gaulislam edisi 779/tahun ke-15 (29 Shafar 1444 H/ 26 September 2022)
Tak mudah untuk berbuat ikhlas. Sebab, ini perkara hati. Namun, bisa dilihat dari perilaku walau tak selalu gampang. Maksudnya, kita nggak bisa menilai dengan tepat apakah seseorang sudah ikhlas melakukan suatu amalan atau belum. Kita hanya bisa berharap bahwa amalan yang dilakukannya memang dikerjakan dengan ikhas. Niatnya ada, perbuatannya juga kudu nyata.
Nah, dalam upaya mewujudkan niat inilah perlu kita eksplor untuk mengetahui dan mewujudkan keikhlasan kita dalam tindakan nyata. Bener, lho. Secara teori insya Allah keliatannya gampang. Tapi secara praktik belum tentu bikin kamu mudah melaksanakannya. Meski demikian, asal ada niat yang benar, baik, dan kuat insya Allah bisa kita wujudkan dalam tindakan nyata kok. Insya Allah bisa asal kita mau untuk berusaha melakukannya.
Cuma ucapan di bibir saja memang belum meyakinkan. Berarti emang kudu divisualisasikan dalam bentuk perbuatan. Kita malu dong sebagai orang yang dianggap baik di hadapan banyak orang tapi kelakuannya bertolak belakang dengan apa yang kita lakukan. Lain di bibir lain di perbuatan. Allah bahkan menyindir perilaku manusia yang nggak konek antara ucapan dan perbuatan. Banyak orang bisa aja berkoar-koar untuk meminta orang lain berbuat baik sesuai tuntunan agama, tapi mereka lupa bahwa dirinya justru melakukan perbuatan yang dilarang agama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri.” (QS al-Baqarah [2]: 44)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas adalah tentang kaum Yahudi Madinah yang pada waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang telah masuk agama Islam: “Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar.” Ia menyuruh orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya (tidak masuk Islam). Ayat ini sebagai peringatan kepada orang yang melakukan perbuatan seperti itu. (Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan ats-Tsa’labi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti seorang lelaki dilemparkan ke dalam neraka, lalu seluruh isi perutnya keluar, kemudian ia berputar membawa isi perutnya itu seperti seekor keledai memutari penggilingan. Lalu penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya: Hai Fulan, kanapa kamu disiksa seperti ini, bukankah kamu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran? Ia jawab: Benar, aku dahulu menyeru kepada kebaikan, tetapi aku tidak melakukannya dan mencegah kemungkaran namun aku tetap menjalankannya.” (Shahih Muslim No. 5305)
Nah, kita harus ati-ati, lho. Kalo kita udah paham tentang Islam, kemudian kita menyampaikan kepada orang lain supaya tetap istiqomah dalam ajaran Islam, tapi kita sendiri malah meninggalkan beberapa ajaran Islam (nggak dilaksanakan), itu namanya aneh bin ajaib. Berarti kena ‘sindir’ juga dengan ayat tersebut di atas. So, kita berusaha untuk tetap satu pikiran, satu perasaan dalam berbuat amal baik. Jangan sampe lain di bibir lain pula yang ditunjukkan dalam perbuatan. Ih, nggak banget deh!
Semoga kita terhindar dari sikap seperti itu. Semoga kita dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk mewujudkan semua kebaikan dengan mudah. Apa yang kita pahami dari kebenaran Islam, itulah yang kita perbuat sebagai bentuk manifestasi alias perwujudan komitmen kita melaksanakan pendapat dan keyakinan kita tersebut. Termasuk dalam keikhlasan ini. Perlu diuji dalam tindakan nyata. Salah satunya, ikhlas dalam berbagi apa yang kita miliki.
Nggak pelit ngasih ilmu
Imam Syafi‘i pernah menyampaikan, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui penyebarnya….”. Wah, keren banget tuh. Kalo kita sih kadang pengennya disebut sebagai orang yang berjasa. Duh, jadi malu banget ya. Semoga kita semua bisa memperbaiki keikhlasan kita. Sayang banget kan kalo nggak ikhlas?
Sobat gaulislam, ilmu itu harus disebarkan. Kita punya kewajiban untuk menyebarkan ilmu agar orang lain juga mengetahui dan paham berbagai banyak hal. Mereka punya hak untuk mendapatkan kebenaran. Oya, di sini ngasih ilmu nggak termasuk yang ngasih contekan saat ujian, ya. Itu mah sama dengan ‘membunuh’ mereka karena semakin menumbuhkan sikap malas dalam dirinya untuk berusaha sebaik mungkin dalam belajar. Beda ya. Maksud ngasih ilmu di sini adalah memberikan manfaat dari ilmu yang kita punya dengan cara mengajarkannya kepada yang belum tahu.
Kamu yang kebetulan punya keahlian karate, bolehlah teman-teman kamu di OSIS dan Rohis untuk diajak berlatih dan diajari. Nggak usah ngarepin imbalan dalam bentuk materi atau ketenaran. Itu hanya sesaat. Tapi kita niatkan untuk membantu mereka dalam mengharap keridhoan Allah Ta’ala atas apa yang kita lakukan. Insya Allah ada ganjaran dalam bentuk lain. Maka, nggak pelit ngasih ilmu kepada orang lain atau teman lain, insya Allah bagian dari ikhlas kita.
Memang ada anggapan bahwa kalo kita ngasih ilmu kepada orang lain, nanti kita bakalan disaingi sama orang tersebut yang udah belajar sama kita. Duh, kok pikiran kayak gitu bisa mampir di otakmu sih? Nggak, lah. Kalo pun mereka kemudian lebih baik dari kita setelah kita ajarkan, justru kita seharusnya bersyukur karena bisa memberikan yang terbaik buat orang lain. Kita seharusnya bahagia karena bisa membantu mereka untuk maju dan menemukan dunianya. Insya Allah pahala mah akan mengalir dalam bentuk kebaikan yang lain bagi kita. Yakin itu.
Oya, kalo pun kemudian teman kamu ngasih sesuatu atas apa yang kamu berikan kepada mereka dalam rangka berbagi ilmu itu, ya anggap saja sebagai bentuk penghargaan mereka kepada kamu yang telah mengajarkan ilmu kepada mereka. Keterampilan yang kita miliki berarti ada manfaatnya buat mereka. Tapi ingat kembali ya, tujuan kita bukan mencari “sesuatu” yang bernilai materi tersebut, tetapi keridhoan Allah Ta’ala yang kita harapkan atas amal baik yang kita lakukan. Imbalan dalam bentuk materi hanyalah efek samping aja.
Meski demikian, bukan berarti kamu nggak boleh memasang harga atas keterampilan yang kamu miliki ketika mengajarkan kepada orang lain. Dan, bukan berarti pula dengan memasang tarif kamu dibilang nggak ikhlas sama teman kamu, atau kamu sendiri menghukumi diri sendiri sebagai orang yang merasa nggak ikhlas karena telah mengenakan tarif. Nggak. Itu beda, Bro. Namun tentu saja kita nggak usahlah memasang tarif yang “gila-gilaan” yang kayaknya nggak bisa dijangkau oleh kalangan tertentu. Jangan pula menghambat orang lain untuk bisa.
Oya, soal bolehnya memasang tarif untuk suatu keterampilan atau keahlian yang kamu ajarkan kepada orang lain memang dibolehkan. Seperti misalnya mengajarkan al-Quran (baca tulis dan sejenisnya), olah raga seperti pencak silat; karate; dan sejenisnya, mengajarkan keterampilan menulis; berpidato; dan sejenisnya serta keterampilan lainnya.
Namun untuk dakwah, nggak boleh lho kita masang tarif tertentu. Karena dakwah adalah kewajiban kita sebagai muslim. Kalo pun kemudian jalan untuk dakwah itu dimudahkan oleh Allah dengan cara orang lain mengundang kita untuk berceramah di tempat mereka, ya kita jalanin aja. Bila kemudian kita dikasih amplop (tentu beserta isinya, entah uang cash atau mungkin cek), boleh kita terima. Mubah. Kalo pun kita nggak mau nerima bisa kita balikkin lagi. Misalnya karena kita nggak ngarepin dari situ. Tapi sebagai bentuk menghargai orang yang ngundang kita dalam berbagi ilmu dalam aktivitas dakwah, ya kita bisa ambil. Insya Allah halal. Tapi, ingat kembali, ya. Tujuan kita berdakwah dengan niat ikhlas untuk ngarepin keridhoan Allah Ta’ala. Bukan nyari duit. Kalo pun kemudian dapat uang dari berbagi ilmu dalam dakwah, itu hanya efek samping (dan insya Allah itu rezeki yang Allah berikan kepada kita melalui jalan tersebut).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirimkan pasukan terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, tapi tak seorang pun menjamu mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Sa’id al-Khudhri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayarnya dengan tiga puluh ekor kambing. Ia membacakan Surah al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abu Sa’id membawa kambing-kambing itu, para sahabat lain menolaknya. “Engkau menerima upah dari membaca Kitab Allah?” tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi yang mulia. “Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca Kitab Allah,” sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain; lihat Tafsir ad-Durr al-Mantsur)
Sobat gaulislam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebut Abu Sa’id al-Khudhri menjual ayat-ayat Allah. Ia bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam al-Quran, orang yang menyebarkan ajaran Islam termasuk “fi sabilillah” dan berhak mendapat bagian dari zakat, walaupun ia kaya-raya. Ketika mubaligh menerima upah atau zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala kebaikannya itu dan pahala orang yang mengerjakan kebaikan itu sesudahnya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun.” (HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)
Yuk ah, kita wujudkan ikhlas kita dengan cara nggak pelit ngasih ilmu. Bagikan ilmu kita kepada yang lain, melalui tulisan, berceramah, mengajarkan baca tulis al-Quran, mengajarkan keahlian dalam ilmu bela diri, mengajarkan keterampilan yang berkaitan dengan teknologi informasi dan lain sebagainya. Jangan dipendam melulu ilmunya cuma buat kita. Nggak asik. Karena nggak nyebar tuh ilmunya. Nggak usah mikirin kalo kita ngajarin ilmu ke orang nanti orang tersebut lebih baik dari kita, nanti orang tersebut malah mengambil jatah rezeki kita. Duh, pikiran kayak gitu nggak baik, Bro. Allah Ta’ala yang ngasih rezeki buat kita, bukan karena pekerjaan yang kita lakukan. Oke, setuju kan?
Nasihat penting
Sebelum mengakhiri tulisan ini, kita coba mengenang jasa Syaikh Yusuf al-Qaradlawy (yang wafat hari ini, Senin 26 September 2022 dalam usia 96 tahun—atau 99 tahun berdasarkan penanggalan hijriah), dan ini juga ada kaitannya dengan ilmu dan keikhlasan, saya kutip tulisan Ustaz Salim A. Fillah di akun instagramnya:
Syaikh Yusuf al-Qaradlawy telah memijakkan tapak-tapak teladan untuk kita titi melanjutkan baktinya. Tentang tanggungjawab para ahli ilmu dan pembelajar, bertahun lalu beliau pernah menyampaikan taujih yang dahsyat. Inilah ketujuh hal tersebut:
Pertama, seorang ‘Alim -dan muta’allim- bertanggung jawab dalam memelihara dan menjaga ilmu, agar ianya tetap ada dan tak hilang ditelan masa. Kedua, seorang ‘Alim -dan muta’allim- bertanggung jawab dalam hal memperdalam, menggali, meneliti, dan meraih hakikat kebenarannya, agar kian meningkat dan bertambah nilainya. Ketiga, seorang ‘Alim -dan muta’allim- bertanggung jawab dalam beramal dengannya, agar ilmu itu menghasilkan buah termanisnya.
Keempat, seorang ‘Alim -dan muta’allim bertanggung jawab mengajarkannya pada penuntut ilmu, agar ilmu itu menjadi bersih dan suci (terbayar zakatnya). Kelima, seorang ‘Alim -dan muta’allim- bertanggung jawab dalam menyebarkan dan mensyiarkannya agar manfaat ilmu itu semakin luas merata. Keenam, seorang ‘Alim -dan muta’allim bertanggung jawab menyiapkan pelanjut yang akan mewarisi dan memikulnya agar mata rantai ilmu terus bersambung tanpa putus. Ketujuh, dan sebelum itu semua, terutama sekali; ‘Alim -dan muta’allim- bertanggung jawab untuk ikhlas dalam ilmunya karena Allah semata, agar diterima oleh-Nya sebagai pengabdian darinya.
Jadi, sudah siap berbagi, terutama berbagi ilmu, kan? Tentu dengan ikhlas, ya. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]