By: Jazimah Al-Muhyi
“Mengapa orang harus beragama?”
“Mengapa?”
“Mengapa balik bertanya?”
“Pertanyaanmu lucu.”
Seorang laki-laki berperawakan sedang, berambut cepak, berkulit putih, duduk di bangku semen di bawah pohon. Lawan bicaranya, yang punya ciri fisik hampir sama, hanya sedikit lebih kurus, berdiri memunggungi. Tangan kirinya memegang ranting kering, sementara tangan kanannya perlahan mematah-matahkan ranting itu sedikit demi sedikit.
“Semua agama mengajarkan pada kebaikan. Lalu, untuk apa memilih agama? Meyakini hal-hal yang aneh. Memaksa diri melakukan ritual peribadatan yang melelahkan, bahkan seringkali tidak efisien.”
“Apa kau pikir orang beragama terpaksa melakukan itu semua?”
“Kupikir, ya.”
“Termasuk aku?”
“Mengapa kau malah bertanya padaku?”
Si Sedang tersenyum, lalu melanjutkan perkataannya pada si Kurus yang sudah beralih posisi. Duduk di bangku semen yang sedikit rusak., “Apa selama ini kamu tidak beragama?”
“Dulu pernah. Tapi, setelah kurasa tak ada gunanya lagi, aku berniat tak memeluk agama mana pun.”
“Tidak ada gunanya?”
“Apa kau pikir ada gunanya. Lihatlah mereka yang mengaku beragama tapi hobi berbuat onar di muka bumi ini. Bagiku, yang penting menjadi orang baik.”
Si Sedang menebarkan senyum. “Baik. Lalu, apa ukurannya?”
“Menolong orang, itu baik. Tidak usil terhadap urusan orang lain, itu baik. Mudah saja. Manusia punya akal. Bisa berpikir.”
“Menolong orang? Siapa pun orang itu?”
“Tentu saja.”
“Termasuk jika mereka adalah para pencuri, koruptor, jambret, dan sebagainya?”
“Ya!” Si Kurus membusungkan dada.
“Bila mereka berbuat salah lalu memintamu untuk menyembunyikan kejahatan mereka, apakah kau juga akan kabulkan?”
Si Kurus menghembuskan nafas. “Apa inti pembicaraanmu yang berputar-putar sedari tadi?”
“Manusia butuh standar nilai untuk mengambil sikap dalam kehidupan. Dan itu adalah agama. Satu sistem aturan yang lengkap buatan Tuhan.”
“Tuhan katamu? Hah…itu cuma dalil orang yang malas berpikir untuk mencari solusi dalam kehidupannya. Apa gunanya Tuhan kasih kita otak kalau apa-apa kita musti mencari tahu apa mau Tuhan?”
“Karena itulah fungsi otak menurut-Nya.”
“Apakah orang menurut saja perlu otak?”
“Tentu.”
“Tak perlu banyak mendoktrinku. Aku sudah muak! Berikan bukti kalau kau mampu.” Si Kurus berkacak pinggang.
“Allah perintahkan manusia menutup aurat. Lalu muncul tradisi berpakaian,? muncul ahli jahit, lalu muncul pula ahli yang menciptakan mesin untuk produksi kain secara massal.”
“Cuma itu?” Si Kurus tersenyum mengejek.
“Allah perintahkan haji. Lalu manusia berpikir tentang bagaimana mencapai Mekah secara lebih cepat, bagaimana membuat konstruksi bangunan yang lebih aman bagi jamaah, kemudian…”
“Stop, sedari tadi siapa yang sebenarnya sedang kau ceritakan? Orang Muslim?”
“Siapapun yang mengimani Allah.”
“Kau pikir, orang yang menemukan mesin-mesin, sarana transportasi canggih, sarana informasi modern adalah orang-orang yang katamu beriman itu? Kau pikir, agama punya peran di balik semua kecanggihan teknologi yang kita nikmati sekarang ini? Huaa..ha…haaa….kamu mimpi! Kau tahu, Einstein pun atheis!”
Si Sedang berhenti sejenak, menunggu sampai Si Kurus menyelesaikan gelak tawanya. “Kau hanya memintaku memberi bukti bahwa sebuah ketaatan pun membutuhkan akal. Ilmuwan Muslim, tak pernahkah kamu mendengar tentang Avicena, Averoes, Ibnu Khaldun…”
“Sudahlah. Bosan aku ngomong sama kamu. Peluklah mimpi dan fantasi masa lalu itu! Aku mau pulang. Banyak urusan!”
“Hati-hati di jalan. Semoga Allah selekasnya menunjukimu, Sobat.”
Si Kurus menuju mobilnya sambil terbahak-bahak. “Ha ha ha…semoga kamu pun masih tak bosan dengan Tuhanmu.”
***
Langit senja menjelang petang.
“Kita mulai sekarang?”
“Nanti saja seusai sholat Isya.”
Si Kurus mendengus. “Terserah kau sajalah. Aku ini orang demokratis, tak mau mengusik orang yang masih mau percaya aturan-aturan ruwet.”
Lima belas menit berlalu. Si Sedang telah duduk manis di depan teman diskusinya.
“Kamu masih percaya sama perlunya beragama sampai detik ini?”
“Kau masih juga tak percaya?”
“Kau bisa buktikan kalau sorga dan neraka ada? Itu kan yang bikin orang mau-maunya beragama.”
“Sebaliknya, apakah kau bisa buktikan kalau dua hal itu tak ada?”
“Hhh…” Si Kurus menggebrak meja. “Kerjamu selalu saja bertanya balik. Kamu tidak punya cara lain yang lebih cerdas?”
Si Sedang meringis sembari meniup-niup tangannya yang terkena muncratan teh panas dari cangkirnya yang bergetar keras. “Aku tidak bertanya balik. Tapi begitulah jawabanku.”
“Hhh….jawaban! ” Si Kurus mendengus.
“Tiap agama mengajarkan kebaikan. Itu yang sama. Yang pasti berbeda adalah bagaimana mengimani keberadaan-Nya.”
“Apa menurutmu itu penting?”
“Jika hidup adalah bangunan, maka itu adalah pondasinya.”
“Klise. Tak punya jawaban yang lebih cerdas?”
“Minum dulu tehmu, nanti keburu dingin.”
Si Sedang menyeruput tehnya pelan-pelan. Membuang pandang ke cahaya bulan yang tampak remang-remang di balik awan hitam. Sementara Si Kurus hanya memandangi gerak Si Sedang tanpa kedip.
“Jika atas nama agama orang jadi suka berselisih, berebut pengikut bahkan lalu berperang, apakah menurutmu agama masih penting?”
“Hmm…apakah menurutmu jika semua orang tak beragama lantas tak pernah berselisih, berebut pengikut dan tak suka perang?”
“Kamu…lagi-lagi!” Si Kurus seketika berdiri
“Tenang, Sobat. Duduklah dulu, lantas kau minum tehmu. Jadi diskusi kita akan lebih menyenangkan nantinya.”
“Kuikuti apa maumu tapi kau harus bisa kasih jawaban cerdas. Bukan balik tanya dan balik tanya terus. Berputar-putar tak tentu arah. Kau pikir aku tak punya pekerjaan lain selain meladeni omonganmu!”
“Sudah, duduk dulu. Nikmati apa yang bisa kuhidangkan malam ini kepadamu.”
Si Kurus menurut. Meminum teh dengan tergesa, memasukkan potongan-potongan biskuit dengan cepat ke mulut, lalu minum lagi.
“Sudah kuturuti apa maumu. Sekarang bicaralah yang lebih bermutu!”
“Beragama itu kebutuhan manusia.”
“Kenapa?”
“Karena manusia hidup butuh aturan.”
“Bukankah manusia punya otak?”
“Ya, tapi kapasitas otak manusia berbeda satu sama lain. Di samping itu, pengalaman hidup berbeda, menjadikan pola pikir berbeda. Standar orang akan kebenaran dan kebaikan pun akhirnya akan beda-beda. Dan jangan lupa, bukankah bersamaan dengan akal manusia juga punya nafsu? Maka Tuhan buat aturan sebagai panduan kehidupan.”
“Bosan aku. Kau tak punya kata-kata yang lain selain doktrin itu?”
“Beragama itu perlu. Dan agama yang benar hanyalah satu.” Si Sedang bicara tegas,
“Pasti agamamu sendiri, kan? Dari mana kamu tahu?”
“Karena hatiku menerima, otakku pun menerima. Apa lagi?”
Melihat Si Kurus terdiam, Si Sedang melanjutkan kata-katanya. “Semua agama mengajarkan kebaikan. Hal yang pasti saling berbeda satu sama lain adalah persoalan aqidah, bagaimana cara kita mengimani-Nya.”
Si Kurus menatap tajam lawan bicaranya. “Kenapa kebenaran itu hanya satu?”
“Karena Tuhan pun cuma ada satu.”
“Kalau semua orang yang beragama berkata begitu maka perang di dunia ini akan terus terjadi. Kamu tahu itu!” Si Kurus lagi-lagi menggebrak meja.
“Itu resiko hidup, Sobat. Jika pilihan dan keyakinan kita diusik, maka…”
“Jika agama tak ada, niscaya dunia ini akan tentram. Tenang. Damai. Tak ada pertumpahan darah,” potong Si Kurus tampak tak sabar.
“Kamu yakin?”
“Aku tak pernah bicara tanpa dasar keyakinan!”
“Tak pernahkah kau lihat dua orang bersaudara yang saling membunuh hanya karena berebut warisan, dua orang yang berebut kuasa lantas tega untuk saling memfitnah. Apa menurutmu itu juga salah agama?”
Si Kurus garuk-garuk kepala. Terdiam cukup lama.
Jawaban yang akhirnya keluar terdengar berat. “Itu kan cuma pertikaian kecil. Sepele. Sesuatu yang tak akan punya kekuatan memicu perang besar.”
“Jadi menurutmu Hitler membantai Yahudi karena alasan agama? Bush membombardir Irak karena alasan agama?”
Si Kurus mengangkat bahu. “Aku tak yakin. Bukan itu yang kumaksud.”
“Israel Palestina?”
“Kenapa harus jauh-jauh. Kau tak ingat kasus-kasus di negeri kita ini?” suara Si Kurus melemah. Sorot matanya tak lagi tajam.
“Lalu apa yang kau pikirkan sekarang, Sobat?”
“Manusia memang punya naluri untuk berkuasa dan bertikai. Agama menjadi salah satu pemicunya.”
“Emmm…begitu, ya.” Si Sedang mengangguk-angguk.
“Jika agama tak ada, aku yakin dunia ini akan lebih tenang. Lebih tentram.”
“Bagimana menurutmu jika ada orang yang mengaku hidupnya lebih tenang dan tentram setelah dia lebih khusyuk beragama?”
“Ah, itu kan cuma sugesti. Itu kan cuma karena hidupnya sudah susah di dunia, jadi dia menghayal akan keberadaan surga.”
“Termasuk jika dia seorang yang punya banyak harta dan memiliki kuasa?”
“Apakah ada?” Si Kurus mengernyitkan keningnya.
“Banyak. Banyak sekali. Jika kau mau, kapan-kapan akan kutunjukkan padamu.”
“Tak perlu. Aku tak tertarik.”
Si Sedang melirik jam tangannya. ” Sobat, gimana kalau kita akhiri saja dulu perbincangan kita malam ini?”
“Terserah kau. Yang jelas, sampai kapan pun aku tak akan beragama. Tak akan! Kalau aku masih mendengarkanmu, itu karena kamu adalah satu-satunya teman yang masih mau mendengarkan aku. Harap kau ingat itu!”
“Tak mau beragama pun terserah padamu, Sobat. Toh Tuhan tak butuh kita. Kitalah yang butuh Dia, butuh aturan-Nya.”
“Tapi aku tak merasa butuh. Toh aku masih tetap bisa berbuat baik tanpa itu.”
“Begitu pun tak apa. Jika kelak merasa butuh Dia, jangan ragu sebut nama-Nya. Datanglah pada-Nya. Kapanpun kamu datang, Dia akan menerimamu.”
Si Kurus mengangkat bahu. “Hhh…kamu terlalu yakin. Aku kasihan padamu.”
Si Sedang mengangsurkan helm. “Ini sudah larut malam. Ibumu pasti sudah menunggu. Pulanglah sekarang, insya Allah masih ada waktu bagi kita untuk melanjutkan diskusi.”
“Kita lihat saja nanti, aku yang akan mengikutimu untuk beragama, atau kau yang justru akan mengikutiku untuk tidak beragama.”
“Sudahlah, Sobat. Kita teruskan lain kali saja. Hati-hati di jalan, ya.”
Si Kurus pun segera menghidupkan motornya. Satu menit kemudian terdengar derung mesin motor yang memekakkan telinga.
Si Sedang bergegas masuk rumah begitu motor temannya hilang dari pandangan. Dipandanginya dengan senyum kata-kata dari pembimbing ruhaninya yang terbingkai dalam pigura sejak tiga tahun lalu, saat kedua orang tuanya tiada dan dia mulai hidup sebatang kara. Saat terpuruk dan tak berdaya, limbung tak tentu arah, saat dia merasa butuh pada aturan dan perlindungan dari Sang Penguasa Jagad Raya.
Bayangan Si Kurus dengan sorot mata penuh luka sejak kehilangan kakak dan Ayahnya saat kerusuhan di Maluku, sorot mata kecewa pada kehidupan, pada orang yang mengaku tokoh agama dan telah menipu keluarganya habis-habisan hingga jatuh melarat, kembali berkelebatan dalam benak Si Sedang. Dipandanginya sekali lagi tulisan dalam pigura bermotif ukir Jepara itu.
“Jadilah dirimu atas nama-Nya. Pada prosesmu, aku percaya!” []
(Jazakillah to Mbak Oyink, atas kepercayaanmu pada ?proses’ku)
[Diambil dari Majalah PERMATA edisi 14/Juli 2003]
terima kasih sharing info/ilmunya…
saya membuat tulisan tentang “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya?”
silakan berkunjung ke:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/mengapa-pahala-tidak-berbentuk-harta.html
semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…
salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
subhanallah…….
Kalau sekadar hanya alasan aturan saja, manusia bisa saja membuatnya.
Kalau semua aturan dibuat dengan akal sehat dan demi kebaikan bersama (tidak ada unsur keserakahan dan kepentingan golongan) kemudian semua orang menjalankan aturan tersebut, maka kehidupan akan lebih baik.
Menurut saya aturan bukanlah alasan utama menjadi beragama.
Bagaiamana kalau alasannya “KEABADIAN”, Secara naluriah manusia ingin hidup bahagia selamanya, Hanya “AGAMA” yang bisa menjanjikan “KEBAHAGIAAN ABADI” berbentuk dunia setelah kematian yang disebut “SYURGA” atau “JANNAH” atau “HEAVEN” atau “KHAYANGAN”