Wednesday, 4 December 2024, 01:01

gaulislam edisi 667/tahun ke-13 (13 Dzulhijjah 1441 H/ 3 Agustus 2020)

Pendidikan di negeri kita ini sebenarnya belum optimal hasilkan manusia yang adabnya bagus. Buktinya, banyak yang korupsi walau berpendidikan tinggi dan menjadi pejabat kelas atas. Buktinya kecurangan, kebohongan, dan saling menipu serta berkata kasar merajalela. Sudah dianggap biasa pula. Buktinya, yang buang sampah sembarangan juga bisa kita saksikan dengan mudah: ada yang melempar ke sungai, ada yang melempar dari kaca jendela angkot dan mobil mewah. Biasa, dan dianggap wajar.

Jadi, selama ini hal-hal yang seharusnya sudah dipahami di sekolah selama belajar diamalkan, dong. Ini, nggak semua ngamalin. Gimana ya, kok nggak bagus sih?

Sobat gaulislam, memang ini nggak semua begitu. Ada juga yang baik dan berhasil menerapkan adab dari ilmu yang didapat di sekolah. Hanya saja, kalah jumlah. Boleh dibilang masih ada banyak kegagalan. Padahal, itu untuk hal-hal yang prinsip, lho. Mestinya udah pada paham. Lalu, mengapa bisa begitu, ya? Nah itu dia, berarti pembelajaran itu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Nggak ada yang nyangkut di otak.

Daring dan luring tetap pusing

Daring alias dalam jaringan alias online saat ini sedang jadi tren ketika disandingkan dengan kata “belajar”. Ya, di masa pandemi ini belajar online jadi pilihan. KBM Online udah diterapkan juga di banyak sekolah. Di satu sisi memudahkan, tetapi di sisi lain menyusahkan bagi banyak kalangan. Selain tidak semua orang memiliki fasilitas macam ponsel cerdas, juga tak sedikit yang gaptek alias bingung pakenya. Belum lagi kalo ngomongin biayanya. Paling sering adalah biaya untuk akses internet. Tak semua pula siap merogoh kocek dalam-dalam, karena memang kagak ada duitnya meski saku dirogoh berkali-kali sampai dalam banget.

Dulu, sebelum pandemi Covid19, belajar secara luring alias luar jaringan alias offline alias tatap muka langsung, juga tak bisa dinikmati semua orang. Masih ada kendala, soal biaya. Jadi bagi yang memang terbatas secara kekuatan finansial, bayar sekolah sudah tak mampu. Di sekolah negeri yang bebas biaya pun, masih ada juga yang tak mampu karena hidup bukan sekadar untuk sekolah.

Ada lho saudara kita yang harus berbagi waktu antara belajar dan bekerja, padahal masih usia belia. Agar kondisi sulit itu bisa teratasi segera, akhirnya terpaksa harus memilih salah satu. Dan, yang paling rasional bagi mereka saat ini, bekerja. Sebenarnya yang disebut bekerja itu, bantu orang tuanya dengan berbagai peluang pekerjaan yang berpotensi bisa menghasilkan uang untuk hajat hidup sehari-hari.

Nah, untuk satu kondisi ini saja, masalah biaya, baik belajar daring maupun belajar luring, bagi sebagian besar saudara kita bikin pusing. Itu sebabnya, belajar jarak dekat dan belajar jarak jauh, sebenarnya jadi tak belajar. Ini tanggung jawab negara agar pendidikan merata bagi seluruh rakyat.

Selain pusing soal biaya, sehingga tak belajar, juga ada persoalan lain. Sistem pendidikan yang ada saat ini, baik luring maupun daring belum menjadikan manusia yang beradab seutuhnya. Ilmu dijejalkan setiap hari, tetapi aplikasinya minim. Baik soal adab, maupun keterampilan. Coba deh kamu lihat dengan seksama. Ada yang udah berhasil masuk ke sekolah unggulan, tetapi nggak belajar serius, akibatnya hanya buang biaya. Keterampilan tak punya, adab tak ada.

Ada juga kondisi dimana anak berhasil masuk sekolah unggulan. Keterampilannya didapat, mahir pula, cerdas secara teori. Namun, dalam adab ia minim sekali, bahkan ada yang kosong melompong. Sombongnya segede gaban, ujubnya bertingkat-tingkat, empatinya minus, kepeduliannya nol besar. Gawat juga, kan kalo model gini?

Bahaya bener. Banyak yang lulusan sekolah unggulan atau perguruan tinggi ternama, tetapi gaya hidupnya bikin muak. Belum lagi kalo bicara soal ajaran Islam. Mereka muslim dan muslimah. Orang tua mereka juga muslim. Namun apa yang terjadi?

Kesempatan untuk belajar dan kecerdasan yang dimiliki untuk meraih ilmu, tak membuat mereka kian taat. Islam sekadar mewarnai sedikit dari sekian episode kehidupannya. Mungkin sekadar tempelan saja. Jelas, ini sangat jauh dari hasil pendidikan yang benar dan baik. Sama saja dengan tak belajar. Sebab, belajar itu mestinya berpikir. Berpikir itu menghasilkan suatu perubahan ke arah kebaikan. Kalo nggak, berarti nggak belajar, dong. Bener apa betul?

Sobat gaulislam, jika yang gagal itu 3 dari 10 siswa, boleh dikatakan tingkat keberhasilan 70 persen. Udah lumayan sih. Berarti yang tiga itu nggak bisa ngikutin. Namun, gimana kalo angkanya terbalik, yakni 7 gagal, 3 berhasil? Berarti ada kesalahan dalam pembelajaran. Bisa pula kurikulumnya. Bisa pula pengajarnya. Banyak faktor sih, tetapi yang utama adalah sistem pendidikannya. Njomplang antara adab dan ilmu. Ada yang salah dalam penanaman akidah, dan kendornya pengawasan dalam syariat.

Nah, apalagi sekarang bukan pendidikan di era kejayaan Islam. Ini pendidikan di alam kapitalisme-sekularisme. Jauh berbeda dengan Islam. Jika pun ada yang berhasil tetap islami, maka itu adalah anugerah Allah Ta’ala baginya dan keluarganya. Sebagai buah dari ketakwaan individu kepada-Nya. Namun secara negara, negara telah gagal dalam mendidik rakyatnya secara umum. Kan, begitu ya logikanya?

   Masih banyak problem lainnya, dan memang nggak berdiri sendiri. Namun, cukup memberikan gambaran bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme-sekularisme ini melemahkan ghirah keislaman bagi kaum muslimin. Bahkan menjauhkan kedekatan kaum muslimin dengan ajaran Islam. Jadi, luring maupun daring sama-sama bikin pusing, dalam banyak hal, everything.

Adab dan disiplin

Pro-kontra pembelajaran jarak jauh atau biasa dikenal dengan istilah belajar online atau belajar daring, bukan pada persoalan fasilitas dan finansial semata. Lalu, dalam masalah apa? Ya, persoalan mendasar sih. Yakni penanaman adab dan disiplin sulit dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh. Kadang, dalam kondisi tatap muka, setiap hari bisa ketemu antara guru dan murid, bahkan guru langsung menegur saat muridnya tidak disiplin dan kurang adab, ada saja kendalanya. Apalagi jika diajarkan secara online dan jarak jauh. Betapa repotnya memang.

Misalnya kedisiplinan dalam mengatur waktu saja, kalo guru di sekolah, murid di rumah, jelas susah banget ngontrolnya. Selepas belajar online nih, belum tentu langsung mengerjakan tugas atau bantu orang tua. Bisa jadi malah kebablasan pegang hape lalu nonton beragam tayangan di youtube atau cas cis cus di grup WhatsApp temen-temen mereka atau ngelayap di media sosial chatting ngalor-ngidul ngulon-ngetan. Nggak ada juntrungannya. Waktu lebih banyak yang terbuang sia-sia. Nggak disiplin jadinya.

Padahal, kalo siswa ada di rumah, kan tanggung jawab orang tua mereka. Betul, tugas utama ketika anak di rumah, yang mendisiplinkan anak, ya ortunya. Namun, masalahnya tak semua orang tua sanggup mendisiplinkan anak. Ribet ya? Iya lah.

Belum lagi kalo di pondok pesantren. Banyak orang tua yang memang memilih pesantren sebagai tempat mendidik anaknya dengan tujuan agar anaknya shalih dan shalihah. Namun, apa mungkin bisa dicapai tujuan tersebut jika ternyata di pondok juga harus belajar jarak jauh di masa pandemi ini? Berat sih. Sebab, bukan sekadar disiplin, adab juga wajib ditanamkan. Gimana jadinya kalo gurunya di pondok, santrinya di rumah masing-masing. Susah bin mustahil bisa mendidik dan membina. Bener apa betul?

Kalo di sekolah atau di pondok, anak bisa dipantau guru. Bila melanggar bisa ditegur atau malah diberi sanksi. Menanamkan adab bisa langsung dengan melihat perilaku gurunya, lalu dipraktikkan dengan menjadikan guru tersebut sebagai teladannya. Banyak main-main, jelas buang-buang waktu.

Ada baiknya nih mengingat nasihat dari Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekadar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (dalam al-Jawabul Kafi, hlm. 109)

Belum lagi kalo bicara tentang adab, ini sangat luas. Mencakup seluruh aspek kehidupan. Coba kita runut, walau saya yakin belum semuanya bisa ditulis: adab dalam belajar, adab berbicara, adab terhadap al-Quran, adab bergaul sesama muslim, adab menjenguk orang yang sakit, adab berbakti kepada kedua orang tua, adab terhadap ilmu, adab terhadap guru, adab buang hajat, adab makan, adab dalam perjalanan. Dan, masih banyak lagi yang nggak bisa disebutkan semuanya. Beneran. Ini saking banyaknya. Perkara ini, tentu aja nggak bisa sekadar dikasih tahu sama gurunya melalui belajar jarak jauh, nggak bisa sekadar di internet. Susah ngontrolnya, terutama. Beneran!

Mengapa? Sebab, menanamkan adab itu butuh waktu, tenaga, pikiran, dan stamina yang kuat agar bisa konsisten mengawal dan membimbing. Akan sangat sulit jika dilakukan secara online. Jangankan melalui online (guru di pondok, santri di rumah), yang tatap muka langsung saja agak berat. Sebabnya, tak mudah menasihati orang. Pas ditegur sadar, beberapa waktu berikutnya lupa lagi. Begitulah. Harus terus, dan butuh waktu lama.

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata, “Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata, “Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Nah, sekarang gimana kalo belajarnya online terus? Susah mengejar target pencapaian dan sulit diukur. Bisa jadi pada saat dikasih materi via online, santri paham. Namun, setelah kajian selesai, dia lepas lagi karena tak hadir di lingkungan dekat gurunya. Dia masih di rumah, bergaul dengan temannya yang belum terwarnai dengan ajaran Islam, berkomunikasi di antara mereka dengan gaya mereka yang belum islami. Lupa semua pesan yang disampaikan gurunya via online. Miris banget, sih!

Selain itu, kalo belajar sekadarnya, apa yang bisa didapat? Hadir langsung di kelas banyak tidur dan bercanda langsung ditegur. Kalo belajar online, guru nggak bakalan tahu muridnya nyimak beneran atau justru sedang ngorok karena fitur videonya dimatikan sang murid. Parah, asli. Duh, yang model gini, mau jauh atau dekat tetap nggak belajar. Tepatnya, nggak mau belajar. Lalu apa yang didapat? Rugi waktu, rugi biaya, rugi tenaga. Nggak banget, ah!

Ayo, luruskan niat. Jangan memble meski di masa pandemi. Tetap semangat belajar. Tetap biasakan gaya hidup sehat. Tetap beribadah penuh gairah. Tetap dakwah meski di tengah wabah. Pembelajaran daring atau online hanya alternatif saja, jangan dijadikan yang utama apalagi kalo sampe jadi permanen. Gawat, Bro en Sis!

Sobat gaulislam, semoga pandemi Covid19 ini segera berakhir, dan belajar kembali normal. Tetapi normal baru dalam suasana kehidupan yang islami, dan negara menerapkan Islam sebagai ideologi. Salah satunya menjadikan pendidikan Islam sebagai sarana membangun akidah dan akhlak serta adab bagi kaum muslimin sebagai landasan dalam berpikir dan berbuat ketika mereka memiliki keterampilan agar dimanfaatkan untuk kebaikan. Setuju, ya! Eh, ini engap juga baca kalimat sebelum kalimat terakhir, habis nafas. [O. Solihin | IG @osolihin]