gaulislam edisi 494/tahun ke-10 (13 Rajab 1438 H/ 10 April 2017)
Sobat gaulislam, di zaman ini, kamu mungkin sudah nggak asing lagi dengan kata ‘radikal’. Lalu, manakala disebutkan kata ini, mungkin di dalam tempurung kepala kamu akan segera tayang tentang gambaran kejadian-kejadian kejam dan mengerikan. Gambaran tentang ledakan-ledakan maut di fasilitas-fasilitas umum. Tentang berbagai jenis bom, mulai bom yang terbuat dari bahan-bahan serius, hingga yang terbuat dari bahan-bahan yang nggak masuk di akal, semisal bom panci, bom rice cooker, dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, kamu pasti membayangkan, bahwa pembawa atau eksekutor bom ini pastilah seorang muslim yang taat, jenggotan, pecian, celananya ngatung, dan lain sebagainya.
Ini mengerikan. Jika gambaran-gambaran itu sudah nangkring di kepalamu, waspadalah, karena sebenarnya, inilah yang diinginkan musuh-musuh Islam. Mereka, musuh-musuh Islam ini, dengan kekuatan dana, lobi, dan media yang mereka punya, selama ini memang berusaha untuk membuat jelek nama Islam dan kaum muslimin. Istilah ngepopnya, melakukan pembunuhan karakter. Tujuannya adalah, supaya orang-orang ngeri melihat Islam. Takut untuk menjadi seorang muslim yang taat, karena mereka yang taat pasti dicap radikal, teroris, fundamentalis, dan istilah-istilah menakutkan lainnya.
Padahal Islam nggak seperti itu, Bro en Sis. Oke, boleh jadi memang ada muslim yang melakukan teror atas nama Islam di tengah-tengah masyarakat. Tapi ingat, itu nggak berarti Islam memang begitu dan semua kaum muslimin juga begitu semua. Jika ada seorang muslim ngebom fasilitas umum, tentu Islam nggak mengajarkan demikian. Pun belum tentu, bahwa seluruh kaum muslimin seperti itu semua. Jadi, jangan digeneralisir.
Mari kita melihat sebuah perumpamaan. Misalnya, kamu menjumpai sebatang pohon apel lebat buahnya. Kamu petik satu buah dan kamu makan. Ternyata eh ternyata, apel yang kamu makan kebetulan busuk, banyak ulatnya. Sebesar apa pun kekecewaan yang dirasakan, kamu nggak boleh mencak-mencak, bilang bahwa seluruh buah apel di pohon tersebut busuk semua. Itu sebuah tuduhan yang keji dan nggak bisa dipertanggungjawabkan. Serius!
Jadi, kembali lagi, nggak bisa seluruh umat Islam dicap tukang bom semua hanya gara-gara beberapa muslim melakukan pemboman di tempat umum. Lagi pula, ajaran Islam yang mana yang membolehkan ngebom tempat umum? Di mana yang menjadi korban adalah mereka yang tak tahu apa-apa, ibu-ibu, anak-anak, yang bahkan mereka adalah saudara sesama muslim. Padahal, sungguh, ketika berperang pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang pasukan kaum muslimin melakukan kerusakan terhadap sesuatu yang nggak ada hubungannya dengan perang. Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum. Bahkan, merusak tanaman pun nggak boleh. Mereka yang nggak ikut berperang, wanita dan anak-anak, nggak boleh disiksa. Apalagi dibunuh.
Agenda terselubung
Sobat gaulislam, lalu mengapa masih ada saja muslim yang ngawur, ngebom sana-sini tanpa mempedulikan siapa yang bakal terbunuh atau setidaknya dirugikan atas aksinya itu? Kemungkinan penyebabnya ada dua.
Pertama, ada pihak-pihak yang sengaja memprovokasi mereka. Provokasi ini biasanya menyasar mereka yang semangat berislamnya begitu tinggi, namun nggak diikuti dengan pasokan ilmu yang mumpuni. Ini biasanya terjadi pada kawula muda. Di mana semangat anak muda biasanya dikenal berapi-api, namun minim pertimbangan rasional yang mengacu pada pengetahuan yang benar. Maka dengam sedikit provokasi, bahwa dengan melakukan bom bunuh diri di tempat umum, akan masuk surga dengan cepat, sudah cukup untuk membuat mereka menjadi eksekutor bom bunuh diri. Tak lama setelah itu, wajah Islam pun tercoreng akibat ulah yang bersangkutan.Apalagi agenda pemburukkan citra Islam dilanjut dengan skenario murahan dari aparat berwenang dalam drama lebay yang membodohi masyarakat.
Kedua, karena adanya kesalahan dalam memahami ajaran Islam. Hal ini biasanya juga terjadi akibat belajar sendiri, tanpa guru. Atau kalaupun ada guru, pemahaman sang guru terhadap ajaran Islam juga salah.
Itu sebabnya, memiliki semangat yang besar untuk mengamalkan Islam, harus pula dibarengi dengan semangat belajar Islam yang kuat pula. Oya, jangan lupa pula, jangan asal pilih guru. Jangan mudah tertipu dengan penampilan, tapi selamilah, sejauh mana pemahaman guru itu terhadap Islam. Apakah sesuai dengan jalan Islam yang lurus atau tidak.
Luangkanlah waktu untuk ngaji. Ngaji di sini nggak melulu membaca al-Quran, melainkan menggali ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya melalui pengajian yang biasanya diadakan di masjid-masjid atau mushalla. Di mana pengajian itu merupakan pengajian yang diisi oleh para ulama yang sudah dikenal luas keilmuannya.
Bagaimana kalo nggak sempat ngaji? Ah, kalo bener-bener nggak sempat, sepertinya nggak masuk akal. Lha wong makan saja, sesibuk apa pun kita, pasti disempetin, kan? Kenapa? Karena kalo nggak makan, pasti badan kita jadi nggak bertenaga, sering sakit-sakitan, bahkan bisa mati.
Sama halnya dengan makan. Sesibuk apa pun, ngaji kudu tetep jalan. Kenapa? Seperti halnya makan, ia sudah menjadi suatu kebutuhan. Yang namanya kebutuhan, mau tidak mau, memang kudu dipenuhi. Ya nggak? #seriusnanya
Karena bagaimana pun, Bro en Sis rahimakumullah, raga memang butuh makanan, tapi jiwa pun demikian. Makanan bagi raga bisa nasi, singkong, buah-buahan. Tapi makanan buat jiwa, jelas, ia adalah ilmu.
Ilmu juga ibarat lentera di tengah gelap gulita. Menuntun kita ke jalan yang benar. Bayangkan saja kalo beragama tanpa ilmu, semuanya jadi semau gue. Contoh gampangnya saja, jumlah rakaat shalat. Jika kita tak ada ilmu tentangnya, boleh jadi kita ngawur. Subuh jadi empat rakaat, Duhur jadi dua rakaat. Kan lucu. Lebih dari sekadar lucu, amalan shalatnya sudah barang tentu nggak diterima sama Allah Ta’ala, dan bahkan berdosa.
Makanya, amal tanpa ilmu itu buta, sedangkan ilmu tanpa amal itu ibarat pohon tanpa buah. Nggak ada artinya, kosong manfaat.
Sama halnya dengan ngebom tempat umum sembarangan. Itu lebih kepada amal tanpa ilmu. Bayangkan bagaimana jadinya jika ada seorang muslim ikut terbunuh dalam aksi itu? Padahal, membunuh seorang muslim tanpa alasan yang jelas adalah dosa besar.
Oke lah misalnya yang jadi sasaran adalah kaum kafir. Tapi masih harus diingat Sobat, nggak semua kafir itu sama. Ada kafir harbi, juga ada kafir dzimmi. Sasaran tembak kita kaum muslimin adalah kafir harbi, alias kafir yang nyata-nyata jahat sama Islam dan kaum muslimin. Sedangkan kafir dzimmi, yakni kafir yang baik sama kaum muslimin, menyakitinya saja nggak boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang hal itu. Tapi khusus kafir dzimmi ini hanya ada dalam pemerintahan Islam, dalam khilafah Islamiyah. Mereka udah terikat perjanjian untuk taat dan tunduk dalam aturan Islam. Kalo sekarang? Istilah kafir dzimmi nggak ada. Cuma ada kafir yang tidak beriman, eh, kafir yang baik secara pribadi aja. Sebab, kalo melihat di pilkada DKI saja, mereka yang kafir mayoritas dukung Ahok, kok, yang udah jelas-jelas menista al-Quran. Lalu piye? Ya, biarkan saja. Kecuali nyata-nyata memusuhi Islam dan kaum muslimin. Itu sih: ikan bawal ikan teri, ente jual ane beli. Siap bersabung!
Ilmu dan amal
Nah Sobat gaulislam, kalo kita sudah tahu ilmunya, hati kita akan mantap ketika melakukan suatu amal. Kita yakin 100% bahwa amalan yang kita lakukan itu akan mendatangkan ridha Allah Ta’ala, melapangkan jalan kita menuju surga-Nya.
Pun jika kita sudah tahu ilmunya, kita akan dengan mudah menepis paham-paham nggak jelas, juga opini buruk yang senantiasa menyudutkan Islam dan kaum mislimin.
Kita, misalnya, akan bisa menjelaskan pada dunia bahwa sebenarnya, nggak ada yang salah dengan kata ‘radikal’ itu sendiri. Coba saja lihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti dari kata radikal. Di sana disebutkan, bahwa radikal, berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Bisa juga berarti, maju dalam berpikir atau bertindak.
Ini berarti, orang yang melaksanakan Islam secara mendasar, atau sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam, bisa dibilang muslim radikal, dong? Jawabannya, boleh jadi iya.
Hanya saja, media massa di zaman ini sudah memelintir kata radikal menjadi sesuatu yang menakutkan. Efeknya, mereka yang memiliki semangat untuk berislam secara kaffah, jadi takut duluan. Nggak berani lagi dekat-dekat ulama dan orang-orang shalih, karena takut disebut radikal. Punya teman orang shalih pun juga jadi nggak pede karena takut dikatain berteman sama orang radikal. Hmmm…
Maka yang perlu disadari adalah, radikal nggak sama dengan teror. Berislam memang harus radikal, dalam artian harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Jika keberislaman kita sudah radikal, maka insya Allah, keberislaman kita akan jauh dari menebar teror, alias ketakutan di tengah masyarakat. Keberislaman kita justru akan memberikan manfaat dunia akhirat, sebagaimana sifat Islam itu sendiri, yakni rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Mari sedikit kita napak tilas perjalanan peradaban Islam di masa lalu. Nggak ada ceritanya pasukan kaum muslimin membakar pasar, atau merusak rumah-rumah penduduk. Nggak ada. Ketika pasukan kaum muslimin menguasai satu wilayah, nggak ada ceritanya pembantaian warga di wilayah itu oleh pasukan kaum muslimin. Nggak seperti pasukan penjajah Belanda. Pasukan kaum muslimin pun membaur dengan masyarakat. Mengajarkan mereka tentang indahnya ajaran Islam yang mulia.
Sekali lagi, bukan rumah penduduk yang dihancurkan. Bukan pasar yang dibumihanguskan. Jika pun harus berperang, sasaran pasukan kaum mislimin adalah tentara musuh. Bangunan yang mereka targetkan adalah benteng-benteng musuh.
Jadi jika saat ini ada yang ngebom mal, hotel, atau bahkan ngebom masjid, itu sebenarnya sudah keterlaluan. Masak ada muslim ngebom masjid, itu kan benar-benar sudah nggak masuk akal. Kalo ingin jihad yang benar-benar jempolan, tiru saja misalnya mujahid di Palestina. Mereka begitu gagah berani, menghadapi tank-tank Israel dengan senjata seadanya. Subhanallah. Luar biasa. Kamu berani? #nanyaserius [Farid Ab | Twitter @badiraf]