Oleh: O. Solihin
Tayangan reality show kian digemari. Program yang mengemas aksi tukang jail ketika ngerjain orang lain ini menjadi primadona baru hiburan di televisi. Sebut saja Paranoid, Emosi, Kopaja, Ngaciir, Spontan, Playboy Kabel (yang terinspirasi reality show asal Jepang, Black Mail), Harap-Harap Cemas dll. Itu produksi lokal lho. Produksi mancanegara sudah wara-wiri sejak dulu; Just for Laugh dan Candid Camera misalnya.
Bila dikatakan bahwa tayangan tersebut menghibur, memang menghibur. Kita bisa tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan orang yang ketakutan dikerjain “hantu-hantuan” di tayangan Paranoid. Kita bisa ngakak sepuasnya begitu ada orang yang kebingungan karena dikerjain kru Candid Camera. Kita pun bisa tertawa sepuasnya ketika korban tampak stres dan tertekan saat dijailin kru Emosi.
Tapi, harap diingat dan bila diperlu dicatat baik-baik dalam pikiran kita. Kita boleh tertawa, tapi tentunya nggak adil jika harus menertawakan orang lain, apalagi yang kita tertawakan sedang kebingungan karena dikerjain orang lain. Itu sama saja tertawa di atas penderitaan orang lain. Ehm, pasti gondok kalo kita juga dijailin orang lain.
Di tengah persaingan memperebutkan kue iklan yang terasa kian berat, menjadikan para pengelola televisi terkesan mengobral tayangan yang miskin manfaat dan rendah idealisme. Karena aneh bin ajaib, acara seperti itulah yang mendongkrak rating. Artinya, diminati pemirsa.
Dengan tayangan seperti ini, masyarakat kita dididik untuk belajar menertawakan sebuah penderitaan dan kebingungan. Jika kita melihat teman kita kecebur got, ada yang masih suka tertawa terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuk dan memegang perutnya. Apakah sebuah kecelakaan perlu ditertawakan? Rasanya, cuma orang yang tega aja yang pantas melakukannya.
Sayangnya, dengan semakin diekspos melalui tayangan televisi, acara reality show yang tujuan mulianya memang menghadirkan kejailan, akan memberi jalan dan memberi keputusan kepada pemirsa bahwa hal itu sah-sah saja dilakukan. Apalagi dengan niat memberi hiburan bagi permisanya.
Jadi bias memang, antara menghibur dan mengajarkan kejailan. Bukan tak mungkin banyak pemirsa akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, atau lebih gila lagi dari itu. Jika pun hal itu tidak terjadi, tapi setidaknya akan merangsang pembaca untuk terus betah menonton tayangan tersebut dan menjadi sebuah kebiasaan baru dan menciptakan pola hidup egoistis. Jangan salahkan masyarakat jika akhirnya mereka tumbuh menjadi generasi tukang jail dan senang dengan penderitaan orang lain.
Rasanya, sudah saatnya kita menggagas tayangan cerdas. Saya pikir, pengusaha televisi masih bisa mengepulkan asap dapurnya tanpa harus menjual mimpi, tanpa harus mengekspos kejailan, dan tanpa harus menayangkan program miskin manfaat dan rendah idealisme. Ini semua bergantung soal paradigma berpikir saja.
Buktinya, pengusaha air mineral kemasan masih tetap laku ketimbang pengusaha minuman keras. Lihat juga penerbit buku-buku Islam, masih menuai untung tanpa mengekspos pornografi dan kekerasan, termasuk kejailan. Televisi pun masih bisa menawarkan tayangan cerdas, mendidik, dan mensyiarkan Islam. Lihat tayangan saat ramadhan, ternyata masih banyak produsen yang mau berbagi rejeki dengan pengusaha televisi lewat iklannya.
Dua kepentingan
Pengusaha televisi punya kepentingan, yakni menjaga usahanya supaya tetap bertahan di tengah persaingan, dan bila perlu mengembangkan lebih jauh. Masyarakat juga punya kepentingan, ia membutuhkan informasi dan juga hiburan. Setidaknya ini sejalan dengan fungsi media massa sebagai pemberi informasi, pendidik, dan juga sebagai sarana hiburan.
Sayangnya, pengusaha media massa, dalam hal ini televisi, lebih memilih memberi porsi yang banyak dalam fungsinya sebagai penghibur. Hanya saja, dalam masyarakat yang dibingkai dalam sistem kapitalisme, segalanya menjadi tidak lagi terkontrol. Semua itu dilakukan atas pertimbang untung-rugi secara materi, bukan atas dasar layak dan tidak layak. Atau lebih tegas dalam ajaran Islam, halal-haram. Wah, kayaknya nggak ada deh kamus yang terakhir ini di benak pengusaha televisi berotak kapitalis.
Ketika ada protes dari LSM atau sebagian anggota masyarakat, pengusaha televisi berlindung di balik rating. Dengan alasan seperti itu, mereka sama saja ingin mengatakan bahwa justru tayangan inilah yang disukai masyarakat. Artinya, masyarakatlah yang menghendaki tayangan seperti. Setidaknya itulah logika pengusaha media massa.
Ah, entah siapa yang salah, pengusaha televisi atau justru masyarakat pemirsa. Tak mudah menjawab persoalan ini. Tapi, kita punya panduan dalam logika komunikasi. Komunikasi bisa berjalan searah, bisa juga dua arah. Bila sebuah komunikasi dikembangkan lebih luas, berubah menjadi komunikasi massa. Bila sudah di level ini, maka yang memiliki media komunikasi secara tidak langsung akan menguasai jalannya komunikasi. Merekalah yang akan mengendalikan komunikasi. Pemirsa, menjadi kelompok yang ?terjajah’ dan nggak bisa memiliki pilihan untuk menghindar atau tidak menghindar dari pesan yang disampaikan pengelola televisi.
Meski demikian, kita tidak bisa menyalahkan secara mutlak para pengusaha televisi, karena masalah ini hanyalah produk ikutan dari sebuah sistem yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini. Ini buah dari kapitalisme-sekularisme. Dengan kata lain, dua kelompok ini; pengusaha televisi dan masyarakat harus diberikan pembinaan dan pemahaman yang sama akan peran dan kewajibannnya masing-masing. Jika tidak, bersiaplah untuk menerima kehancuran moral yang lebih dahsyat. Bisa jadi, itu dimulai dari sikap jail yang dilembagakan lewat tayangan televisi yang, katanya menghibur itu. Wallahu’alam.
[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Juni 2004]
Wah..Gaul Islam hebat ya..Sampai sedetail itu.
Ya mungkin itu hanya sebuah canda. Tapi bagi korban itu cukup menyakitkan. Apalagi itu bersifat mempermalukan. Karena saya sendiri pernah dipermalukan di depan orang banyak, dan jadi bahan tertawaan di tempat itu juga karena kejailan seseorang.
Kalau perlu televisi menyiarkan rumus2 matematika, fisika, dll kayak waktu aku masih kecil dulu. Aku yakin tu stasiun televisi ga ada yang mau nonton. TV kan buat refresing bukan buat belajar. he.he..
Islam itu sangat detail dan memiliki pandangan yang mencakup keseluruhan aspek dengan pertimbangan yang mendetail. Dan karena inilah Islam disebut katrok, ga jaman, over protektif, dll.
Seorang teman yang telah pergi jauh pernah mengatakan :
“Jika kamu mengamalkan islam secara kaffah, kamu akan dianggap berbeda dengan umumnya. Karena orang yang akan masuk surga bukan orang pada umumnya”.
Bicara masalah surga memang berat, karena itu menyangkut kepercayaan agama. Agamaku agamaku, agamamu agamamu.
Wah..Gaul Islam hebat ya..Sampai sedetail itu.
Ya mungkin itu hanya sebuah canda. Tapi bagi korban itu cukup menyakitkan. Apalagi itu bersifat mempermalukan. Karena saya sendiri pernah dipermalukan di depan orang banyak, dan jadi bahan tertawaan di tempat itu juga karena kejailan seseorang.
Kalau perlu televisi menyiarkan rumus2 matematika, fisika, dll kayak waktu aku masih kecil dulu. Aku yakin tu stasiun televisi ga ada yang mau nonton. TV kan buat refresing bukan buat belajar. he.he..
Islam itu sangat detail dan memiliki pandangan yang mencakup keseluruhan aspek dengan pertimbangan yang mendetail. Dan karena inilah Islam disebut katrok, ga jaman, over protektif, dll.
Seorang teman yang telah pergi jauh pernah mengatakan :
?Jika kamu mengamalkan islam secara kaffah, kamu akan dianggap berbeda dengan umumnya. Karena orang yang akan masuk surga bukan orang pada umumnya?.
Bicara masalah surga memang berat, karena itu menyangkut kepercayaan agama. Agamaku agamaku, agamamu agamamu.