos, slayer, stiker, bendera, dan sejenisnya. Selain itu, mereka ada yang rela mati demi membela klub pujaannya dan juga rela melakukan kerusakan dalam melampiaskan kegembiraan (apalagi kekecewaan).

Rasanya masih membekas dalam ingatan ketika final Liga Indonesia tahun 1998. Saat itu, ribuan suporter Persebaya yang dikenal sebagai bonek, alias bodo dan nekat, eh, maksudnya bondo (modal) nekat, turun ke jalanan begitu timnya berhasil menggulingkan Persib Bandung. Toko-toko dijarah, puluhan mobil dibakar. Bahkan aparat keamanan pun kerepotan mengawal mereka sampe Stasiun Senen. Keberingasan belum selesai, kawasan sepanjang jalur kereta Jakarta-Cirebon dihujani batu oleh para suporter brutal ini. Gila!

BTW, artikel ini adalah sebagai pelengkap dari edisi 138 lho. Waktu itu saya menjanjikan akan menulis lanjutannya tentang sepakbola dan pembahasan yang dikaitkan dengan Islam. So, dengan demikian janji itu insya Allah udah terlunasi. Jadi kamu nggak nunggu-nunggu dan tuntas sudah rasa penasaran kamu dengan adanya gaulislam edisi 140 ini. Ok?

Bro en Sis, nuansa ashobiyah (bangga dengan kelompok atau kesukuannya) juga kentara kok dalam polah para suporter. Saya pernah baca di jalan ada anak Viking yang di kaosnya ada tulisan: “Aing Persib, Sia Naon?” Hehehe.. itu artinya “gue Persib, elu apa?” Nggak ketinggalan suatu ketika ada suporter Persija yang saya lihat di kaos bagian belakangnya tertulis: “Kuserahkan hidup-matiku hanya untuk Persija” Waduh!

Sekadar tahu aja, Persib Bandung punya suporter berjuluk Viking (nama suporter ini di Italia juga ada, yakni basis suporternya Intermilan, Juventus dan Lazio yang dijejali para ekstrim kanan alias kelompok fasis). Persebaya dengan boneknya. Laskar Jakabaring (Sriwijaya FC) punya suporter Sriwijayamania. Ada yang serem lho, suporternya PSMS Medan, yakni Kampak FC. Eh, julukan klub yang rada keren juga ada: Badai Pengunungan Selatan (sebutan untuk Persiwa Wamena), dan nama suporternya Persiwamania.

Mungkin kita yang tinggal di Jabodetabek dan Jabar lebih sering denger nama suporter seperti The Jakmania (Persija), Kabomania (Persikabo Bogor), dan Viking (Persib). Masih banyak sebenarnya yang lainnya. Banyaknya nama-nama suporter tentu seiring dengan banyaknya klub yang tumbuh subur setelah kompetisi menggunakan sistem liga yang dimulai pada 1994 yang waktu itu langsung dijuarai Persib Bandung. Sebelumnya, di era galatama dan perserikatan klub yang bertanding dikit banget. Maka suporter yang ada juga biasa-biasa saja. Meski tetap terasa nuansa dukungan mereka terhadap klub kebanggaannya.

Sepakbola dan kebanggaan kelompok

Sepakbola seperti ditakdirkan bukan sekadar olahraga. Di Jerman dan Perancis sepakbola adalah kebanggaan teritorial dan pesta. Kalo di Inggris lain lagi, sepakbola adalah ritual dan hiburan. Tak heran kalo di Old Trafford, stadion klub berjuluk Setan Merah, Manchester United sering dibentangkan spanduk dalam ukuran raksasa: Manchester United is My Religion, Old Trafford is My Church. Mungkin ritualnya di stadion karena agamanya adalah MU. Ckckckck…

Bagaimana dengan di Brazil? Hmm.. ternyata sepakbola adalah jalan hidup. Jutaan orang menggantungkan hidupnya kepada sepakbola untuk melepaskan jeratan kemiskinan yang parah di negara tersebut. Lihat saja, talenta-talenta keren mereka hampir semuanya sukses bersama klub-klub raksasa di daratan Eropa. Mulai dari jamannya Pele (Edson Arantes do Nascimento) sampe yang muda belia macam “Si Bebek” Alexander Pato yang main di AC Milan.

Oya, kalo kita mau jeli, ternyata di Spanyol dan Italia, sepakbola adalah politik. Real Madrid adalah klub dengan basis suporter fanatik yang dihuni para ultra kanan yang fasis. Sevilla adalah bentuk perwakilan rakyat Andalusia. Sementara Barcelona adalah bentuk perlawanan rakyat katalan (Katalunya) yang sering diidentikan dijajah Spanyol (diwakili klub Real Madrid). Perseteruan bukan hanya terjadi antara Real Madrid dan Barcelona, ternyata pemerintah Spanyol melakukan “devide et impera” dengan membiarkan tumbuh subur klub Espanyol yang merupakan rival sekota Barcelona. Suporternya? Tentu saja berpotensi saling memusuhi. Selain itu di daerah Basque yang didominasi basis politik kelompok perlawanan ETA (Euskadi ta Askatasuna: Tanah air Basque dan Merdeka) yang diduga kuat mendukung Athletic Bilbao, maka pemerintah Spanyol menghidupkan klub kedua sebagai penyeimbang atau oposisi, yakni Real Sociedad.

Bro en Sis, di Italia sendiri sudah tumbuh subur pertikaian politik dan kelompok-kelompok fasis. Mungkin itu udah dari sononya ya. Sebab, orang Italia kayaknya dari jaman dulu udah ‘hobi’ dengan persekutuan politik. Kamu mungkin pernah tahu mitosnya kisah Romus dan Romulus yang saling bunuh untuk merebut Roma. Maka, para tifosi (suporter) klub-klub di Italia secara sadar membawa atribut kesadaran politik ke dalam stadion. Bukan mustahil pada akhirnya bentrok fisik juga terjadi antar suporter. Terutama klub-klub yang basis suporternya sangat fanatik macam Juventus, Intermilan, AS Roma serta Lazio.Mereka rata-rata dihuni para Irriducibilli, suporter garis keras nan fasis bin rasis.

Suporter sepakbola Vs Suporter Islam

Kalo kamu sempat belajar psikologi, mungkin pernah dengar istilah konformitas. Nah, konformitas ini secara sederhana sering disebut kenyamanan (berada dalam sebuah kelompok). Supaya nggak bingung, saya kutipkan definisi konformitas menurut Brehm dan Kassin. Kedua orang ini mengatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan untuk mengubah persepsi, pendapat, perilaku seseorang sehingga konsisten dalam perilaku atau norma kelompok. Setiap seseorang yang masuk ke dalam suatu kelompok (termasuk kelompok pendukung sepakbola) memiliki kecenderungan untuk menyamakan presepsi, pendapat dan perilaku seseorang terhadap kelompoknya. Coba deh kamu lihat, nggak mungkin banget kan kalo ada suporter Viking tapi berhati Bonex. Begitu juga nggak mungkin ada Banaspati (suporternya Persijap) tapi berjiwa Pasoepati (suporternya Persis Solo). Itu artinya kalo kedua klub kebetulan bertanding, pasti suporternya masing-masing membela klub kebanggaannya. Intinya, menurut teori konformitas ini rasanya nggak mungkin ada individu kelompok yang berbeda dengan kelompoknya. Dalam level tertentu, meskipun ada individu yang berbeda tapi biasanya mereka ngikut pendapat kelompoknya karena khawatir ada celaan terhadapnya. Inilah yang juga terjadi dalam sepakbola. Melihat temannya jadi pendukung Maung Bandung, ikut-ikutan jadi bobotoh Viking. Nggak enak sama temannya yang mendukung Persija, rela juga jadi bagian The Jakmania. Kalo beda dianggap di luar kelompoknya. Jadi nggak nyaman kan hidupnya? Padahal mah, cuekkin aja lah. Tetapi nggak semua remaja begitu. Lebih banyak yang ikut-ikutan arus yang besar, meskipun itu salah. Musibah memang.

Bro en Sis, jika dalam sepakbola saja banyak orang rela menjadi pendukung setianya, maka seharusnya dalam Islam kita bisa menjadi bukan hanya pendukung tapi pembela dan pejuangnya. Perbedaan dukung mendukungnya hanya pada ideologi. Kalo para suporter sepakbola mungkin ada yang sekadar ikut-ikutan, ada yang memang menjadikan sepakbola sebagai muara emosi kesukuan dan kelompoknya, ada yang sebagai jalan hidup dan politik, maka para suporter Islam seharusnya menjadikan Islam sebagai pilihan hidup. Islam sebagai ideologi yang wajib diperjuangkan dan ditegakkan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan juga negara.

Saya dan kawan-kawan yang ngelola pengajian suka sedih banget ketika melihat banyak teman kita yang sampe bela-belain memenuhi stadion untuk mendukung klub pujaannya bertanding, sementara untuk memenuhi masjid dalam pengajian mereka nggak mau meski udah kita kasih undangan khusus. Miris deh.

Nggak abis pikir juga banyak kaum muslimin yang pelit ngeluarin zakat, infak dan shadaqah atau apapun yang berkaitan dengan kebaikan dalam Islam. Tetapi mereka jor-joran bin royal dalam membelanjakan uangnya untuk sepakbola: beli kaos, merchandise, tiket stadion dan lain-lain. Aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib.

Kalo suporter sepakbola banyak yang mengerahkan tenaga dan pikirannya serta kreativitasnya dalam mendukung tim-tim kebanggaannya, tentu sebagai mukmin sejati seharusnya kita lebih hebat lagi dalam menyumbangkan tenaga, pikiran, dan memunculkan kreativitas untuk kemajuan Islam di berbagai bidang: pendidikan, dakwah, sosial, budaya, teknologi dan sebagainya. Inilah seharusnya yang membuat kaum muslimin berbeda dengan umat lainnya. Kaum muslimin lebih merindukan kehidupan akhirat ketimbang hiasan dunia yang sifatnya fana.

Soal ibadah juga seharusnya seorang muslim pejuang Islam lebih memilih memperbanyaknya. Jangan sampe kalah dengan para bolamania. Kita patut menyayangkan energi yang digeber tanpa lelah oleh mereka yang gila bola. Demi melihat  aksi tim kesayangannya bertanding, tak bisa ke stadion maka di televisi pun tak jadi soal. Meski waktu mainnya di sini dinihari nggak jadi masalah. Shalat tahajud? Ah, mungkin mereka sudah lupa. Aneh ya? Padahal kekuatan Islam seharusnya lebih menggerakkan untuk beramal baik sebanyak mungkin. Ironi memang.

Bro en Sis, banyak remaja muslim yang lebih mengenal nama-nama pemain sepakbola dalam negeri maupun luar negeri ketimbang nama-nama sahabat nabi atau kisah hidup para nabi. Banyak pula yang sudah menjadi martir dalam kerusuhan antar suporter sepakbola. Mereka berani mati demi klub kebanggaannya. Tapi jarang yang secara umum terang-terangan mengatakan berani mati membela Islam sebagai agamanya. Mungkin saja ada, tapi saat ini jumlahnya tak sebanyak para suporter sepakbola.

Kalo para suporter Liverpool saja menyemangati tim kesayangannya saat bertanding, maka seharusnya pemuda Islam lebih bersemangat lagi dalam berjuang membela Islam. Kita kenal, para Liverpudlian, suporternya Liverpool sering menyemangati tim kesayangannya dengan menyanyikan: “Walk on… Walk on… with hope in your heart… and you’ll never walk alone… Berjalanlah…berjalanlah dengan harapan di hatimu… dan kau takkan pernah berjalan sendirian…”

You’ll Never Walk Alone adalah lagu karya klasik Rogers dan Hammerstein, untuk penghias drama musikal Carousel. Gerry Marsden and The Pacemakers menyanyikan lagu ini di klub-klub yang bertebaran di kota Liverpool sejak 1963.

Mungkin, tak ada salahnya jika para remaja muslim menyanyikan nasyid untuk menyemangati dakwah. Misalnya lagunya Izatul Islam yang liriknya kayak gini: “Barisan mujahid melangkah ke depan/ Tanpa rasa takut menghalau rintangan/ Cahya Islam kan selamanya memancar/ Dengan darah kami sebagai pembakar”. Tetep semangat berjuang sampai akhir hayat. Ehm, kalo dalam bahasanya White Lion sih: Till Death Do Us Part. Huhuy!

Bro en Sis, padahal kalo dipikir-pikir para suporter itu nggak dibayar lho untuk melakukan berbagai cara dalam mendukung klub kebanggaannya. Tapi segala cara dilakukan demi klub pujaannya. Yel-yel yang banyak terdengar di antara para suporter di ISL (Indonesia Super League) aja lebih mengarah kepada tindakan rasis dan pelecehan satu terhadap yang lainnya. Tak perlulah ditulis di sini sebagai contohnya karena sangat tidak etis—termasuk nama-nama binatang kerap dikumandangkan untuk melecehkan suporter lawan.

Apalagi saat ini, Piala Dunia 2010 tengah digelar dan mencapai babak perdelapan final, di mana klub-klub unggulan sudah ada yang lolos ke babak perempat final. Pastinya emosi para suporter makin diaduk-aduk karena tangga juara sebentar lagi diraih. Jerman, Argentina, Ghana, Uruguay adalah tim yang sudah lebih dulu menembus babak perempat final dengan mengalahkan lawannya masing-masing. Kita lihat saja nanti apa yang akan dilakukan para suporter ketika tim pujaan mereka saling ‘membunuh’ untuk menjadi juara.

Sekadar renungan

Bagi kita, kaum muslimin, pembelaan tertinggi kita adalah untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin atas landasan keimanan kepada Allah Swt. dan RasulNya. Sementara para suporter fanatik klub sepakbola, lebih mengarah kepada loyalitas semu dan konyol. Padahal, menurut Sayyid Quthb, kita mati karena membela negara yang nggak ada urusan dengan iman saja bisa dikatakan mati bukan di jalan Allah Swt., apalagi sekadar urusan sepakbola.

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud)

Syaikh Safiyurrahman al Mubarakfuri dalam kitab al-Ahzab as-Siyasiyyah fil Islam mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya): “Barangsiapa berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, matinya seperti jahiliyah.” (HR Muslim)

Bro en Sis, jika “judulnya” sama-sama mendukung sesuatu dengan totalitas dan nggak dibayar, alangkah lebih eloknya bila kita membela Islam. Menjadi suporter sepakbola itu nggak dibayar, sukarela dan bahkan mengeluarkan banyak duit, tenaga dan pikiran. Iya kan? Membela Islam juga sama, tidak dibayar. Tenaga, pikiran dan harta kita rela dikeluarkan. Tetapi yang berbeda adalah nilainya dan rasa perjuangannya. Jika para suporternya menjadikan sepakbola sebagai muara emosi dan jalan hidupnya, maka sebagai pejuang Islam kita jadikan Islam sebagai muara emosi dan jalan perjuangan. Para suporter sepakbola mungkin saja akan mati “fi sabili bola”, tapi pejuang Islam insya Allah mati “fi sabilillah”. Itulah bedanya.

Ok deh kayaknya pengen terus nulis nih kalo nggak dihentikan oleh deadline dan batasan panjang halaman. Semoga gaulislam edisi ini bisa bermanfaat buat kita semua. Semoga kita tetap menjadikan Islam sebagai jalan hidup kita. Bukan yang lain. Islam sebagai ideologi kita. Cukuplah sepakbola sebagai hiburan, itupun jangan berlebihan dan sekadar ditonton pertandingannya di televisi saja. Kalo mau main dengan kawan-kawan, mainlah seperlunya saja bukan sebagai profesi atau maniak. Sebab, yang layak dijadikan jalan hidup hanyalah Islam. Sekali lagi: ISLAM. Tetap semangat! [solihin: osolihin@gaulislam.com]