Sunday, 24 November 2024, 12:13
racismsocmed

gaulislam edisi 815/tahun ke-16 (16 Dzulqa’idah 1444 H/ 5 Juni 2023)

Di media sosial, khususnya yang biasa saya ikuti di Twitter dan Instagram, banyak netizen yang langsung nyamber kayak api ketemu bensin kalo diberi ‘umpan lambung’ berita yang menarasikan etnis tertentu yang berperilaku buruk, atau ras tertentu yang melakukan tindak kriminal dan sejenisnya. Serta merta sumpah serapah bernuansa rasisme (rasialisme) berhamburan memadati lini masa. Ada juga yang sepertinya bak mendapat durian runtuh untuk menggoreng etnis tertentu yang identik dengan Islam. Dijelek-jelekkin deh tuh etnis. Malah jadinya bukan ke etnisnya, tapi ke Islam sebagai agama. Padahal, dianya muslim. Netizen lainnya yang merasa tersinggung kemudian ikut terlibat membalas atau memberikan argumentasi. Pro dan kontra sudah biasa. Kok bisa, ya?

Sebenarnya kalo di media sosial memungkinkan sih untuk nekat menghamburkan makian dan cacian, terutama akun-akun anonim alias nggak jelas. Mereka berlindung di balik kedok nama lain atau nama tak jelas. Oya, kalo mau dirunut, ada beberapa penyebab maraknya rasisme di media sosial. Tahun 2015 lalu saya pernah menulis buku dan diterbitkan, judulnya “Sosmed Addict”. Nah, ada pembahasan mengapa orang banyak yang merasa puas dan bebas untuk berekspresi di media sosial. Saya coba rangkum dengan data tambahan dari berbagai sumber.

Nah, yang terkait rasisme di media sosial, ada beberapa alasan mengapa rasisme kerap terjadi di media sosial.

Pertama, anonimitas dan jarak. Bener. Media sosial memberikan anonimitas yang relatif kepada pengguna, yang membuat beberapa orang merasa lebih bebas untuk menyuarakan prasangka atau sentimen rasialis yang mungkin mereka tahan untuk diungkapkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Jarak fisik juga membuat orang merasa kurang terhubung secara pribadi dengan orang-orang yang mereka serang secara rasial, sehingga mendorong perilaku yang lebih agresif atau tidak terkendali. Seringnya begitu memang. Nggak kenal dan nggak dekat, malah berani menghujat. Eh, justru karena nggak kenal ya jadi bisa leluasa bin bebas untuk menghujat. Kalo kenal dan ada di dekatnya mana berani mencaci maki.

Kedua, echo chamber dan filter bubble. Media sosial sering kali menghadirkan pengalaman yang disesuaikan secara individual, yakni algoritma platform menyaring konten yang ditampilkan berdasarkan preferensi dan pandangan pengguna. Ini dapat menciptakan “echo chamber” atau “filter bubble”, yakni kondisi dimana pengguna cenderung terpapar pada pandangan yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri. Ini dapat memperkuat sikap dan prasangka yang ada, termasuk prasangka rasial. Benar itu. Sering nggak adil juga. Di media sosial antara pendukung rezim pemerintah saat ini dengan pendukung oposisi sering bertengkar dan isu rasisme kerap muncul. Anehnya, kalo yang pendukung rezim seringnya aman tanpa bisa ditindak atau diburu meski doyan setiap hari memberikan narasi rasisme.

Ketiga, trolling dan kepuasan emosional. Beberapa individu menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan kebencian dan provokasi. Mereka mungkin merasa terhibur atau mendapatkan kepuasan emosional dengan melihat reaksi negatif yang dihasilkan dari komentar rasialis mereka. Aktivitas ini sering disebut sebagai “trolling” dan dapat melibatkan serangan rasial dengan tujuan memicu kemarahan dan konflik. Kamu bisa lihat gimana garangnya komplotan begundal macam itu. Ngeri.

Keempat, normalisasi perilaku. Ketika seseorang melihat atau terlibat dalam interaksi yang mengandung rasisme di media sosial, itu dapat menciptakan persepsi bahwa perilaku semacam itu diterima atau normal. Hal ini dapat memicu efek domino, yakni lebih banyak orang terdorong untuk mengekspresikan pandangan dan komentar rasialis mereka.

Kelima, kurangnya sanksi sosial. Bener, karena komunikasi di media sosial seringkali tidak melibatkan interaksi tatap muka dan kurangnya sanksi sosial langsung, individu mungkin merasa bahwa mereka dapat melampaui batas dengan berbicara secara kasar atau merendahkan orang lain berdasarkan ras atau etnis mereka tanpa konsekuensi yang signifikan. Banyak yang begitu, tapi ya mungkin susah menjeratnya karena banyak pake akun anonim. Kalo pun ada yang beneran dan dikenal, kalo dia pro rezim pemerintah ya sekarang aman-aman aja, sih. Pihak berwenang juga anyep, aja. Kagak ada gerak untuk ngeringkus mereka.  

Sejarah rasisme

Sobat gaulislam, ini sekadar menyampaikan fakta aja, sih. Saya rangkum dari berbagai sumber. Secara ringkas, rasisme adalah praktik diskriminasi atau penindasan berdasarkan perbedaan ras atau etnis. Meskipun konsep rasisme udah ada dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah manusia, sulit untuk menentukan titik awal yang pasti kapan rasisme dimulai.

Namun, jika kita melihat secara umum, pandangan superioritas rasial dan praktik diskriminasi berdasarkan ras telah ada sejak zaman kuno. Misal nih, di zaman kuno, bangsa-bangsa seperti Yunani Kuno dan Romawi Kuno menganggap diri mereka lebih unggul secara rasial dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Mereka sering kali merendahkan dan mengeksploitasi bangsa-bangsa yang dianggap mereka lebih rendah.

Kemudian, pada abad ke-15, dengan penjelajahan dan kolonisasi Eropa, pandangan superioritas rasial semakin menguat. Pada masa itu, orang Eropa meyakini bahwa mereka memiliki hak untuk menaklukkan, menguasai, dan mengkolonisasi bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, terutama bangsa-bangsa pribumi di Amerika, Afrika, dan Asia.

Jadi, selama abad ke-18 dan ke-19, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pemikiran rasial, pandangan rasial semakin terstruktur dan dijustifikasi alias diberikan alasan pembenaran secara ilmiah. Melalui teori-teori seperti “rasisme ilmiah” dan “eugenika” muncul, yang menyebarkan pandangan bahwa ras tertentu lebih unggul daripada ras lainnya secara intelektual, fisik, atau moral.

Secara agak detil, teori rasisme ilmiah itu mencoba mengkategorikan manusia ke dalam ras-ras yang berbeda dan menempatkannya dalam hierarki di mana ras tertentu dianggap lebih unggul daripada ras lainnya. Konsep ini melibatkan keyakinan bahwa perbedaan fisik dan genetik antara ras-ras tersebut memberikan dasar untuk menilai kecerdasan, kemampuan, dan karakteristik lainnya secara hierarkis. Teori rasisme ilmiah secara ilmiah telah dianggap tidak valid dan tidak akurat karena tidak ada dasar ilmiah yang meyakinkan untuk mendukung klaim-klaim hierarkis ini.

Kalo pengertian eugenika adalah konsep yang mencakup praktik dan kebijakan untuk meningkatkan komposisi genetik populasi manusia dengan mengontrol perkawinan dan reproduksi. Eugenika dapat dibagi menjadi dua bentuk: eugenika positif dan eugenika negatif. Eugenika positif melibatkan upaya untuk meningkatkan genetika populasi dengan mendorong perkawinan dan reproduksi individu dengan sifat-sifat dianggap menguntungkan secara genetik. Sementara itu, eugenika negatif melibatkan praktik-praktik untuk menghambat atau mencegah perkawinan dan reproduksi individu dengan sifat-sifat dianggap tidak diinginkan secara genetik.

Pada abad ke-20, rasisme mencapai puncaknya dengan peristiwa-peristiwa seperti kolonialisme, perbudakan, dan Holocaust selama Perang Dunia II. Perjuangan melawan rasisme menjadi semakin kuat, dan gerakan hak asasi manusia berusaha mengatasi diskriminasi rasial di seluruh dunia.

Dalam sejarah modern, ada berbagai peristiwa dan gerakan yang melawan rasisme dan memperjuangkan kesetaraan, seperti gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Namun, rasisme masih ada dalam berbagai bentuk di berbagai belahan dunia, dan perjuangan untuk menghapuskan rasisme terus berlanjut.

Tragedi akibat rasisme

Oya, ada beberapa tragedi yang terkenal terkait dengan konflik rasisme dalam sejarah, di antaranya saya kutipkan secara ringkas dari berbagai sumber yang pernah saya baca.

Pertama, perbudakan Trans-Atlantik. Perbudakan Trans-Atlantik adalah salah satu tragedi paling terkenal yang terkait dengan rasisme. Selama berabad-abad, jutaan orang Afrika dibawa sebagai budak ke Amerika dan negara-negara lain oleh bangsa Eropa. Mereka diperlakukan dengan kejam, dihina, dan diperdagangkan sebagai properti manusia. Perbudakan ini menciptakan ketidaksetaraan sistemik yang berkelanjutan dan meninggalkan warisan penderitaan dan trauma yang masih dirasakan hingga saat ini.

Kedua, apartheid di Afrika Selatan. Apartheid adalah rezim sistemik penindasan rasial yang diterapkan oleh pemerintah minoritas kulit putih di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga 1994. Kebijakan ini memisahkan orang berdasarkan ras, dengan orang kulit putih mendapatkan hak-hak istimewa sementara orang kulit hitam dan kelompok ras kulit berwarna lainnya menghadapi diskriminasi yang luas. Apartheid menciptakan ketidakadilan dan penderitaan yang berkepanjangan dan memicu perlawanan yang kuat dari gerakan anti-apartheid.

Ketiga, Perang Bosnia. Perang Bosnia (1992-1995) terkait dengan konflik etnis dan rasial di wilayah bekas Yugoslavia. Selama perang ini, terjadi kekerasan yang mengerikan dan kejahatan perang, termasuk etnic cleansing dan genosida terhadap warga Bosnia Muslim oleh pasukan Serbia yang Kristen. Tragedi ini menunjukkan dampak yang mematikan dari konflik rasial dan etnis yang tak terelakkan. Di Indonesia juga pernah ada tuh, konflik antara etnis Madura dan suku Dayak di Kalimantan.

Keempat, kekejaman di Rwanda. Ini terjadi pada tahun 1994 adalah genosida yang terjadi di Rwanda yang mengakibatkan sekitar 800.000 orang Tutsi dan Hutu moderat dibunuh dalam waktu yang singkat oleh kelompok Hutu ekstremis. Konflik ini dipicu oleh perselisihan etnis antara Tutsi dan Hutu, yang dimanipulasi dan diperburuk oleh retorika rasial dan kebencian.

Ini hanya beberapa fakta aja. Kamu bisa nyari fakta lainnya yang bertebaran di buku, internet, dan media lainnya.

Bersatu bersama Islam

Sobat gaulislam, kita ini muslim, mestinya bangga dong. Sebab, Islam adalah jalan hidup yang menjadikan manusia satu sama lain setara. Secara sisi kemanusiaan, tak ada keistimewaan antara orang Arab dan selain Arab. Orang yang berkulit putih, yang berkulit hitam, berkulit merah, berkulit kuning, semua sama. Perbedaan hanya pada takwanya, yakni ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagai penciptanya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang Arab di atas orang Ajam (non Arab), tidak keutamaan bagi orang ajam di atas orang arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan.” (HR Ahmad, 5/411 dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah, no. 2700)

Nah, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk semua manusia, berarti syari’at yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa juga berlaku bagi semua orang yang masih hidup sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hingga hari kiamat. Itu sebabnya, barang siapa yang telah sampai kepadanya ajakan untuk mengikuti agama Islam kemudian dia menolaknya, maka dia termasuk penghuni neraka Jahannam pada hari kiamat kelak. Ini menunjukkan bahwa, dalam perkara ketakwaan, ada perbedaan. Mereka yang bertakwa, dari etnis dan warna kulit apa pun, akan selamat. Begitu juga sebaliknya, walau dia dari etnis Arab, tetapi malah ngikutin perilakunya Abu Jahal dan para begundalnya, yakni kagak mau beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, ya disebut nggak taat alias kafir. Itu perbedaannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Demi Allâh yang jiwaku (ada) di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari umat ini mendengarkan (sampai kepadanya) tentang aku (syariat Islam yang aku bawa), baik dia orang yang beragama Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka (di akhirat nanti).” (HR Muslim, no. 153)

Di dunia, sebagai sesama manusia statusnya sama. Setara. Namun, kalo urusan iman dan takwa, maka akan membedakan status seseorang dari seseorang lainnya di dunia, apalagi di akhirat kelak. Jadi, bersyukurlah kita sebagai bagian dari kaum muslimin. Udah ada iman kepada Allah Ta’ala, takwa, menjadi bagian dari umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meski sering mendapatkan caci maki akibat rasisme, sabar aja. Mereka, orang-orang kafir, munafik, dan fasik niscaya akan menyesal di akhirat meskipun saat ini mereka leluasa menghamburkan narasi rasisme kepada kita. Apalagi di media sosial, udah nggak keitung dah banyaknya narasi rasisme tersebut.

So, jangan ikut-ikutan menarasikan rasisme. Kalo ada yang memulai begitu, nasihati. Tapi kalo nggak mempan dinasihati, ya udah tinggalin aja. Nggak ada urusan kita dengan orang modelan begitu. [O. Solihin | IG @osolihin]