Saturday, 23 November 2024, 16:57

gaulislam edisi 678/tahun ke-14 (2 Rabiul Awwal 1442 H/ 19 Oktober 2020)

Kalo urusan lupa sih sebenarnya hampir semua orang pernah lupa. Beberapa orang jarang lupa, dan kalo periwayat hadits seperti para ulama terdahulu, mestinya jangan sampai lupa. Kalo kita? Hehehe… dimaklumin dah. Saya aja sering lupa. Udah diingetin padahal, tapi lupa juga. Biasanya lupa naro kunci, lupa nyimpen dompet, dan sejenisnya. Termasuk kadang lupa juga dengan janji atau jadwal. Begitulah manusia. Apalagi di akhir zaman kayak kita sekarang ini. Kudu saling ngingetin terus.

Nah, edisi kali ini buletin kesayangan kamu bahasannya nggak terlalu berat, ya. Ini boleh dibilang pembahasan yang ringan dan yang lucu, eh nggak juga sih (emangnya pelawak?). Ini yang ringan dan nggak berat. Eh, ya iyalah. Baik, serius: pembahasan yang ringan tapi penting. Oke sip!

Sobat gaulislam, terkait masalah lupa. Sebenarnya itu hal yang sulit dihindari, ya. Namun, ada yang sama sekali tak boleh lupa, yakni bahwa kita sebagai muslim. Ya, iyalah kalo lupa gimana? Bahaya? Banget! So, jangan sampai kita lupa bahwa kita adalah muslim. Jangan sampai lupa juga bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang wajib diibadahi (disembah). Intinya, ini hal prinsip. Jangan sampai lupa, atau sengaja lupa (apalagi melupakan). Meski ada orang yang mengguyur kita dengan ratusan miliar duit agar kita melupakan Allah dan agama Islam, jangan tergoda. Waspada!

Pengalaman berhadapan dengan santri, banyak juga hal lucu terkait “lupa”. Mungkin sebenarnya bukan hanya santri, ya. Kita juga bisa saja sengaja pura-pura lupa atau memang melupakan. Bukan sekadar lupa. Contohnya nih, ya. Kalo urusan piket, kira-kira umumnya santri itu lupa, melupakan, atau pura-pura lupa?    

Berdasarkan pengalaman sih, dengan memperhatikan para santri, kondisi yang pertama itu kecil kemungkinannya, karena udah ada jadwal dan itu rutin juga berulang setiap hari atau setiap pekan. Buktinya, jadwal mereka ambil hape setiap hari Jumat saat libur KBM saja nggak pernah lupa, tuh. Kondisi kedua, nggak sampe sih kalo santri melupakan, sebab mereka tetap melaksanakan piket jika diingatkan dan diawasi. Kalo pura-pura lupa, ini yang biasanya terjadi. Awalnya karena malas, lalu jadi kebiasaan karena sudah PW alias posisi wenak.

Bagimana dengan kehidupan manusia pada umumnya? Kalo ini memang perlu dilihat secara detil. Orang per orang, juga kasus per kasus. Bisa jadi berbeda kondisinya. Apakah lebih banyak orang yang lupa, melupakan (sengaja lupa), atau pura-pura lupa? Ini membutuhkan data sih. Namun, akan kita coba runut masalahnya melalui tahapan pembahasan di bawah ini, di beberapa subjudul. So, baca ampe tuntas, ya!

Salah, atau sengaja salah?

  Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Setiap orang biasa seperti kita, adakalanya berbuat salah dalam berbagai urusan kehidupan. Salah mengerjakan perintah dari teman satu tim, salah menerima informasi, salah memahami, salah mendengar, salah melihat, salah mengerjakan soal, salah sangka, dan sebagainya. Manusiawi. Dan, memang seperti kata pepatah, “al-Insaan mahalul khatha’ wan nisyaan”, artinya: manusia tempatnya salah dan lupa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat dari kesalahannya.” (HR at-Tirmidzi, no. 2499)

Tuh, jadi memang setiap manusia itu pernah berbuat salah. Bukan sering, ya. Sebab, kalo sering artinya diulang melulu. Ketika salah, ya bertaubat. Taubat yang diterima itu: menyesal, tidak mengulanginya, berusaha menjauhinya, dan memperbanyak amal shalih. Kalo sering salah, bisa jadi sengaja berbuat salah. Namun demikian, tetap harus bertaubat, ya. Jangan sampe salah jadi kebiasaan dan dianggap angin lalu aja, nggak mau bertaubat. Ih, jangan sampe, deh!

Intinya sih, dalam hal ini kalo salah dalam melakukan pekerjaan biasa ya perbaiki, kalo itu kaitannya dengan pelaksanaan hukum (syariat), ya dia bertaubat, jika kesalahannya ada kaitannya dengan sesama manusia, selain bertaubat juga meminta maaf kepada orang tersebut sekaligus mengganti kerugian yang kita lakukan terhadapnya. Manusia bisa salah, tetapi jangan sengaja berbuat salah.

Tahu, atau sengaja tak mau tahu?

Nah, ini adalah hal lain. Sudah tahu, tapi tak mau tahu alias bodo amat. Misalnya, udah tahu shalat lima waktu itu wajib, tetapi ia melalaikannya. Nggak mau tahu. Ujungnya, ya nggak dikerjakan kewajiban tersebut. Ini yang nggak boleh dilakukan seorang muslim yang berakal dan cerdas. Sebab, sudah tahu. Kalo udah tahu ya harus mengerjakan kalo itu kewajiban dan meninggalkannya kalo itu yang haram. Konsekuensinya memang begitu.

Ini artinya, kalo sudah tahu karena sudah menerima dakwah, atau menerima informasi, maka tidak boleh mengabaikannya. Dulu, ada teman saya cerita, bahwa temannya pernah merasa menyesal karena bertanya sesuatu kepada teman saya dan akhirnya ia jadi tahu. Lho, kok bisa nyesal, bukannya harusnya jadi senang? Iya, teman saya cerita, orang itu menyesal nanya tentang pacaran. Setelah diberi tahu nggak boleh, dia bukan bersyukur sehingga tidak terjerumus ke dalam dosa, malah menyesal gara-gara bertanya sehingga dia tidak bisa pacaran. Waduh, ada-ada aja ya. Masih mending sih kalo kemudian dia tetap tidak melakukan pacaran. Namun yang jadi masalah kalo dia sampe mengabaikan alias tak mau tahu lalu melakukan perbuatan salah tersebut. Bahaya!

Jadi, memang pembebanan kewajiban itu setelah adanya ilmu atau setelah tahu. Bisa tahu sesuatu karena adanya dakwah, bisa pula karena orang tersebut mencari informasi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS an-Nisa’ [4]: 165)

Itu sebabya, bersyukur ada yang memberi tahu. Jadi bisa mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Jangan sampe deh, udah tahu tapi nggak mau tahu lalu mengabaikan. Itu sih, namanya bandel karena udah dkasih tahu tapi nggak mau mengerjakan bahkan terkesan mengabaikan alias bodo amat.

Lupa, atau sengaja lupa?

Sobat gaulislam, ini persoalan kita semua sebagai manusia. Sebab, lupa itu manusiawi. Misalnya, lupa baca basmallah ketika hendak makan atau berwudhu. Lupa baca doa ketika hendak ke kamar mandi. Nggak inget pas masuk masjid nggak baca doa, karena keburu-buru datangnya. Lupa belum mengerjakan shalat, lalu waktunya udah lewat. Misalnya, saking asyiknya kerja atau ngobrol urusan duniawi, waktu dhuhur lewat dan ternyata sudah masuk waktu shalat ashar. Lalu, gimana? Kalo benar-benar lupa yang dimaafkan. Setelah ingat, langsung saja mengqadha shalatnya. Jadi, shalat langsung pada saat inget tersebut.

Berdasarkan keterangan yang saya kutip di laman rumaysho.com, terkait hal ini dijelaskan secara ringkas. Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadhanya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS Thaha [20]: 14), (HR Muslim, no. 684)

Cara mengqadhanya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin, “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadhanya segera secara berurutan. Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”

Bagi kamu yang benar-benar lupa atau nggak sengaja melakukan kesalahan, tenang aja. Nggak usah khawatir. Sebab, kalo keliru atau nggak sengaja, insya Allah akan dimaafkan oleh Allah Ta’ala. Bahkan jika dipaksa melakukan sesuatu sementara kamu nggak mau alias menolak dalam hati, ini juga termasuk yang insya Allah dimaafkan.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (HR Ibnu Majah no. 2045, al-Baihaqi VII/356, dan selainnya)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS al-Baqarah [2]: 286)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS al-Baqarah ayat 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR Muslim, no. 125)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR Ibnu Majah, no. 2045)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang masalah ini, “Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah al-Fatawa, jilid 25, hlm. 226)

Pembahasan tadi, jika kaitannya dengan hukum ukhrawi. Kalo kaitannya dengan hukum duniawi, maka ketentuannya sebagai berikut:

Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi). Termasuk dalam ini yang mirip seperti ketika umrah, bagi laki-laki tdak boleh mengenakan pakaian yang dijahit (misalnya walau mengenakan kain ihram, tetapi lupa masih mengenakan celana dalam atau celana pendek, maka ini pun kena dam alias denda).

Ada kaidah tentang membedakan lupa dalam printah dan larangan. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, jilid 2, hlm. 51)

Contohnya nih, makan di siang hari ketika shaum Ramadhan, maka haram. Namun, kalo dia lupa, tidak berdosa. Seperti tidak melakukan hal tersebut. Sedangkan kalo lupa mengerjakan shalat, bukan berarti gugur kewajiban tersebut. Justru ketika ingat, dia wajib mengerjakan shalat yang lupa dikerjakan tadi.

So, dengan demikian, intinya sih kalo emang lupa, nggak sengaja atau dipaksa, insya Allah akan dimaafkan oleh Allah Ta’ala. Namun, kalo sengaja berbuat salah, sengaja melupakan, sengaja pura-pura lupa, seperti ada pemimpin yang udah janji tapi pura-pura lupa ama janjinya saat kampanye, itu sih kebangetan. Apalagi niatnya memang mau melupakan, lebih parah lagi.

Lho, kok jadi ke sini? Iya, kan masih ada orangnya. Lagian pas juga dengan pembahasan ini. Kudunya ditagih janjinya. Sebab, kalo udah janji tentu ini ada konsekuensinya. Kalo sengaja mengingkari, sengaja pura-pura lupa pada janjinya, sengaja melupakan, ya berarti dosa dan harus mempertanggungjawabkan.  Berat benget tuh! [O. Solihin | IG @osolihin]