Thursday, 21 November 2024, 19:23

gaulislam edisi 598/tahun ke-12 (3 Sya’ban 1440 H/ 8 April 2019)

Mau bikin rame-rame ah dengan bahas tema politik kekinian. Sebab, obrolan harian kita kayaknya didominasi juga dengan pilpres dan pileg. Nggak di medsos, nggak di kehidupan nyata. Ngompol alias ngomong politik melulu. Jadi, sekalian aja lah bikin tambah panas saya tulis juga di edisi kali ini.

Sebenarnya gaulislam sudah sedikit membahas tema seperti ini di edisi sebelumnya, silakan cek edisi yang judulnya: “Ingar Bingar Tahun Politik” di awal tahun ini. Tapi, karena dirasa bulan April ini adalah momen besar itu, maka saya coba bahas lagi deh dengan muatan pembahasan lebih dalam dan semoga lebih luas. Apalagi perkembangan belakangan banyak yang baru dan perlu juga kamu tahu sebagai remaja. Meski kayaknya berat, tapi semoga tulisan ini tetap dikemas menarik secara bahasa dan gaya penulisan. Sehingga bisa dengan mudah kamu pahami walau yang nulis harus memeras keringat menyusun bahasa agar mudah dipahami. Siap-siap, ya!

Iya, saat gaulislam edisi ini diterbitkan, sudah tanggal 8 April 2019. Artinya, menuju helatan Pilpres dan Pileg dalam Pemilu 2019 ini sudah sangat dekat. Kampanye sudah digelar banyak, debat di televisi antara capres dan cawapres juga sudah ditayangkan. Para paslon dan tim sukses tinggal menyiapkan strategi pemenangan di akhir kompetisi agar hasilnya pas 17 April 2019 itu menyenangkan mereka. Intinya, masing-masing paslon dan timsesnya pengen menang. Tetapi secara fakta, nggak mungkin kedua kubu jadi juara. Mesti ada yang kalah dan yang menang. Itulah kompetisi. Maka, judul ini sengaja dibuat langsung supaya gampang diingat: Jokowi atau Prabowo?

Antara strategi, fitnah, dan sebar hoax

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kedua paslon sudah diadu dalam beberapa debat terbuka yang ditayangkan televisi. Konon kabarnya, tujuan diadakan debat terbuka dan ditayangkan televisi agar rakyat tahu siapa paslon yang paling memungkinkan untuk menjadi pemimpin di negeri ini lima tahun ke depan. Gagasan yang dituangkan dalam visi dan misi serta target yang hendak dicapai jika menjadi pemimpin negeri ini, sudah pula dijemberingin. Silakan kamu cek sendiri. Walau menurut saya sih kedua paslon masih berputar di wacana dan normatif belaka.

Tapi inilah mekanisme demokrasi yang harus ditempuh. Berat memang, karena bisa jadi “membeli karung dalam kucing”, eh, membeli kucing dalam karung. Cuma bisa denger “meong-meong aja”, tapi nggak tahu apakah kondisi kucing tersebut cacat fisik atau nggak. Masih gelap sih intinya.

Bagaimana di lapangan dan di media sosial? Di lapangan kalo dilihat saat kampanye terbuka sih, memang meriah ya. Banyak yang datang. Banyak yang ikut. Kemarin saja, 7 April 2019, saat kampanye Prabowo-Sandi, luar biasa banyaknya orang yang berjejalan di Gelora Bung Karno Jakarta. Sampe-sampe ada yang bilang, ini kampanye terbesar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Hmm..  bisa jadi sih. Saya lihat juga banyak banget. Walau nggak ikut ke sana, tapi bisa nyimak via streaming youtube.

Saya baca juga tuh beberapa komen dari banjirnya komentar yang mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Tetapi secara fakta di lapangan memang kampanye Prabowo-Sandi lebih menarik. Paslon ini diuntungkan dengan semangat rakyat  dalam melawan kezaliman penguasa yang juga ikut nyalon lagi.

Sebaliknya, kubu 01, yakni paslon Jokowi-Amin terlihat kedodoran di lapangan. Kampanye terbukanya di beberapa daerah sepi pengunjung. Sebenarnya nggak sepi-sepi amat sih, cuma memang kalah jumlah jika dibandingkan dengan massa yang hadir di setiap kampanye terbuka paslon 02. Tapi di media sosial pendukung 01 yang kehilangan akal waras malah bikin ulah. Terakhir ada yang meng-klaim sebuah foto lalu ditulis: “Batam 100% Jokowi”. Eh, nggak lama ada yang kirim bantahan sambil nunjukkin bahwa foto tersebut adalah kegiatan di tempat lain di luar negeri. Hadeuuh, capek deh!

Sudah sangat dipahami warga twitterland, kalo kubu 01 memang gemar memproduksi dan menyebarkan hoax. Pernah beredar dan bikin ngakak itu soal jalan tol di Papua. Kok malah ada bus “Doa Ibu” di jalan tersebut. Kacau kan? Tapi entah lah, mungkin doyan kali bikin hoax.

Kalo digituin biasanya kubu 01 ada yang nggak terima, lalu membalas bahwa kubu 02 juga sering bikin hoax. Bikin bingung, kan? Tapi ya sudahlah. Nanti juga akan ketahuan, cepat atau lambat. Sekarang, fakta yang ada udah menunjukkan bahwa memang hoax dan fitnah sering disebar kubu petahana. Setidaknya jika saya melihatnya di media sosial.

Oya, jangan lupakan juga bahwa ada kubu yang senangnya “adu domba”. Nah, meski belum ketahuan secara pasti siapa mereka (mungkinkah kelompok Cicak bin Kadal? Eh, itu sih kayak di film “Bing Slamet Koboi Cengeng”–hahaha… ketahuan penulisnya udah bangkotan karena tahu film jadul), tapi bisa jadi gelagat aksinya mudah dilihat karena sudah nampak di lapanan. Cirinya, biasanya kalo kedua kubu lagi adem, ada aja yang tiba-tiba lempar bom yang tujuannya agar kedua kubu berantem lagi. Ada-ada aja ya? Begitulah, politik yang digeber demi meraih kekuasaan belaka.

Adu strategi itu bagus, tapi kalo bikin fitnah dan hoax sih nggak banget lah. Pengen menang sih wajar, manusiawi. Tapi kalo sampe curang demi kemenangan, itu yang nggak keren! Beneran. Kalo mau fair sebenarnya bisa. Cuma, masalahnya siap atau nggak? Begitu.

Siapa mendukung siapa

Sobat gaulislam, bagi kita kaum muslimin, siapa mendukung siapa bisa ditelusuri dalam banyak ayat dan hadits. Contoh mudah pertemanan. Orang yang berangasan bin berandalan pastinya berteman dengan yang sekarakter. Mereka yang baik akhlaknya, pastinya akan nyaman bergaul dengan yang baik pula akhlaknya. Sederhananya, pencuri gaulnya ya nggak jauh dari sesama pencuri dan perampok. Santri dan ustaz, tentu normalnya merasa nyaman bergaul dengan sesama santri dan ustaz lagi. Itu fitrahnya. Nggak bisa disatukan. Ketika digabung, mesti ada cek-cok dan berantemnya. Nggak akur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Seorang mukmin cerminan dari saudaranya yang mukmin” (HR al-Bukhâri, dalam al-Adabul -Mufrad no. 239)

Penjelasan atas hadits ini, saya kutip dari almanhaj.or.id sebagai berikut:

Kalau seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.

Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh (jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda (yang artinya), “Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah)” (HR al-Bukhâri no. 3336 dan Muslim no. 6708)

Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman” (HR Abu Dâwud no. 4833 dan at-Tirmidzi no. 2378)

Sudah dapat dipastikan, bahwa seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.

Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Qâsim (yakni Imam Masjid Nabawi dan hakim di Mahkamah Syariah Madinah) berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing” (HR al-Bukhâri no. 3499 dan Muslim no. 187)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa terpengaruh, maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat? Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? (dalam Khuthuwât ila as-Sa’âdah hlm. 141)

Nah, sekarang ngomongin para pendukung paslon 01 dan paslon 02. Siapa saja yang mendukung mereka? Kita mulai dari partai pendukung dulu ya. Ada 9 partai pendukung Jokowi-Amin, yakni: PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, PSI, Perindo, PKPI, dan Hanura. Wuih, udah ketahuan kan siapa mereka. Belakangan emang ada partai Islam, PBB. Tapi kayaknya itu bunuh diri deh.

Sementara partai pendukung Prabowo-Sandi yang utama adalah Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat. Kita juga perlu tahu partai itu dihuni siapa saja, kan. Tapi yang jelas partai-partai pendukung Jokowi lebih liberal.

Selain itu, para pendukung Jokowi aneh-aneh, ada Abu Janda yang benci sama Islam dan kaum muslimin, ada Ade Armando yang doyan fitnah dan sangat liberal. Denny Siregar sang loyalis Jokowi. Hadeuuh.. warga twitterland sih udah paham kelakuan mereka yang bejat.

Eit tunggu dulu. Memang sih, dalam politik mah nggak ada kawan yang abadi dan nggak ada musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Bisa saja suatu saat saling mendukung dan bahkan saling menyerang. Lihat saja nanti. Namun, karena yang dilihat saat ini adalah ijtima ulama yang merekomendasikan Prabowo-Sandi, jadi bagi kaum muslimin sih setidaknya lebih taat kepada ulama. Udah gitu di kubu 01 yang dukung adalah kebanyakan orang-orang yang benci Islam dan kaum muslimin. Jadi udah jelas posisinya, kan? Nah, sudah paham banget siapa mendukung siapa, kan?

Lalu bagaimana kita?

Sobat gaulislam, untuk menjawab pertanyaan di subjudul ini, saya mengutip jawaban seorang ustaz di sebuah grup kajian Islam. Saya ringkas jadi seperti ini pendapat beliau:

Hampir satu abad berlalu dan umat Islam tidak lagi memiliki negara yang berasaskan hukum syariat Islam, urusan negara sudah diserahkan kepada partai-partai politik di dalam sistem kepresidenan maupun parlemen yang lebih banyak diberlakukan di sebagian besar dunia Islam; atau diserahkan kepada dinasti atau kerajaan seperti di Saudi Arabia, Yordania, Maroko, dll; atau diserahkan kepada keluarga kesultanan seperti di Oman, Brunei, dan lainnya.

Begitu pula peran partai politik yang mencalonkan capres dan cawapres, anggota legislatif dan pemimpin-pemimpin daerah, umat dijadikan robot yang sudah diprogram untuk memilih orang-orang yang sudah dicalonkan oleh partai-partai politik terlepas suka atau tidak suka, maka pada hakikatnya umat Islam tidak diberi hak secara langsung untuk memilih pemimpinnya, apalagi partai-partai politik yang sekuler jauh lebih besar jumlah anggotanya dibandingkan partai-partai Islam.

Kondisi umat Islam sangat menyedihkan, apalagi setelah haknya dalam memilih pemimpin muslim yang sejati telah dirampas dan diberikan kepada pemimpin muslim yang berwatak dan berjiwa sekuler bahkan tak sedikit yang tanpa rasa malu menentang kehadiran Islam dalam kancah politik dan pemerintahan dengan berdalih kepada bahayanya Islam radikal maupun Islam fundamental; di lain sisi mereka hanya siap menerima aspek ritual dan moral dari Islam, yang dibungkus dengan janji perubahan yang berlabel Islam secara bertahap atau sebatas otonomi daerah.

Dalam kondisi seperti ini apa yang harus dilakukan oleh umat, “maju kena, mundur kena”, “apakah harus diam dan membiarkan urusan mereka diatur oleh negara adidaya atau partai-partai liberal dan sekuler” atau harus berbicara dan menolak setiap pemerintahan yang tidak memihak pada Islam dan tidak menguntungkan umat Islam yang merupakan mayoritas rakyat di setiap negeri Islam.

Sudah saatnya umat bergerak dan memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh penguasa dunia Islam. Perubahan tidak harus serentak karena hal ini mustahil terjadi, tapi perubahan dilakukan disesuaikan dengan fakta dan perkembangan yang ada di dunia Islam. Tidak harus menunggu negara Islam tegak untuk melakukan perubahan secara menyeluruh, melainkan perubahan dilakukan sesuai dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi di setiap dunia Islam.

Kalau di Syria, Irak, Yaman, dan Afganistan kaum muslimin harus mengangkat senjata untuk mengganti pemimpin atau mencegah invasi Amerika dan negara-negara sekutu dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia kaum muslimin harus mengangkat pemimpin yang muslim yang mencintai Islam dan rakyatnya serta menginginkan penerapan syariat Islam kalau memang ada calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut.

Kalau tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut maka bukan berarti tidak boleh sama sekali memilih pemimpin yang lebih memihak pada Islam dan menguntungkan kaum muslimin serta menjauhkan bahaya invasi dari luar dan mencegah aset negara dijual ke pihak asing dan berbagai kebijakan lainnya yang diumumkan oleh pemimpin tersebut meskipun dia tidak menghendaki Indonesia menjadi negara yang berasaskan syariat Islam.

Dalil yang digunakan dalam hal ini ialah ketetapan hukum dalam pemilihan pemimpin yaitu memilih pemimpin yang mudharatnya jauh lebih ringan dibandingkan dengan calon pemimpin lainnya.

Imam as-Suyuthi menggunakan kaidah-kaidah fikih berikut yang membantu dalam menentukan satu pilihan di antara beberapa pilihan lainnya yaitu: “Apabila bertentangan dua kerusakan/kemudharatan atau bahaya, ditinjau yang paling besar bahayanya di antara keduanya dengan mengambil yang paling ringan”

Maksudnya apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan suatu tindakan bahaya lainnya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan. 

Dari kaidah ini lebih lanjut lahir sejumlah kaidah turunan dalam persoalan–persoalan mikro antara lain Imam Suyuthi juga menyebut kaidah-kaidah lain seperti: “Menolak kerusakan/kemudharatan atau bahaya lebih didahulukan dari pada mendatangkan suatu kepentingan atau maslahat).”

Artinya apabila terjadi pertentangan antara bahaya dan maslahat, maka yang harus didahulukan ialah mencegah kerusakan.

So, pilih Jokowi atau Prabowo? Prabowo memang belum terbukti bisa memimpin negara, tetapi Jokowi sudah terbukti gagal memimpin negara karena banyak ingkar janji dan menzalimi rakyat. Kalo sampe didukung dan menang lagi, ya keburukan akan terus belanjut. Betul?

Hmm… memang sih ini masih dalam lingkaran aturan demokrasi. Bukan Islam. Banyak juga yang nggak setuju keduanya, karena mereka meyakini bahwa paslon 01 maupun paslon 02 sama-sama ada yang bakcup dari kekuatan asing.

Ya, kalo masih terus ribut soal begini, nggak akan selesai urusan. Ada baiknya menuruti saran seperti yang dikatakan Habib Rizieq Shihab, “rebut dulu, baru ribut!”

Benar, rebut dulu kekuasaan dari pemimpin yang tidak suka Islam dan ulama. Jadikan pemimpin yang didukung ulama. Setidaknya untuk saat ini sambil mengatur strategi ke depan dalam rangka menegakkan Islam lebih sempurna (walau mungkin nantinya masih ribut nyari solusi terbaik). Nah, gimana, lebih masuk akal, kan? [O. Solihin | IG @osolihin]