gaulislam edisi 357/tahun ke-7 (29 Syawal 1435 H/ 25 Agustus 2014)
Sobat gaulislam, alhamdulillah kita ketemuan lagi. Nggak terasa ya, Ramadhan sudah kita lewati, bulan Syawal juga sudah berada di penghujung bulan. Tepat pada terbitnya gaulislam edisi 357 ini adalah hari Senin, 25 Agustus 2014 (29 Syawal 1435 H). Terasa begitu cepat. Hitungan bulan masehi sudah di akhir bulan ke-8, sementara menurut hitungan hijriah, bulan Syawal adalah bulan yang ke-10. Itu artinya, 2 bulan lagi (yakni bulan Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) sudah akan memasuki bulan Muharram tahun 1436 H. Semoga seiring dengan terus bergulirnya sang waktu, pastikan kita memanfaatkannya untuk kebaikan. Semoga ya.
Oya, ngomongin soal kebaikan dan juga pemanfaatan waktu, menurut saya sih ada kaitannya juga dengan ilmu lho. Iya. Kalo kita tahu ilmunya, maka memanfaatkan waktu itu menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Gimana pun juga, jatah hidup kita sebenarnya makin berkurang dari yang sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Maka, berlombalah dalam kebaikan mengumpulkan amal shalih. Alangkah indahnya jika kita tahu bahwa waktu amat berharga maka kita akan berupaya memanfaatkannya untuk belajar dan beramal shalih.
Nah, di sinilah kita sepatutnya paham bahwa dunia adalah ladang amal shalih kita. Betapa ruginya jika ternyata kita tidak beramal shalih, atau amal shalih yang sudah dilakukan menjadi sia-sia gegara nggak tahu ilmunya saat dikerjakana. Aduh, rugi bingit!
Keutamaan ilmu
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Allah Ta’ala memberikan keutamaan lho kepada orang yang kuat dan tinggi ilmunya. Dalam al-Quran Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Subhanallah. Penghargaan yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(QS al-Mujaadilah [58]: 11)
Bro, kata “yarfa’illaahu” (“Allah meninggikan”), ini memiliki makna, Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
Pengertian ‘utul ilma (“orang-orang yang diberi ilmu”), yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i (agama, syariat Islam). Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan RasulNya. Tuh, catet ya!
Kemudian makna “darojat” (“Beberapa derajat”), menurut Imam al-Qurthubi rahimahullah: yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka (mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki, Allah Ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari kaum mukminin di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.”
Beliau kemudian menukilkan beberapa perkataan ulama, di antaranya Qatadah rahimahullah: “Sesungguhnya dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir ath-Thabari, juz 28 hlm.19)
Imam Syafi’i menyampaikan, “Man aroodaddunya fa’alaihi bi ’ilmi, wa wan aroodalaakhirot fa’alaihi bi ’ilmi wa man arooda humaa fa’alaihi bi ‘ilmi.” Artinya : “Barangsiapa yang ingin sukses di dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang ingin sukses di akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin sukses pada keduanya (dunia dan akhirat) maka hendaklah dengan ilmu (pula)” .
Islam memotivasi umatnya agar mencari ilmu untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia (Allah) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS al-‘Alaq [96]: 1-5)
Allah Ta’ala menurunkan semua ilmu yang ada di dunia ini. Sayangnya, banyak orang yang tak bersemangat untuk mencarinya. Padahal, jelas ada perbedaan yang amat signifikan antara orang yang berilmu (yang mengetahui sebuah ilmu) dengan yang tak berilmu (tak memiliki pengetahuan seputuar keilmuan di bidang tertentu). Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar [39]: 9)
Belajar dari para ulama
Sobat gaulislam, tentu kamu amat megenal nama Imam Syafi’i. Yup, ini kisah beliau tentang semangat mencari ilmu yang saya dapatkan di website muslim.or.id. Abu Hatim berkata, saya mendengar al-Muzani mengatakan, Imam asy-Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “Bagaimana kerakusan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan hartanya” Ditanya lagi, “bagaimana Anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia” (Tawaalit Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar al-Asqalani, 106)
Oya, perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i sejak kecil sudah yatim. Tentu saja ada keterbatasan dalam mendapatkan kesempatan belajar. Namun, semangatnya tetap membara untuk mencari ilmu. Imam Syafi’i berkata, “Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98)
Kritikan dan kadang ucapan tak menyenangkan bisa membuat orang mau belajar. Itu jika dia berpikir positif. Nah, ini dia, saya menemukan kisah inspiratif buat kamu. Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) pada awalnya tidak berminat menekuni ilmu fikih. Sampai suatu hari ketika ia berusia 26 tahun, beliau memasuki masjid dan langsung duduk (tidak melakukan shalat tahiyatul masjid). Tiba-tiba ada seorang lelaki berkata kepadanya, “Berdirilah dan lakukan shalat sunnah tahiyatul masjid!” Ibnu Hazm pun langsung berdiri dan melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
Di lain waktu, ketika Ibnu Hazm masuk masjid dan langsung shalat tahiyatul masjid, tiba-tiba ada orang yang mencelanya dan berkata, “Duduk, duduk! Ini waktu terlarang untuk shalat! (ketika itu bakda Ashar).”
Ibnu Hazm berkata: “Maka saya pun pergi dan sangat sedih–pada sebagian riwayat dikatakan ia merasa terhina—lalu saya meminta kepada seseorang agar menunjukkan rumah seorang ahli fikih bernama Abi Abdillah bin Dahun. Setelah saya menjumpainya dan menceritakan apa yang menimpa saya, beliau kemudian menyuruh untuk mengkaji kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Saya mulai mempelajari kitab itu selama 3 tahun hingga saya dapat berdiskusi dalam masalah keilmuan.” (Siyar A’lam an-Nubala’: 18/199, adz-Dzahabi)
Seorang ulama yang bernama Khalid bin Abdullah al-Azhari (wafat 905 H) awalnya adalah seorang yang bertugas menyalakan lampu di masjid Jami’ al-Azhari. Beliau sehari-hari bekerja menuangkan minyak dan menyalakan lampu agar dapat menerangi para pelajar yang belajar di malam hari.
Pada suatu hari, tatkala ia menuangkan minyak ke lampu, tiba-tiba lampu itu jatuh dan menimpa kursi salah seorang pelajar, dan tumpahan minyak mengenai buku-buku pelajar tersebut. Pelajar itu kontan marah dan mengejek Khalid dengan perkataan yang kasar.
Ejekan tersebut membekas di hatinya, sehingga mulailah ia menyibukkan dirinya dengan mempelajari ilmu, walau usianya ketika itu sudah 36 tahun. Dengan kesungguhannya, Khalid bin Abdullah al-Azhari menjadi ulama terkenal terutama di bidang nahwu. Di antara karyanya adalah Syarah al-Ajrumiyah, at-Tashrih fi Syarhi Awadhahi al-Masalik, al-Alghaz an-Nahwiyah, dan sebagainya. (Hamdan Hamud al-Hajari, Agar Anak Mudah Menghafal al-Quran, hlm. 64)
Sobat gaulislam, masih banyak kisah yang bisa menginspirasi dan memotivasi kita dalam belajar. Kamu bisa cari tahu di banyak buku dan juga website yang berkaitan dengan keilmuan. Semoga kamu dan kita semua bisa belajar dari kesungguhan para ulama dalam mencari ilmu dan ketika berhasil mendapatkannya, tak segan untuk membagikannya kepada kaum muslimin yang lain. Ilmu itu adalah cahaya dan ia bisa menerangi pemiliknya ketika beramal shalih, agar amal yang dilakukannya sesuai tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Semangat! [solihin | Twitter @osolihin]