Ini bukan sedang berandai-andai mempertemukan timnas sepak bola Jerman dengan tim sepak bola PSIM Yogyakarta atau PSS Sleman. Bukan pula sedang bermimpi untuk saling berhadapan klub asal Jerman, Bayern Muenchen melawan Persiba Bantul. Nggak banget. Karena menurut feeling saya sih, Arab Saudi yang udah keren aja digunduli 8 gol tanpa balas di Piala Dunia 2002 oleh Michael Ballack dan kawan-kawan. Pikir-pikir, apalagi kalo kesebelasan PSIM Yogyakarta, PSS Sleman dan kesebelasan Persiba Bantul? Bukan tak mungkin kalo terjadi hujan gol ke gawang PSIM Yogyakarta, PSS Sleman atau Persiba Bantul.
Bukan pesimis dan ngerendahin, tapi emang prestasi kita jauh banget dibanding Jerman (PSS Sleman aja terancan degradasi ke Divisi I menemani Persiba Bantul). Lagian kebangetan kalo ngebandingan Bayern Muenchen ama PSIM, PSS dan Persiba. Hehehe. Oya, bahkan PSIM dan PSS udah ngajuin pengunduran diri dari Divisi Utama Liga Djarum, sementara Persiba juga akan ngundurin diri dari Divisi I Grup III Liga Indonesia dengan alasan seluruh fasilitas hancur dan pemainnya trauma gara-gara gempa. Maklumlah, klub-klub ini didanai dari APBD (Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah) dari pemda masing-masing. PSIM Yogyakarta aja tahun ini dapat jatah Rp 8,9 miliar (duit segitu sih setara dengan gajinya Andriy Shevcenko sebulan di Chelsea musim depan).
Sobat muda muslim, dengan judul tulisan “Jerman Vs Yogya� ini sekadar ingin merenung aja, bahwa perhatian kita, perhatian rakyat negeri ini, dan perhatian warga dunia akan lebih fokus ke Jerman ketimbang fokus ke Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Gemerlap pesta Piala Dunia akan mampu �menyihir’ kita untuk memalingkan perhatian dari mengurus atau merhatiin korban gempa. Saat ini aja penanganan terhadap korban gempa? masih jauh dari memuaskan, apalagi kalo udah digelar hajatan Piala Dunia pada 9 Juni ampe 9 Juli 2006 nanti, sebulan penuh, kayaknya makin terlantar aja deh. Kasihan banget ya?
Memang sih, nggak bakalan mungkin semua perhatian kita tumpahkan kepada saudara-saudara yang menjadi korban gempa. Kita semua adalah manusia, yang sudah punya tugas dan kewajiban sendiri. Pemerintah pusat dan daerah juga punya tugas lain selain ngurus korban gempa, negara lain juga sama harus memikirkan negerinya sendiri. Itu sebabnya, nggak bisa ngelarang juga bagi siapa pun untuk meminta orang lain lebih fokus ngurusin satu masalah. Karena memang masing-masing udah punya kegiatan tersendiri.
Hanya saja, kita sangat prihatin banget dengan cara penanganan yang dilakukan pemerintah negeri ini. Bukan ngejelek-jelekkin, tapi emang nggak memuaskan. Sejak Sabtu pagi, 27 Mei 2006, gempa melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah, terutama Klaten, sampai sekarang masih aja ada korban gempa yang nggak keurus. Bahkan, gempa yang terjadi pada dua pekan menjelang digelarnya Piala Dunia di Jerman itu, kini mulai kehilangan daya tarik masyarakat, kalah dengan gemerlap pesta Piala Dunia.
Padahal, gempa berkekuatan 5,9 pada skala Richter (menurut catatan Badan Geologi Departemen ESDM angkanya 6,2 pada skala Richter) telah memakan lebih dari 6.000 korban jiwa dan merusakkan hampir 100 ribu bangunan.Cukup besar memang. Karena kekuatan ini konon kabarnya setara dengan ledakan 56 ribu ton bom atau setara dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima, Jepang pada 1945.
Buruknya kita
Ungkapan sebuah iklan rokok yang cukup menyindir rumitnya birokrasi di negeri ini seharusnya menjadi renungan. Kayaknya banyak juga deh di antara kita yang tahu bunyi ungkapan itu. Yup, “Jika masih bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Tanyaken apa?�
Udah jadi rahasia umum kalo ngurus KTP aja bisa berhari-hari, malah saya sendiri mengalaminya. Sehari-dua hari masih saya tanya. Seminggu saya tanya lagi, belum kelar. Sebulan, juga belum kelar. Akhirnya saya biarkan hanya karena ingin tahu apakah benar selama ini anekdot dari temen-temen kalo ngurus KTP aja bisa lama. Ternyata setelah dua tahun pun belum kelar juga. Mungkin arsipnya udah hilang. Ah, untung uangnya nggak besar yang saya keluarkan, jadi nggak terlalu rugi. Atau… jangan-jangan karena nggak besar itulah akhirnya nggak kelar-kelar KTP-nya? Hehehe…
Nah, budaya birokratis ini pun ternyata menimpa korban gempa, lho. Di Yogya, ada oknum petugas posko bantuan yang memberikan syarat bagi korban gempa yang hendak ngambil jatah bantuan kudu nunjukkin KTP-nya. Walah, keburu kelaparan dong. Karena birokrasinya harus berbelit. Jangan-jangan nanti kudu ngurus KTP dulu? Lama lagi dong? Aduh, nggak kebayang gimana ribetnya.
Belum lagi soal meratanya bantuan. Meski bantuan terus mengalir dari berbagai pihak, termasuk dari luar negeri, tapi masih banyak rakyat yang mengaku tak menerima bantuan. Bahkan seorang teman di Yogyakarta yang kebetulan menjadi bagian dari korban gempa, menuturkan bahwa di tempat tinggalnya saja, bantuan yang datang nggak sebanding dengan jumlah korban gempa. Akibatnya, ketua RT setempat rela nombokkin dari kas RT untuk membeli beras senilai Rp 2 juta. Ah, di mana bantuan itu? Terasa begitu lambat datangnya.
Sudah hampir? dua minggu setelah gempa, ketika artikel ini ditulis, pemerintah masih kebingungan ngurus korban gempa. Hari pertama bengong dan terkaget-kaget. Hari kedua, sibuk koordinasi. Hari ketiga, kewalahan nerima bantuan. Hari keempat, baru kirim-kirim bantuan. Hari kelima banyak warga yang nggak tersentuh bantuan. Hari keenam mulai ribut saling menyalahkan. Ah, jangan-jangan nanti malah lupa karena sibuk nonton Piala Dunia yang kayaknya nggak mungkin banget untuk dibatalin gara-gara gempa di negeri ini. Menyedihkan sekali.
Lebih lucu dan parah lagi adalah masih juga ada pihak-pihak atas nama penjaga situs bersejarah malah mikirin gimana caranya ngerenovasi Candi Prambanan yang rusak dihajar gempa. Kalo sampe kejadian kayak gitu, sementara nasib manusia masih terlantar, kasihan banget nasib makluk hidup bernama manusia yang kalah bersaing untuk mendapatkan perhatian dengan benda mati bernama candi. Aneh tapi nyata!
Entah, mungkin ketika pertandingan perdana Piala Dunia 2006 digelar pada 9 Juni 2006 ini di Stadion Allianz-Arena, Munich, yang mempertemukan tuan rumah Jerman dan Kosta Rika, nasib saudara kita di Yogyakarta dan sekitarnya justru sedang sibuk mencari makanan, tempat berteduh untuk tidur, dan sambil khawatir diguncang gempa susulan.
Bukan mustahil pula ketika Miroslav Klose berhasil menyarangkan bola ke gawang Kosta Rika, bukan hanya stadion Allianz-Arena yang bergemuruh sorak-sorai menyambut kemenangan, tapi seluruh jutaan pendukung Jerman di dunia akan berteriak senang dan mungkin menangis haru. Pada saat bersamaan, ada jerit dan tangis warga korban gempa di Yogyakarta dan sekitarnya yang menahan lapar dan diliputi kecemasan. Bukan mustahil kan?
Ketika pertandingan demi pertandingan digelar, mungkin saja warga korban gempa juga bisa menikmati hiburan dari para bintang sepak bola dunia yang berlaga di Piala Dunia. Tapi, apakah urusan perut bisa kenyang hanya dengan melihat aksi Ronaldinho menggocek bola dan memasukkannya ke gawang lawan? Bagaimana dengan kita di sini? Jangan-jangan, setiap malam malah begadang nonton sepak bola dan lupa sama saudaranya, meski dengan hanya mengirimkan doa di shalat malam.
Sobat muda muslim, dalam sepak bola sering terjadi psywar alias perang urat syaraf untuk meruntuhkan mental tim lawan. Perang itu bisa berupa menjelekkan tim lain biar orang mendukung timnya. Sementara ketika gempa di Yogya dan sekitarnya, perang urat syaraf kerap dilakukan oleh para oknum politisi yang memanfaatkan kondisi ini untuk menjelekkan lawan politiknya. Ah, menyedihkan sekali.
Sobat, bukan pula maksud kita nuduh yang nggak bener, bukan juga meragukan niat baik masyarakat kita untuk nyumbang korban gempa dengan menggelar posko-posko di pinggir jalan. Tapi, maaf, ternyata ada juga yang tega mengais rejeki di atas penderitaan korban gempa. Itu sebabnya, stasiun Metro TV aja mengumumkan bahwa mereka tidak pernah membuka posko di sembarang tempat. Itu dilakukan untuk menghindari pencatutan nama lembaganya dalam menghimpun dana.
Memang sulit melacak aliran dana dari banyaknya posko yang bertebaran di jalanan, apakah nyampe ke korban, atau malah menjadi ladang nyari usahanya? Wallahu’alam. Semoga saja, korban gempa bukan menjadi komoditas unggulan untuk nyari usaha dari beberapa oknum masyarakat atas nama mereka. Kasihan. Kalo pun kita nggak bisa menolong mereka dengan harta dan tenaga, ya minimal dengan doa. Jangan malah mengeksploitasi penderitaan mereka demi keuntungan pribadi. Oke?
Antara Jerman dan Yogya
Pernah tahu berapa harga tiket nonton pertandingan langsung di Piala Dunia nanti? Harga tiket paling mahal dalam acara pembukaan adalah 300 euro atau sekitar Rp 3,57 juta (kategori 1) dan yang paling murah (kategori 4) tiketnya berbandrol 65 euro atau sekitar Rp 773 ribu. Harga tiket itu kian meroket pada babak final. Paling mahal dibandrol 600 euro (Rp 7,14 juta) dan paling murah Rp 1,42 juta. Coba sekarang kalkulasikan sendiri, harga-harga tiket itu dikalikan jumlah penonton yang biasanya mencapai puluhan ribu orang di satu stadion, lalu kalikan 64 pertandingan selama sebulan penuh. Ckckck…
Sekarang kita nengok ke Yogya dan Klaten, berapa jumlah dana untuk korban gempa yang berhasil dikumpulkan? Mungkin termasuk besar dan seharusnya bisa segera menyelesaikan problem korban gempa jika tidak belibet birokrasinya. Bantuan yang udah kelihatan gede-gede (setidaknya yang tecatat di media massa), kayaknya cukup bisa membantu deh. Entah itu bentuknya hibah alias cuma-cuma atau dalam bentuk pinjaman lunak.
Menurut Koran Tempo edisi 31 Mei 2006, beberapa negara yang ikut menyumbang untuk Indonesia (di buletin kesayangan kamu ini hanya ditulis sepuluh dari 29 negara yang disebutkan di Koran Tempo), di antaranya: Jepang (Rp 93, 84 miliar); Inggris (Rp 68 miliar); Arab Saudi (Rp 46 miliar); Uni Emirat Arab (Rp 36,8 miliar plus 39 tenaga medis); Kuwait (Rp 36,8 miliar); Amerika Serikat (Rp 23 miliar dan 100 tenaga medis); Italia (Rp 23 miliar); Australia (Rp 21,16 miliar); Korea Selatan (Rp 18,4 miliar plus 19 tenaga medis dan obat-obatan); Cina (Rp 18,4 miliar). Bayangin deh, dari 10 negara aja yang nyumbang, paling nggak dananya udah terkumpul Rp 385,4 miliar. Belum lagi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah plus dari bantuan banyak pihak dan lembaga di negeri ini. Pastinya udah terkumpul dalam jumlah besar kan?
Mungkin dana ini, jika disalurkan dengan benar langsung kepada korban gempa, bisa lebih bermanfaat dan cepat mengakhiri penderitaan saudara kita di sana. Meski tentunya masih kurang kalo harus membangun puluhan ribu rumah dan bangunan lainnya yang poranda akibat gempa. Tapi seenggaknya kalo urusan makan, pakaian, dan tempat yang rada mendingan buat tidur (karena ada warga yang harus berdesakan di kandang kambing) aja sih insya Allah cukup. Lagian dananya juga insya Allah akan terus mengalir. Entah, nanti kalo hajatan sebulan penuh Piala Dunia digelar. Mungkin, aliran dana akan lebih banyak disetor ke para bandar judi untuk taruhan nebak skor akhir pertandingan. Bukan tak mungkin kan?
Jerman sebagai shahibul bayt World Cup 2006, akan terus mendapat sorotan dunia. Dan Yogyakarta, Bantul, Sleman, dan sekitarnya yang poranda digoyang gempa lambat-lambat laun akan dilupakan. Jeritan histeris menyaksikan pertandingan sepak bola akan beradu kuat dengan jeritan histeris yang minta pertolongan dan kelaparan. Jangan-jangan, mungkin akan banyak nyanyian, tangisan, jeritan, dan haru di Jerman sana ketimbang di Yogyakarta. Wallahu’alam. [solihin]
(Buletin STUDIA – Edisi 297/Tahun ke-7/12 Juni 2006)