Nasim selalu memiliki senyum di wajahnya. Baik saat ia sedang menggunting rambut dengan gunting maupun saat ngobrol. Kedua hal itu merupakan kegiatan rutinnya sehari-hari. Karena, ia adalah seorang tukang cukur di Sangam Vihar, pemukiman non-resmi terbesar di Delhi selatan. Tetapi baru-baru ini kebiasaannya ngobrol membawanya ke arah lain. Hari-hari terakhir ini topik obrolannya hampir tidak pernah tentang istri-istri orang atau topik nakal lain. Tetapi, lebih kepada segala hal tentang AIDS dan bagaimana penyakit mematikan itu tersebar. Ia juga membagikan kondom gratis kepada pelanggannya.
Nasim adalah salah satu dari sepuluh tukang cukur yang bekerja sebagai relawan untuk Community Aid and Sponsorship Program (CASP) yang bekerja atas dana hibah dari USAID melalui Centre for Development and Population Activities. “Awalnya saya tidak tahu banyak tentang AIDS, cara penularannya dan pencegahannya. Namun orang-orang CASP mendekati saya dan mengajarkan tentang semua ini, saya pikir merupakan ide baik menyebarkan kabar tersebut di daerah ini,” katanya.
“Banyak orang datang pada saya setiap hari seolah-olah tidak seorang pun yang bercukur di rumah. Jadi, saya mendapatkan peluang baik untuk berbicara kepada mereka tentang AIDS. Dan sesudah meyakinkan mereka bahwa seks aman satu-satunya cara menghindari AIDS, saya memberikan beberapa bungkus kondom,” ujarnya.
Kondom, Ampuhkah?
Banyak orang di dunia ini yang yakin betul bahwa penularan virus HIV bisa ditangkal dengan penggunaan kondom. Berbagai kampanye dan juga argumentasi dikemukakan kepada khalayak agar mau menggunakan kondom sebagai ‘senjata pamungkas’ melawan virus ganas itu. Misalkan, Buletin HIV/AIDS Prevention Training dari CDC, edisi Februari 1993 menuliskan kalo kondom lateks berguna sebagai pelindung mekanis yang bersifat terus-menerus sehingga memberi perlindungan sempurna terhadap berbagai jenis bakteri, virus dan kuman lainnya. Selain mencegah infeksi secara langsung, penggunaan kondom secara meluas juga mempunyai dampak tak langsung secara substansial terhadap penyebaran HIV, yakni dengan mencegah PMS lainnya yang merupakan sebagian faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV.
Buletin itu juga menuliskan kalo kondom yang terbuat dari kulit anak kambing memang sulit untuk menahan laju perjalanan aneka bakteri dan virus penyakit kelamin. Karenanya kondom yang terbuat dari bahan itu tidak direkomendasikan untuk dipakai sebagai pencegah penyakit menular seksual (PMS).
Meski kemampuan kondom lateks bertindak sebagai pelindung mekanis yang efektif terhadap HIV dan sperma pada uji coba laboratorium itu memberikan harapan yang
cerah, namun penelitian klinis secara khusus menunjukkan angka kegagalan berkisar dari 2% sampai 15% yaitu pada saat kondom digunakan hanya sebagai cara utuk mencegah
kehamilan. Artinya, masih ada peluang gagal. Kalau gagal? Wes ewes ewes bablas viruse.
Angka kegagalan untuk mencegah kehamilan diperkirakan menurun menjadi 2% bila kondom digunakan dengan benar. Sejumlah penelitian juga dilakukan terhadap orang yang aktif secara seksual dan menunjukkan bahwa kondom lateks yang digunakan dengan benar memberi tingkat perlindungan yang sangat tinggi terhadap berbagai PMS, termasuk infeksi
HIV.
Tingkat perlindungan dari penggunaan kondom lateks yang benar terhadap penularan HIV terbukti nyata pada penelitian terhadap pasangan yang salah satu anggotanya terinfeksi HIV sedangkan yang lainnya tidak (disebut juga dengan: “pasangan yang bertolak-belakang/discordant couples“).
Penelitian itu menyatakan risiko mendapat infeksi HIV berkurang 70-100% pada pasangan yang dilaporkan menggunakan kondom secara konsisten. Pentingnya menggunakan kondom secara konsisten dan benar ditekankan oleh sebuah penelitian dari 563 ‘pasangan yang bertolak-belakang’ di Eropa. Di antara 44 pasangan yang tidak konsisten dalam menggunakan kondom, 6 orang pasangan yang sehat dilaporkan menjadi terinfeksi.
Sebaliknya, pada 24 pasangan yang menggunakan kondom secara konsisten, tak satu pun dari pasangan yang sehat kemudian menjadi terinfeksi.
Begitu yakinnya, sampai-sampai buletin berani merekomendasikan bahwa kondom lateks bisa memberikan perlindungan hingga 98% – 99% terhadap kehamilan dan sebagian besar PMS, termasuk infeksi HIV, tapi sekali lagi ini hanya bila kondom digunakan dengan benar dan konsisten!
Jangan Percaya Dulu
Para pelaku seks bebas sebaiknya jangan percaya dulu dengan promosi kehandalan kondom. Pasalnya, banyak kalangan yang percaya hal sebaliknya. Berikut ini sejumlah keterangan pakar yang dirangkum oleh Prof. Dr. Dadang Hawari:
- Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas kondom diragukan.
- Sementara J Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute yang menyatakan bahwa tingkat keamanan kondom hanya 70 persen.
- Penelitian yang dilakukan oleh Lytle (1992) dari Division of Life Sciences, Rockville, Maryland, USA, membuktikan bahwa penetrasi kondom oleh partikel sekecil virus HIV/AIDS dapat terdeteksi.
- Penelitian yang dilakukan oleh Carey (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA, menemukan kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Dari 89 kondom yang diperiksa (yang beredar dipasaran) ternyata 29 dari padanya terdapat kebocoran, atau dengan kata lain tingkat kebocoran kondom mencapai 30 persen.
- Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar.
- Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebarnya pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron.
- Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus kondom.
- Laporan dari majalah Customer Reports (1995) menyatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan elektron mikroskop dapat dilihat pori-pori kondom yang 10 kali lebih besar dari virus HIV.
- M Potts (1995), Presiden Family Health International, salah seorang pencipta kondom, mengakui, ”Kami tidak dapat memberitahukan kepada khalayak ramai sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki risiko tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya.
- V Cline (1995), profesor psikologi dan Universitas Utah, Amerika Serikat, menegaskan bahwa memberi kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan seksual dengan menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.
- Pakar AIDS, R, Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai ”sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah (Rep. 12/11/95).
- Di Indonesia pada tahun 1996 yang lalu kondom yang diimpor dari Hongkong ditarik dari peredaran karena 50 persen bocor.
- Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof Dr Biran Affandi (2000) menyatakan bahwa tingkat kegagalan kondom dalam Keluarga Berencana mencapai 20 persen. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan dari Prof. Dr Haryono Suyono (1994) bahwa kondom dirancang untuk Keluarga Berencana dan bukan untuk mencegah virus HIV/AIDS.
Cegah Freesex
Nggak ada cara lain untuk mencegah penularan virus HIV selain dengan mencegah freesex. Sebut saja negeri Gajah Putih Thailand yang memang terkenal dengan wisata seks-nya ternyata sukses besar mengurangi kasus infeksi virus HIV dan PMS sejak 1991 hingga 1995. Seperti dituturkan, Dr. David D. Celentano dari Johns Hopkins University di Baltimore, Maryland bahwa Program 100 % Kondomisasi itu juga dibarengi dengan kampanye pengurangan frekwensi berhubungan seks dengan pekerja seks. Thailand bisa menurunkan kasus infeksi virus HIV hingga lima kali lipat dan 10 kali lipat untuk Penyakit Menular Seksual.
Artinya kalau alat kontrasepsi itu dipakai sementara frekwensi maksiat konstan, infeksi penularan virus HIV tetap saja tinggi. So, kunci pencegahan AIDS mau nggak mau adalah dengan tidak melakukan seks bebas apalagi menyimpang.
Kenapa Ngotot?
Kalau sudah jelas penggunaan kondom tetap mengundang bahaya, lalu kenapa orang masih terus mengkampanyekannya? Jawabannya adalah karena mereka menolak gagasan pengekangan kebebasan pergaulan. Bagi mereka, mengajak orang untuk tidak gaul bebas sama artinya menginjak-injak doktrin kebebasan dan hak asasi manusia. En itu sama dengan menentang demokrasi. Ajaran tertinggi dalam masyarakat sekuler.
Dalam demokrasi kebebasan kepribadian adalah bagian yang esensial. Termasuk perilaku gaul bebas. Sebuah penelitian pada para pelajar SMU di Los Angeles pada tahun 1998 yang dilakukan The Alan Guttmacher Institute in Family Planning Perspectives terhadap 1.945 pelajar memperlihatkan bahwa 55 % pelajar cowok dan 45,5 % pelajar wanita menyatakan telah melakukan hubungan seksual.
Maraknya kampanye penggunaan kondom juga berdampak pada peningkatan hubungan terkutuk itu. Hal ini diungkap oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga penelitian nirlaba dan seorang pediatri di University of California. Setelah kampanye kondomisasi aktivitas seks bebas di kalangan pelajar cowok meningkat dari 37 % menjadi 50 %, dan di pelajar wanita dari 27 % menjadi 32 % (USA Today, 14 April 1998).
Dengan cara pikir yang kapitalistik, dimana segala yang bermanfaat bisa dan boleh dikerjakan, termasuk gaul bebaz, maka pemerintah dan juga LSM-nya lebih senang menebar kondom gratis ketimbang memberantas pergaulan bebas en prostitusi. Itu lebih manusiawi, pikir mereka. Bukankah pelacur pun sekarang dikategorikan sebagai pekerja? Pekerja Seks Komersil (PKS)?
Kalau begitu solusinya maka sampai kapanpun infeksi virus HIV dan PMS nggak bakalan bisa dicegah. Soal himbauan pemakaian kondom juga cuma bakal sebatas slogan. Abis, kalau orang udah dikuasai setan jangankan sempat pakai alat kontrasepsi, imannya aja udah copot apalagi alat kontrasepsinya.
Nah, kalau mau selamat dunia dan akhirat kagak ada jalan Bang kecuali mengganti landasan berpikir umat dengan Islam. Selanjutnya terapkan aja hukum Islam. Jilid dan rajam para pezina, dorong para pemuda untuk segera menikah, dan negara (Islam) harus meningkatkan kemakmuran rakyat agar tidak ada orang berprofesi sebagai PSK.
Sekarang sih tinggal berpulang kepada kaum muslimin sendiri. Mau nggak diatur oleh Islam dan selamat, atau mau terus-terusan mencegah bencana kemanusiaan ini dengan cara tambal sulam? Mestinya sih mengambil jalan yang sudah pasti selamat, Islam. [januar, dari berbagai sumber].
Boks —
Survey Perilaku Seks Ala Durex
Perusahaan kondom terkemuka di dunia Durex juga pernah melakukan survey soal perilaku seks dan penggunaan kondom di 28 negara di Asia dan Eropa. Survey yang diberi nama Global survey into sexual attitudes and behaviour atau Global Survey 2001. Dari survey itu didapat sejumlah info yang ‘aneh’.
- Negara yang remajanya paling cepat kehilangan ‘virginitas’-nya adalah AS. Rata-rata remaja di AS sudah having sex pada umur 16 tahun. Di bawah AS ada Jerman, Prancis, Inggris dan Selandia Baru.
- Kondom ternyata paling populer di Jepang, disusul Yunani dan Spanyol. Sementara itu Israel adalah negara yang penduduknya paling anti mempergunakan alat kontrasepsi. Empat puluh persen orang Israel menolaknya. Hmm, ketahuan deh siasat busuknya! Pengen paling banyak sendiri jumlah umatnya.
- Menurut hasil survey itu juga didapat data bahwa manusia di dunia biasanya melakukan hubungan intim 97 kali dalam setahun. Hampir 10 persen menyatakan melakukannya sekali dalam seminggu. Hanya 4 persen yang mengaku melakukannya setiap hari.
- Warga AS paling getol melakukan hubungan seksual yakni 147 kali dalam setahun, disusul warga Yunani (117), lalu Afrika Selatan dan Kroasia (116).
- Prancis dan Hungaria adalah negara yang warganya kurang peduli dengan infeksi virus HIV. Sedangkan Turki adalah negara yang paling tinggi kesadarannya akan bahaya penularan virus ini.
Nah, ternyata dunia ini penuh dengan orang-orang yang cinta dengan kebebasan perilaku. Meski itu akan menyeret mereka ke dalam jurang kehancuran peradaban. Kasihan manusia. [januar].
[Pernah dimuat di rubrik “Wawasan”, Majalah PERMATA edisi Desember 2003]