Kasihan, itulah mungkin sepatah kata yang paling tepat dialamatkan kepada Josh Bhus. Kegagahan tampangnya dulu selalu dipamerkan di depan Anita atau Karmila, dua gadis sampul yang menjadi adik kelas di sekolahnya. Sampai-sampai kerbau betina muda juga ikut berdengus kalau melihat Josh. Tapi kini tubuh Josh menciut dan menjulur karena tulang belulangnya lebih dominan ketimbang dagingnya. Pipinya membentuk kawah lokal yang sangat cekung. Ukuran lengannya tidak terlalu berbeda dengan ukuran jempol kakinya. Dan yang lebih heboh lagi, bulu hidungnya jauh melebihi panjang hidungnya yang menandakan dia sudah tidak peduli akan dirinya sendiri. Josh korban narkoba yang berbahan dasar methylenedioxymethamphetamine atau MDMA jenis gold river.
Tidak ada yang menyangka kalau Josh akhirnya akan tenggelam dalam kubangan lumpur narkoba. Semuanya selalu mengaitkan Josh dengan segala kebahagiaan yang mungkin didambakan oleh setiap remaja. Harta dan status sosial orang tuanya sudah dianggap cukup untuk mengcover segala keinginan dan kemauannya atas segala gemerlap dunia remaja. Kalau remaja lain hanya cukup menghibur diri dengan cara mancing ikan di empang Mang Midun, tapi Josh mampu berlibur di Hawaii sambil sesekali mencermati secara ‘fokus’ obyek-obyek tipikal Pamela Anderson. Ketika remaja lain sedang menikmati hangatnya bajigur, Josh justru ada di club dan cafe untuk menikmati berbagai hal yang bisa memberikan rasa hangat dalam bentuk lain. Namun ternyata kebahagiaan itu tidak selalu identik dengan terpenuhinya segala apa yang diinginkan. Buktinya Josh terjerumus ke narkoba konon katanya justru karena ingin mencari kebahagiaan dan meredam stres. Ternyata selama ini Josh tidak mencicipi kebahagiaan alias sengsara.
Kalau saja terbuat dari tali celana kolor tentu saja urat jantung Tuan Sufi sudah copot saking kagetnya. Di depannya berdiri lusuh Matt Sorum Abu Jahil ayahnya Josh. Tuan Sufi masih ingat bagaimana Matt Sorum yang kepala sekolah itu melarangnya dengan kasar ketika dia memberikan pengajian untuk aktivis Islam di sekolah itu. Matt Sorum menuding Tuan Sufi sebagai bibit terorisme karena mengajak aktivis sekolah untuk berani mendakwahkan kemulian syari’at Islam. Sebenarnya Matt Sorum dan Josh adalah Muslim tapi isu global telah menjadikannya islamophobia. Sekarang dia minta Tuan Sufi untuk memberikan terapi mental spritual terhadap anaknya yang hampir hancur digrogoti narkoba.
Tuan Sufi tersenyum. Sementara Matt Sorum terdiam dengan berbagai khayalan menerawang kemana-mana. Harga dirinya masih terasa memuncak sehingga dia tidak terbersit untuk minta maaf atas sikapnya selama ini kepada Tuan Sufi. Dia menganggapnya terapi ini tidak jauh dari bisnis Tuan Sufi untuk mengobati para korban narkoba. Jadi terlalu besar kalau sampai masuk masalah-masalah maaf memaafkan. Kumis Matt Sorum yang lebat hitam sepertinya jadi tempat persembunyian dedemit tetangganya ifrit sehingga kesombongannya selalu menjadi hijab penghalang atas kebenaran.
‘Saya bersedia membina Josh meskipun ini sebuah keterlambatan‘, komentar Tuan Sufi menggelitik Matt Sorum untuk mulai berfikir. Tuan Sufi menjelaskan bahwa terapi mental spiritual sebenarnya keterlambatan dan bukan solusi Islam atas narkoba. Islam justru mengajarkan pembinaan (tastqif) keislaman saat kondisi sedang fit untuk membangun generasi yang mempunyai kepribadian (syakhshiyyah) Islam. Sehingga mereka faham dan merasa benci terhadap segala kemunkaran termasuk narkoba. Jadi bukan setelah teler nyaris semaput baru diterapi dengan agama. ‘Yang penting lagi, pembinaan keislaman agar terikat dengan syari’at Islam bukanlah bibit terorisme tapi sebagai langkah mencapai kemulian (‘izzah) diri dan kaum Muslimin‘, lanjut Tuan Sufi. Matt Sorum Abu Jahil hanya mendengus lirih. Perbincangan mereka terhenti begitu terdengar adzan dzuhur dan mereka pun beranjak untuk shalat. Bagi Matt Sorum dan Josh baru kali ini melakukan shalat berjama’ah di masjid. Setitik kesadaran mulai muncul, bahwa selama ini dirinya sedang terpuruk dalam kenistaan. [Sadik]
[diambil dari Majalah Permata, edisi Nopember–pekan ke-2, 2002]