gaulislam edisi 437/tahun ke-9 (27 Jumadil ‘Ula 1437 H/ 7 Maret 2016)
Menjadi remaja militan? Ah, apa nggak salah nih? Bukankah di zaman sekarang ini orang-orang lagi pada alergi dengar istilah militan? Langsung mencap penyandang ‘gelar’ militan sebagai orang-orang garis keras yang sangar, yang selalu menebar teror di tengah-tengah masyarakat. Sehingga para penyandang gelar militan ini harus segera dibasmi sebersih-bersihnya, diberantas hingga ke akar-akarnya.
Sebenarnya nggak ada yang salah dengan menjadi militan. Tetapi yang aneh dan salah sebenarnya alergi masyarakat terhadap istilah ini. Sebelum kronis, alergi ini perlu segera diobati. Diluruskan selurus-lurusnya sehingga mereka mengerti apa sih sebenarnya makna dari menjadi militan itu sendiri. Mari kita bedah lebih jauh, apakah istilah militan ini selalu terkait dengan teror yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Siap?
Sobat gaulislam, coba deh kamu buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tidak hanya dibuka tuh kamus, tapi kamu cari istilah ‘militan’ dan dibaca artinya bener-bener. Di situ kamu akan menemukan bahwa arti dari militan adalah bersemangat tinggi, penuh gairah, dan berhaluan keras. Haluan itu artinya arah. Arah yang keras bukan berarti melulu kekerasan, lho. Bisa juga berarti keras kemauannya.
Nah, jelas bukan, bahwa yang namanya militan itu tidak melulu terkait aksi bom-boman atau tembak-tembakan ngawur yang menyasar fasilitas umum. Bukankah kita, ketika mengerjakan apa pun dalam kehidupan kita, selalu butuh dengan yang namanya semangat yang tinggi? Semangat yang senantiasa berkobar-kobar, yang pada akhirnya, semangat semacam inilah yang akan menjadi salah satu faktor penentu kita akan sebuah kesuksesan yang besar di masa depan. Punya militansi.
Apa jadinya kalau, misalnya ya, kita sekolah tanpa adanya semangat sama sekali. Masuk ke sekolah tertentu hanya karena hasil dipaksa ortu. Belajar dengan tanpa gairah. Nyatet pelajaran males. Dengerin penjelasan guru jadinya ngantuk melulu. Suara sang guru seolah menjelma serupa lagu Nina Bobo alias lagu pengantar tidur. Kan berabe jadinya. Guru kamu bisa marah-marah, nilai di raportmu juga bisa merah-merah.
Nah, kalo misal kamu belum puas dengan KBBI, coba deh kamu buka kamus lain keluaran luar negeri. Misalnya, Cambridge International Dictionary. Dalam kamus itu, istilah militan sebagai kata sifat diartikan sebagai, “active, determined and often willing to use force (aktif, tekun, dan acapkali sudi untuk menggunakan kekuatannya).
Merujuk pada definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang tekun dalam pekerjaannya, aktif dalam ibadahnya, menggunakan kekuatannya untuk memerangi kejahatan atau membantu orang lain, mereka itu juga bisa lho disebut orang-orang militan. Jadi, tak selamanya istilah militan itu berkaitan dengan hal-hal negatif. Tul nggak?
Hanya saja, kini istilah militan disempitkan maknanya. Digunakan oleh pihak-pihak tertentu guna menyudutkan atau bahkan memberangus pihak lain. Dahulu kala, katika tentara asing menjajah negeri kita, mereka mencap para pejuang negeri ini, juga siapa saja yang menginginkan kemerdekaan, sebagai kaum militan. Padahal kalau kita lihat, mereka adalah para pejuang terhormat yang senantiasa tekun, gigih, sudi menggunakan segenap kekuatan yang ada guna menghapuskan penjajahan yang terjadi kala itu. Jadi, pelabelan militan oleh para penjajah, adalah dalam rangka sinisme, menyudutkan para pejuang.
Alergi terhadap istilah militan ini juga merebak setelah kejadian terkait terorisme. Misalnya pada kasus penyerangan WTC pada 11 September 2001 silam. Bush pada saat itu langsung memberikan label militan garis keras pada kelompok al-Qaida. Kelompok yang dituduh sebagai dalang teror terhadap gedung WTC pun diuber-uber hingga melahirkan sikap anti Islam dan kaum muslimin di beberapa negara. Jadinya, muslim yang berjenggot, muslimah yang berjilbab dan bercadar, betah di pengajian, kaffah keislamannya, meski tidak ikut-ikutan dalam kejadian WTC itu, akhirnya juga dilabeli istilah militan dalam artian negatif.
Padahal, banyak hal-hal ganjil terkait kasus penyerangan terhadap WTC ini. Belakangan beberapa ahli menemukan beberapa bukti yang menguatkan dugaan, bahwasanya kasus WTC ini sebenarnya hanyalah rekayasa pihak AS sendiri guna menyulut kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Jadi, ini sebenarnya adalah peperangan antar ideologi.
Tak berhenti di situ, kasus terorisme yang terjadi di tanah air semakin menambah parah alergi masyarakat terhadap istilah militan ini. Sebut saja kasus Bom Bali I yang terjadi di Bulan Oktober 2000 hingga bom di JW Marriott dan Ritz Carlton pada Juli 2009. Pihak muslim militan garis keras pun langsung dituduh sebagai biang di balik semua kisruh itu.
Padahal istilah militan itu tidaklah selalu terkait dengan sesuatu yang negatif. Namun karena berbagai kejadian dan tuduhan, maknanya sengaja disempitkan oleh pihak tertentu. Seolah-olah istilah militan hanya cocok disematkan pada orang-orang garis keras yang garang, tidak beradab, pembuat onar dan resah masyarakat. Huft! Cape deh! (tepok jidat)
Remaja tanpa militansi
Sobat gaulislam, itu sebabnya, jangan terpengaruh dengan salah kaprah yang terjadi saat ini. Salah ya tetap salah. Jangan dikaprahin. Ya, nggak? Kita para remaja, apalagi di zaman seperti sekarang ini, sangat butuh militansi yang mengakar kuat di dalam diri. Di mana gempuran demi gempuran hidup yang serba melenakan, juga menjauhkan kita dari Dienul Islam, begitu gencarnya.
Kita tetap butuh menjadi remaja militan dalam arti positif guna mengusahakan masa depan kita, baik itu masa depan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat, terjamin kesusesannya.
So, lihatlah para remaja di sekitar kita yang sudah kehilangan militansi diri. Hidupnya hanya dipenuhi oleh kemalasan dan diisi oleh sesuatu yang sebenarnya nggak ada gunanya. Di dalam belajar saja, mereka loyo. Apalagi ketika diajak berdakwah, hmm.. langsung tepar dan pingsan kali. Persis kayak habis lari maraton puluhan kilometer.
Namun coba deh ajak pada sesuatu yang nggak ada gunanya atau bahkan ngerusak diri sendiri. Apa misal? Misalnya main game. Wuih, kalo sudah main game, waktu satu jam itu menjelma seolah hanya lima menit saja. Berlalu begitu cepat. Tahu-tahu sudah dua jam, empat jam, sepuluh jam! Sampe lupa shalat, lupa mandi, lupa segala-galanya.
Namun coba deh suruh belajar. Suruh tuh pantengin buku pelajaran. Kuat berapa lama sih? Paling lima atau sepuluh menit sudah mulai buyar konsentrasinya. Sudah mulai tuh kantuk memenuhi tempurung kepala. Ada juga yang mulai lirik-lirik jam dinding, nggak sabar karena sebentar lagi film atau sinetron favorit bakal tayang di televisi. Nggak banget, deh!
Belajar susah? Gimana kalo ibadah ya? Coba deh suruh shalat malam. Susahnya minta ampun. Kata orang-orang, kayak narik bambu dari ujung, alias impossible. Jangankan shalat malam yang hukumnya sunnah, yang wajib saja, shalat yang lima waktu dalam sehari semalam, masih belang bentong alias bolong-bolong.
Kalo ditanya, kenapa nggak shalat Subuh? Jawabannya, kesiangan. Soalnya tadi malem begadang. Lagi nyelesaikan level game yang seru abis. Terus kalo ditanya, kenapa tidak shalat Duhur juga? Jawabannya baru pulang sekolah. Capek, kepanasan, keujanan, terus ketiduran, de el el. Lha, lalu kenapa Shalat Asar juga bolong? Ya gimana, baru bangun tidur pas mau Adzan Maghrib. Masih pusing. Otak masih loading. Kerjaannya hanya bengong sambil ngupil. Gubrak!
Jadi shalatnya hanya Maghrib dan Isya doang? Iya, Itu pun karena lagi ngaji di surau. Karena takut sama penggarisnya pak ustadz. Tadinya sampai susah payah ibu dan bapak nyuruh supaya pergi ngaji ke surau. Sampai ngencengin urat leher plus ngeluarin rotan segala. Hedeuh!
Jadilah remaja militan
Sobat gaulislam, kalo sudah kasusnya seperti di atas; belajar malas, ibadah malah, apalagi malas berdakwah, masa depan seperti apa yang bisa diharapkan?
Masa depan di dunia, kemungkinan besar kita akan ruwet karena masa lalu kita hanya habis untuk main-main dan hura-hura belaka. Bodoh nggak ketulungan karena semasa muda malas belajar. Sering bolos sekolah. Kerjaan favorit hanya main game online. Payah!
Masa depan di akhirat, kita juga akan menderita karena selama hidup di dunia malas beribadah. Malas untuk dekat-dekat dengan yang namanya masjid. Namun semangat dan betah di warnet, tempat dugem, tempat judi, atau mungkin lokalisasi. Naudzubillah!
So, jadilah remaja militan. Jangan takut kalo ada orang nyebut kita militan hanya karena betah di masjid, rajin ibadah, apalagi getol berdakwah. Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, perjalanan kafilah kita tetap berlalu. Cuekin aja, karena mereka yang sinis itu tak akan peduli, atau ikut bertanggung jawab apabila kelak kita masuk surga atau neraka.
Milikilah prinsip hidup yang benar, yakni prinsip hidup seorang muslim yang kaffah dengan islamnya. Jangan biarkan hidupmu mengalir tak tentu arah, sekadar mengikuti kata-kata orang-orang di sekitarmu yang hanya bisa mengantarmu dalam keterpurukan dan kehinaan. Karena hidupmu itu tak ubahnya air yang mengalir. Kendalikan ia sehingga tidak mengalir ke tempat yang salah. Jangan rela kalau hidupmu harus berakhir di selokan yang dangkal, jorok, dan penyakitan. Muarakanlah ia pada lautan yang biru, luas, dan dalam.
Setelah kamu miliki prinsip hidup yang benar, tiba saatnya kamu untuk komitmen dengannya. Genggam ia erat-erat. Tegarlah melebihi ketegaran batu karang yang tetap berdiri kokoh, meskipun di setiap waktu ombak terus menggempurnya.
Jangan sampai karena mendapat predikat remaja militan saja kamu jadi memble. Justru kamu harus bangga dengan predikat itu. Itu artinya kamu memang berbeda dengan remaja kebanyakan. Berbeda? Ya. Kamu berbeda dengan mereka. Kamu lebih tangguh, lebih disiplin, lebih berjiwa juang, lebih bersungguh-sungguh, dan segudang kelebihan lain yang akan terlalu panjang kalo diungkapkan semua dalam satu paragraf akhir ini.
So, apa lagi yang membuatmu ragu dan menunggu? Yuk, jadi remaja militan! [Farid Ab | Twitter @badiraf]