gaulislam edisi 734/tahun ke-15 (10 Rabiul Akhir 1443 H/ 15 November 2021)
Mengapa masih ada orang yang suka berbuat maksiat? Bukankah sudah ada syariat yang mengatur agar tak berbuat maksiat? Kamu perlu jawab itu secara jujur, ya. Kalo hatimu lebih merasa tenteram ketika berbuat baik, bersyukurlah, berbahagialah. Namun, jika hatimu merasa terpuaskan saat bermaksiat, segeralah bertaubat. Itu pasti ada peran setan di dalamnya. Waspadalah!
Sobat gaulislam, masih anget nih pro-kontra soal Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Mengapa menuai pro dan kontra? Bagi yang pro alias setuju, seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (11/11/2021), Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan. Bagi yang kontra, karena aturan tersebut ada indikasi melegalkan seks bebas alias perzinaan. Terutama di Pasal 5 dalam Permendikbud tersebut.
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai beleid tersebut cacat secara formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina.
Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021). (laman nasional.kontan.co.id, 12 November 2021)
Frasa “tanpa persetujuan korban”, kalo menurut pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafah) berarti boleh saja hal itu dilakukan kalo korban setuju. Namun sebenarnya definisi korban dan pelakunya juga jadi nggak jelas, kalo “sama-sama suka atau sama-sama setuju”. Itu artinya, Permendikbud ini bermasalah. Bisa dijadikan alasan untuk melakukan seks bebas alias berzina bagi orang yang memang hobinya maksiat. Bahaya betul itu.
Harusnya simpel tapi dibikin ribet. Intinya memang ada pihak yang berupaya untuk melegalkan perzinaan. Indikasinya jelas kok. Paling mudah dilihat dari frasa “tanpa persetujuan korban”. Biar kamu jelas isi pasalnya, terutama Pasal 5, saya kutipkan dari website jdih.kemdikbud.go.id, terutama poin yang ada frasa “tanpa persetujuan korban”:
Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
Lebih lengkapnya, silakan cek di laman (website) yang saya tulis, ya.
Sebenarnya udah jelas banget, kan ya. Kalo “suka sama suka, sama-sama setuju” itu bukan perkosaan atau kategori kekerasan seksual. Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, itu sama saja dengan melegalkan pergaulan bebas dan seks bebas. Coba deh kamu cermati poin-poin di Pasal 5 yang tadi dikutip dalam tulisan ini. Itu artinya, kalo yang katanya korban itu “setuju”, ya berarti nggak ada pemaksaaan dan nggak ada kekerasan seksual. Lalu, buat apa disebut korban? Toh sama-sama setuju dengan perilaku tersebut. Kalo dalam aturan tersebut dianggap boleh, tetapi dalam syariat islam jelas kategori perbuatan yang terlarang. Haram dilakukan seorang muslim dan jelas dosanya.
Bener Bro Sis, gimana nggak disebut melegalkan seks bebas kalo bunyi salah satu poin di ayat 2 Pasal 5 seperti ini: “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban”
Anak kelas 6 SD yang cerdas bakalan tahu kok frasa ini maksudnya apa. Nggak ada penafsiran lain selain melegalkan zina. Selain itu, jadi nggak ada lagi istilah “korban” kalo setuju melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang katanya ditawarkan pelaku. Wong, sama-sama setuju dan bahkan bisa menikmati, kok. Memang begitu logikanya. Wajar kalo Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini menuai kritik. Kecuali dari para pendukung perzinaan ya mereka senang dong aturan ini.
Kalo aturan ini diterapkan, bisa bahaya. Zina jadi dianggap legal dengan berlindung di balik Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini. Bahaya lainnya, bisa aja bandar narkoba beralasan yang sama: meski narkoba dilarang diedarkan, apalagi di kampus dan sekolah, tetapi kalo “korban” setuju ya jadi boleh diedarkan. Pihak kampus atau sekolah nggak boleh menghukum mahasiswa dan pelajar yang kedapatan melakukan transaksi jual beli narkoba karena mereka sama-sama setuju. Begitu kan logikanya? Ngeri dan ngawur, Bro en Sis!
Ketika riba dan zina merajalela
Sobat gaulislam, di zaman sekarang riba udah jadi tradisi, pelacuran pun sudah dilokalisasi, kini perzinaan malah akan dilegalkan melalui undang-undang. Meski atas nama perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, tetapi sejatinya adalah upaya melegalkan seks bebas. Ya, itu namanya berzina. Jelas pula, ini tipu daya iblis. Waspadalah!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung (negeri) maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Bisa dipahami sebenarnya, kalo riba udah merajalela, maka kehidupan kita akan dibuat rusak. Gimana nggak, pinjol alias pinjaman online udah banyak menelan korban. Ada yang mencoba bunuh diri karena nggak tahan dengan bunga utang yang kian menggunung dan terus diganggu oleh yang menagih utang. Bahkan ada juga yang sudah bunuh diri. Ekonomi nggak berjalan dengan benar dan baik. Malah yang terjadi banyak orang yang pendek akal dan gede nafsunya memilih lebih suka ngutang ketimbang berusaha.
Seks bebas alias perzinaan, tanpa dilegalkan dengan aturan pun, sejak dulu sudah marak. Apalagi jika seolah dilegalkan (atau memang sengaja mau melegalkan?), bisa tambah banyak lagi yang melakukan perbuatan keji tersebut. Udah kebayang kan gimana bakalan rusaknya rumah tangga karena suami atau istri bisa selingkuh dan berzina dengan orang lain. Gimana masa depan anak-anaknya. Harkat dan martabat manusia jatuh jauh di bawah binatang ternak. Padahal, manusia memiliki akal. Hewan tidak. Namun, akibat perilaku tersebut derajatnya jadi turun jauh ketimbang binatang ternak.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf [7]: 179)
So, kudu ati-ati. Jangan setuju ama kegiatan maksiat, khawatir kena laknat. Justru, sebaliknya kudu mencegah mereka yang hendak atau malah hobi berbuat maksiat. Ini demi kebaikan semuanya, lho. Beneran.
Islam memperhatikan keturunan
Sedih nggak sih kalo tiba-tiba kamu ditanya: “Anak siapa?” Kalo nggak jelas asal-usulnya kan bikin malu en minder. Mungkin ada yang bilang “anak haram”. Idih, sebenarnya tega juga ya kalo sampe dibilang anak haram. Karena anak mah nggak tahu apa-apa. Bapak-ibunya aja yang nggak tahu diri. Biasanya di masyarakat yang disebut dengan anak haram adalah anak hasil perzinaan.
Tapi bila jelas dan kita tahu, bisa dengan pede dan bangga menjawab pertanyaan tersebut, “Saya anak fulan bin fulan”. Jadi, emang penting kan kejelasan nasab alias keturunan. Itu sebabnya, sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memperhatikan juga masalah keturunan ini.
Ya, Islam sangat memelihara keturunan. Itu sebabnya, ada aturan yang menjelaskan tentang nasab, pentingnya nasab. Manusia sampe sekarang berkembang biak melalui proses generatif, diturunkan. Bukan dengan proses membelah diri atau bertunas. Nah, karena proses generatif, maka harus jelas hubungan antara induk yang menurunkan dengan anaknya. Itu sebabnya, dalam Islam disyariatkan pernikahan.
Kenapa harus jelas ikatannya? Karena Islam memang menghargai keturunan. Bayangin deh kalo manusia bebas berzina. Ganti-ganti pasangan. Gimana kalo kemudian yang perempuan hamil. Pasti bingung nentuin anaknya: anak siapa? Karena begitu banyak lelaki yang telah berhubungan dengan wanita secara bebas. Tapi jika terikat dengan pernikahan, maka sudah jelas pasangannya. Anak jelas ibunya dan bapaknya. Di sinilah Islam benar-benar menghargai manusia dengan syariatnya yang mengatur tentang keturunan yang jelas melalui ikatan pernikahan.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Ruum [30]: 21)
Sekarang bandingin deh dengan sistem demokrasi (sebagai instrumen politik dari Kapitalisme-Sekularisme) yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Akhirnya berujung kepada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS.
Bahkan dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang masih diterapkan di negeri ini tumbuh subur hubungan sedarah alias incest; anak perempuan yang dihamili bapaknya, atau malah anak laki yang menghamili ibunya. Duh, kacau banget. Kalo lahir tuh anak, bapaknya bingung. Manggilnya cucu atau anak? Bisa dipanggil cucu karena lahir dari anaknya, tapi bisa juga dibilang anaknya, karena dia yang menghamili ibunya si anak yang berstatus anaknya sendiri. Belibet banget. Begitu pun dengan kasus anak laki yang menghamili ibunya. Naudzubillahi min dzalik.
Kejadian-kejadian kayak gini bukan hanya merugikan kaum Muslimin melainkan seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan. Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau nonmuslim. Yakin itu, Bro!
So, semoga Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 segera dicabut, meski udah ditandangani Mendikbud. Bahaya kalo dibiarkan, sebab itu artinya membolehkan perzinaan merajalela di kampus dan di masyarakat. Bahaya kalo dibiarkan. [O. Solihin | IG @osolihin]