Friday, 22 November 2024, 00:31

Tragedi WTC dan Pentagon menjadi tanda paling jelas dimulainya babak terbaru benturan peradaban antara Islam dan Barat. Indikasinya paling tidak adalah pernyataan pihak-pihak yang berhadap-hadapan secara langsung, yakni AS dan Osama bin Laden.

Setelah serangan terhadap WTC dan Pentagon (11/11/2001), Menlu AS Collin Powell tampil dalam wawancara di televisi ABC dalam acara Good Morning America pada Rabu pagi, 13 September 2001. Dengan mimik muka yang tidak seperti biasanya, Collin Powell menyatakan bahwa serangan itu adalah “an act of war” (sebuah aksi perang) yang harus dipahami dengan jelas hanya sebagai perang, bukan yang lain. Bahkan lebih dari itu, Powell menegaskan bahwa, “It is not just a war against the United States. It’s a war against civilization.” (Serangan ini bukan sekedar melawan AS, melainkan juga serangan melawan peradaban [Barat] )1. Presiden George W. Bush sendiri pun dengan emosional dan kalap menyatakan bahwa operasi balasan kepada Osama akan menjadi sebuah Perang Salib (Crusade), kendati pun kemudian dia dengan tergopoh-gopoh segera meralatnya dengan menamakannya sebagai operasi Infinite Justice (Operasi Keadilan tanpa Batas)2 dan juga menyatakan secara munafik kepada rakyat AS bahwa operasi terhadap Afghanistan bukanlah untuk menyerang Islam dan kaum Muslim, melainkan para teroris.

Sementara itu, merespons serangan militer AS yang biadab terhadap Kabul dan Kandahar Ahad malam pukul 23.37 WIB (7/10/2001), Osama bin Laden pada hari Selasa (9/10/2001) melalui TV swasta Qatar Al Jazirah menyeru kaum Muslim untuk melancarkan jihad melawan Amerika. Osama menegaskan, “Inna hadza al harba laisa al harbu dhiddu afghanistan wa thaliban wa innama al harbu dhiddu al islam.” (Sesungguhnya perang ini bukanlah perang melawan Afghanistan dan Taliban, melainkan perang melawan Islam)3.

Dari sini nampak jelas bahwa benturan yang terjadi dipahami bukan sekedar konflik militer antara pasukan AS –dan sekutu-sekutunya– dengan pasukan Afghanistan, melainkan lebih dari itu, yaitu benturan antara dua peradaban yang berbeda. Barat vis a vis Islam. Masing-masing pihak merasa tidak hanya mewakili negara masing-masing sebagai entitas politik, namun juga mewakili suatu entitas budaya dengan karakter-karakter khasnya masing-masing4. Ini adalah sebuah benturan peradaban, bukan semata benturan militer dan politik antar dua negara.

Namun dengan segera akan dapat dilihat, bahwa benturan antara peradaban Islam dan Barat ini berjalan tidak seimbang. Ibaratnya, petinju kelas berat melawan petinju kelas teri. Betapa tidak, peradaban Barat telah mewujud secara efektif sebagai negara pada wujud negara AS dan negara-negara Barat lainnya, dengan daya hegemoni yang besar. Sementara peradaban Islam, kendati pun eksistensinya terus lestari sampai sekarang setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, namun perwujudannya dalam bentuk kehidupan bernegara adalah nihil, karena kaum Muslim yang seharusnya hidup dalam satu negara Khilafah itu terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara sekuler yang lemah dan dikontrol oleh Barat. Peradaban Islam yang belum mewujud kembali sebagai negara menjadi faktor dominan yang membuatnya tidak mampu menandingi atau melawan peradaban Barat.

Maka dari itu, umat perlu melakukan tinjauan ulang mengenai hubungan peradaban dengan negara, sebagai upaya awal untuk mewujudkan peradaban Islam yang akan mampu terjun dalam benturan peradaban yang lebih seimbang dan rasional.

Peradaban dan Negara
Agar pembahasan menjadi lebih jelas, kiranya perlu diklarifikasi apa yang dimaksudkan di sini dengan peradaban, juga hubungan peradaban dengan negara.

Istilah peradaban, yang dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari civilization (bahasa Inggris), dan dari al hadharah atau al madaniyah (bahasa Arab), muncul pertama kali di Barat untuk mengungkapkan perkembangan materi/fisik, industri, dan bangunan yang berkembang secara cepat pada masa-masa moderen yang dimulai dari abad XV M. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, istilah peradaban itu kemudian mempunyai pengertian baru. Peradaban kemudian diartikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu bangsa, masyarakat, atau umat, berupa warisan-warisan pengetahuan/nilai, karakter-karakter khas, dan inovasi-inovasi yang membedakannya dengan komunitas-komunitas lain. Dengan demikian, ketika membicarakan peradaban, para sejarawan dan pemikir akan membicarakan berbagai macam peradaban, baik peradaban masa lalu maupun masa sekarang, misalnya peradaban Mesir kuno, Yunani, Sumeria, Romawi, Persia, Cina, India, Eropa Abad Pertengahan, Islam, Barat kontemporer, Komunisme, dan sebagainya.5

Namun demikian, penggunaan istilah peradaban secara demikian ini bukannya tidak menimbulkan kerancuan. Sebab mereka yang menggunakan istilah peradaban, telah memasukkan ke dalamnya apa saja yang dimiliki, diwarisi, atau ditemukan oleh sebuah masyarakat, baik itu berupa pemikiran, hukum, seni, penemuan ilmiah, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak dibedakan hal-hal yang memang menjadi karakter-karakter khusus suatu masyarakat, dan hal-hal yang tidak menjadi karakter-karakter khusus suatu masyarakat. Padahal, tatkala kita berbicara tentang peradaban suatu masyarakat, sebenarnya kita hendak berbicara mengenai cara hidup (thariqah al ‘aisy) suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Sudah jelas bahwa setiap masyarakat hakikatnya mempunyai suatu cara hidup tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain, yang menjadikannya sebagai komunitas manusia dengan kepribadian, warna, dan identitas tertentu. Cara hidup inilah sebenarnya yang hendak diungkapkan dengan istilah peradaban.6

Oleh karena itu, guna menghindari kerancuan, ketika kita menggunakan istilah peradaban, harus dibatasi bahwa pengertian yang melekat pada istilah peradaban hanyalah karakter-karakter unik suatu masyarakat yang menjadikannya berbeda dengan masyarakat lainnya, dalam hal cara hidupnya. Dengan begitu, benda-benda atau sarana-sarana fisik yang digunakan oleh sebuah masyarakat dalam urusan-urusan hidupnya yang tidak menjadi ciri khas yang membedakannya dengan masyarakat lainnya, tidak tercakup dalam istilah peradaban. Jadi mesin-mesin pabrik, mobil, pesawat terbang dan segala macam penemuan sains dan teknologi yang bersifat materiil yang dihasilkan oleh suatu umat, bukanlah merupakan karakter khas suatu masyarakat yang menjadi ciri pembedanya dengan masyarakat lain. Sarana-sarana fisik seperti inilah yang disebut oleh Taqiyuddin An Nabhani (1909-1977) dalam kitabnya Nizham Al Islam (1953) sebagai madaniyah, yang didefinisikannya sebagai “bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.” Namun An Nabhani dengan teliti memandang bahwa di samping bisa bersifat universal (jika murni hasil sains dan teknologi), madaniyah bisa juga bersifat khas yang terbentuk atas dasar suatu pandangan hidup tertentu, seperti patung, kalung salib, lukisan perempuan telanjang, model rumah, pakaian khas non-muslim (seperti baju pendeta, bhiksu), dan sebagainya.7

Semua paparan di atas ingin menyampaikan satu hal, yaitu bahwa peradaban sebenarnya lebih tepat digunakan untuk menunjukkan cara hidup (namth al ‘aisy) dan identitas masyarakat (huwiyyah al mujtama’), bukan digunakan secara general sehingga mencakup benda dan sarana fisik sebagai hasil sains dan teknologi yang bersifat universal. Jadi, istilah peradaban (al hadharah) di sini dipahami sebagai “metode kehidupan tertentu” (thariqah khashash fi al ‘aisy) yaitu suatu gaya hidup yang khas dalam kehidupan bermasyarakat8.

Cara hidup yang khas ini jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya lahir dari pandangan hidup (mafahim ‘an al hayah) yang khas, sebab cara atau perilaku hidup manusia (suluk) tergantung sepenuhnya kepada pandangan hidup (mafahim) yang dianutnya. Karena itu, secara lebih spesifik, peradaban dapat didefinisikan sebagai “sekumpulan pandangan/persepsi tentang kehidupan” (majmu’ al mafahim ‘an al hayah)9. Pandangan hidup inilah yang kemudian diekspresikan oleh manusia dalam kehidupannya, yakni dalam berbagai interaksi yang dilakukannya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa pandangan hidup (mafahim ‘an al hayah) yang khas dengan sendirinya akan melahirkan peradaban yang khas pula, yang berbeda dengan peradaban lainnya. Peradaban Barat (al hadharah al gharbiyah) misalnya, akan berbeda dengan peradaban Islam (al hadharah al islamiyah) dan akan berbeda pula dengan peradaban Sosialisme (al hadharah al isytirakiyah).

Lalu apa hubungan peradaban dengan negara ? Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban (mafahim ‘an al hayah) dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara adalah “wadah”, yang menjadi tempat bagi “isi” itu. Tanpa adanya “wadah”, tentu saja “isi” tidak akan mempunyai eksistensi yang signifikan, meskipun bisa saja “isi” itu eksis tanpa wadah. Namun tentu saja dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti. Berdasar logika inilah, maka Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Mitsaq Al Ummah (1997) pada poin 66 mendefinisikan negara (daulah) sebagai wadah politik pelaksana (kiyan siyasi tanfidzi) untuk sekumpulan maqayis (tolok ukur), mafahim (persepsi/pandangan hidup) dan qana’at (kepuasan jiwa) yang diterima oleh umat.10

Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah umat manusia. Dapat kita ketahui bahwa tak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali bila ia ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Perancis, dan lain-lain. Demikian pula peradaban Islam tak akan dapat tegak sempurna kecuali didukung oleh Daulah Islamiyah yang telah eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki (1924 M).

Namun secara bijaksana perlu ditambahkan kiranya, bahwa suatu peradaban sebenarnya tetap dapat eksis tanpa negara. Hanya saja peradaban ini tentu tidak dapat mengekspresikan dirinya secara sempurna. Contohnya adalah peradaban Islam. Sebelum berdirinya negara Islam di Madinah (622 M), sebenarnya dalam batas-batas tertentu peradaban Islam sudah eksis di Makkah. Sebab Nabi SAW telah menyampaikan banyak pandangan-pandangan hidup Islam, seperti tauhid, penolakan paganisme, pengharaman membunuh anak perempuan hidup-hidup, larangan curang dalam menimbang, dan sebagainya. Hanya saja ekpresi peradaban Islam saat itu tentu masih terbatas dan belum mampu membebaskan diri dari hegemoni peradaban jahiliyah yang ada Makkah saat itu. Barulah ketika peradaban Islam mempunyai wadah yang lebih mapan dalam sebuah negara Islam di Madinah, ekspresi dan kekuatannya menjadi lebih nyata.

Peradaban Barat pun sebenarnya mengalami hal yang serupa. Benih-benih peradaban Barat sesungguhnya sudah mulai eksis sejak akhir abad XV M dengan adanya Renaissance, Humanisme, dan Reformasi Gereja. Namun peradaban Barat baru mempunyai wujud yang kuat dan nyata pada akhir abad XVIII M setelah hancurnya negara-negara monarki-feodalistik dan berdirinya negara-negara demokratis-kapitalistik, terutama setelah Revolusi Perancis tahun 1789 M.11

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban memang berhubungan erat dengan eksistensi negara. Peradaban adalah “isi”, sedangkan negara adalah “wadah” yang menjadi tempatnya. Peradaban tidak akan dapat terwujud sempurna tanpa negara, meskipun dapat saja secara terbatas peradaban itu eksis tanpa negara.

Namun ada satu hal yang sangat perlu dicermati, yakni bahwa hubungan antara peradaban dengan negara adalah bersifat unik. Hubungan “isi” dengan “wadah” adalah unik. Memang benar bahwa “isi” membutuhkan “wadah”, tetapi bukan sembarang “wadah”. Jadi, “isi” membutuhkan “wadah” tertentu yang sesuai baginya yang hanya dengan “wadah” tertentu itu, “isi” akan berguna secara signifikan. Jika terjadi kasus salah kamar, yakni “isi” diletakkan dalam “wadah” yang tidak sesuai baginya, maka “isi” itu tidak akan berguna secara siginifikan, sama halnya dengan “isi” yang tercecer tak-teratur yang tidak terletak dalam sebuah “wadah”12.

Jadi, hubungan peradaban dan negara adalah unik. Peradaban Barat seperti sekularisme dalam bidang politik, hanya akan tumbuh subur dalam negara yang cocok baginya, yakni negara sekuler seperti yang ada saat ini, yang memisahkan urusan agama dari urusan politik. Sekularisme, sebaliknya, tak mungkin tumbuh dalam wadah negara Islam (Daulah Islamiyah) yang akan menerapkan Islam secara total pada segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik. Paham kebebasan (freedom, liberalism) akan dapat terekspresi secara paripurna dalam negara sekuler yang membolehkan manusia berbuat sesukanya asalkan tidak melanggar kebebasan orang lain. Sebaliknya paham ini tidak akan dapat berkembang dalam negara Islam yang mewajibkan rakyatnya untuk terikat dengan hukum-hukum syara’. Ide nasionalisme akan dapat diterapkan secara leluasa dalam sebuah negara berbasis kebangsaan seperti yang ada sekarang. Sebaliknya ide ini akan mustahil terlaksana dalam negara Islam yang mewajibkan umat Islam seluruh dunia –dengan berbagai kebangsaannya– untuk hidup bersatu dalam sebuah negara.

Demikian pula, peradaban Islam tidak akan terwujud secara sempurna dan menjelma menjadi sebagai sebuah peradaban jika “diletakkan” dalam sebuah negara sekularistik seperti sekarang ini. Penerapan hukum Islam secara menyeluruh jelas mustahil terwujud dalam sebuah negara sekuler yang memisahkan agama dari urusan kehidupan, yang menganggap agama lebih sebagai urusan pribadi daripada urusan publik. Sebaliknya, penerapan Islam secara total itu akan menjadi keniscayaan dan kewajaran dalam negara Islam, dan memang di sanalah tempatnya. Penerapan hukum kesatuan umat akan menjadi mustahil dalam sebuah negara-bangsa (nation-state) yang berbasis paham kebangsaan yang sempit dan picik seperti sekarang. Sebaliknya, dengan adanya negara Khilafah, hukum kesatuan umat yang melampaui batas-batas kebangsaan akan dapat terealisir dengan sempurna. Penerapan haramnya riba, khamr, dan zina jelas menjadi suatu utopia dalam sebuah negara sekuler yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi, serta menjadi omong kosong belaka dalam negara sekuler yang mengagung-agungkan kebebasan kepemilikan dan kebebasan individu. Namun sebaliknya, keharaman riba, khamr, dan zina akan mudah diwujudkan dalam sebuah negara Islam yang memang di situlah tempat yang paling layak untuk menerapkannya. Jadi, penerapan Islam secara total, juga penerapan hukum kesatuan umat, hukum haramnya riba, zina, dan khamr hanya akan berlangsung secara sempurna dalam sebuah negara Islam yang memang sesuai untuk itu semua, bukan dalam negara republik sekularistik yang eksis saat ini.

Dengan demikian, jelas bahwa hubungan peradaban (“isi”) dengan negara (“wadah”) bukan sembarang hubungan, melainkan hubungan yang unik. Peradaban tertentu membutuhkan negara tertentu –bukan sembarang negara— agar dia dapat eksis secara sempurna sebagai sebuah peradaban.

Implikasinya, peradaban Islam baru akan sempurna terwujud jika ada sebuah negara yang kondusif bagi keberadaan dan kelestariannya, bukan negara republik yang sekularistik seperti yang ada sekarang. Itulah negara yang dalam khazanah fiqih siyasah disebut dengan Khilafah atau Imamah yang kewajibannya secara syar’i telah disepakati oleh para imam dan mujtahidin terpercaya. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :

“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”

Pengaruh Eksistensi Negara dalam Benturan Peradaban
Setelah jelas apa yang dimaksud dengan definisi peradaban serta hubungan peradaban dengan negara, kita kembali ke masalah benturan peradaban.

Jika peradaban dimengerti sebagai sekumpulan pemahaman/persepsi tentang kehidupan, maka benturan peradaban (tashadum al hadharat, clash of civilizations) dapat diartikan secara luas sebagai benturan yang terjadi antara pandangan-pandangan hidup atau nilai-nilai kehidupan yang berbeda atau bertolak belakang. Dalam Islam dan realitas faktual, benturan atau pergolakan (ash shira’) antara yang haq dan yang bathil adalah sesuatu yang niscaya. Pertarungan antara kebaikan (khair) dan kejahatan (syar), atau antara haq dan bathil, adalah salah satu sunatullah dalam kehidupan. Sebab, dengan hikmah-Nya Allah berkehendak menjadikan pertarungan atau benturan itu sebagai cara untuk menampakkan mana yang haq dan yang baik, serta untuk menghancurkan mana yang bathil dan yang jahat.13 Allah SWT berfirman :

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dari sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (TQS Al-Baqarah : 251)

Allah SWT berfirman pula :

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (TQS Al-Hajj : 40)

Benturan peradaban tersebut bentuknya bermacam-macam, dapat berupa pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri), perjuangan politik (al-kifahus siyasi), pertarungan berdarah/perang (ash-shira’ud damawi, ash-shira’ul ‘askari)14, pertarungan budaya (ash shira’uts tsaqafi), dan seterusnya.15

Dalam sejarah Islam, bentuk-bentuk benturan peradaban itu pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Di Makkah, sebelum hijrah, mereka terjun dalam pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri) dan perjuangan politik (al-kifahus siyasi) melawan orang-orang musyrik dalam rangka mendirikan Daulah Islamiyah. Seiring itu, Rasulullah SAW dan para shahabatnya kemudian terjun ke dalam pertarungan berdarah/perang (ash-shira’ud damawi) menyusul berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah, untuk mengemban Islam sebagai risalah kebajikan dan petunjuk kepada seluruh manusia.16

Benturan peradaban pada masa selanjutnya kadang terjadi secara fisik –berupa peperangan– misalnya serangan bangsa Mongol (Tartar) (1258 M), Perang Salib (1096-1192 M)17, dan pembantaian kaum Muslim oleh kaum kafir Spanyol (Andalusia) abad XV M.. Ada kalanya terjadi secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqafah), seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis18.

Dari berbagai macam bentuk benturan peradaban yang pernah terjadi dalam sejarah itu, jika ditinjau dari sisi eksistensi negara sebagai penyangga peradaban, dapat diambil pelajaran bahwa dengan eksistensi negara, benturan peradaban akan dapat lebih berjalan secara sempurna. Tanpa negara, benturan peradaban memang masih dapat dilangsungkan, hanya saja sifatnya terbatas.

Benturan peradaban antara Islam dan kekufuran sebenarnya sudah terjadi sejak Muhammad diutus sebagai Nabi dan Rasul di Makkah. Hanya saja, karena belum ada negara yang menyangga peradaban Islam saat itu, bentuk benturan yang dilangsungkan masih sebatas pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri) dan perjuangan politik (al-kifahus siyasi). Setelah berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah, barulah benturan peradaban berlangsung secara sempurna dan mantap, yaitu dilakukan dalam bentuk jihad atau pertarungan berdarah/perang (ash-shira’ud damawi) yang menjadi metode (thariqah) untuk mengemban Islam sebagai risalah dan petunjuk kepada seluruh umat manusia.19

Dengan keberadaan negara Islam ini, Rasulullah SAW dan para shababatnya lebih mampu dan mantap menawarkan peradaban Islam sebagai konsep baru tentang kehidupan kepada umat manusia. Dengan keberadaan negara, peradaban Islam mempunyai kedudukan yang lebih kuat, baik dalam proses pemantapannya dalam negeri maupun proses penyebarannya ke luar negeri.

Maka wajarlah, benturan peradaban Islam dengan peradaban lainnya dalam berbagai bentuknya –pertarungan pemikiran, pertarungan politik, dan benturan fisik— dapat dilakukan dengan sangat efektif dengan eksistensi negara Islam. Sejarah pun mencatat debat antara kaum muslimin dengan komunitas Yahudi dan Nashrani, Perang Badar (2 H/624 M), Pengusiran Bani Qainuqa’ (2 H/624 M), penyelesaian persoalan kaum munafiq di dalam negeri, perang Ahzab (5 H/627), perjanjian Hudaibiyah (6 H/628 M), pengiriman utusan ke negara-negara tetangga (7 H/628 M), perang Khaibar (7 H/628 M), perang Mu’tah (8 H/629 M), penaklukan kota Makkah (8 H/630 M), perang Hunain (8 H/630 M), dan perang Tabuk (9 H/630 M).20 Semua itu adalah bentuk-bentuk benturan antara peradaban Islam melawan peradaban lainnya. Kendati pun sangat banyak tantangannya, namun dengan eksistensi negara Islam sebagai penyangga peradaban Islam, dalam tempo 10 tahun pengaruh peradaban Islam telah berkembang dari seluas “negara kota” yang hanya meliputi satu kota Madinah, menjadi meliputi “negara besar” baru yang meliputi seluruh Jazirah Arab.

Setelah Rasulullah wafat dan seluruh Jazirah Arab masuk dalam pengaruh peradaban Islam, para Khulafa` Rasyidin (Abubakar, Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib) mengikuti jejak beliau dalam penyebarluasan peradaban Islam. Mereka juga melakukan penaklukan-penaklukan yang tak lain adalah benturan peradaban –secara pemikiran dan militer/fisik– antara peradaban Islam dengan berbagai peradaban yang ada saat itu. Iraq yang penduduknya sangat heterogen berhasil ditaklukkan. Tidak berapa lama Persia menyusul. Syam juga jatuh ke tangan para Khulafa` Rasyidin. Afrika Utara yang penduduknya dari kaum Barbar di bawah kekuasaan Romawi akhirnya juga jatuh ke pangkuan kaum muslimin.21

Setelah periode Khulafa` Rasyidin, muncul masa Khilafah Umawiyah. Mereka juga mengikuti jejak-jejak para pendahulunya dengan melanjutkan penaklukkan-penaklukan. Sind, Khawarizmi, dan Samarkand dikuasai dan dimasukkan ke wilayah Negara Islam. Kemudian mereka menyeberangi selat Gibraltar lalu menaklukkan Andalusia dan dijadikan bagian dari wilayah Negara Islam. Negeri-negeri yang ditaklukkan ini memiliki aneka ragam suku, bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, undang-undang, dan kebudayaan. Namun dengan aktivitas dakwah untuk pembauran dan peleburan, mereka menjadi umat yang satu yang disatukan oleh peradaban yang satu, yaitu peradaban Islam.22

Jelas ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan berat. Jika dikategorikan berhasil, tentu merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa. Selain peradaban Islam tidak ada yang sanggup melakukannya. Dan sudah barang tentu, semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan eksistensi Negara Khilafah.23

Dari paparan historis ini dapat ditarik satu benang merah berkaitan dengan eksistensi negara sebagai penyangga peradaban, bahwa dengan eksistensi negara Khilafah, benturan peradaban akan dapat lebih efektif dan berjalan secara sempurna. Meskipun benturan peradaban memang masih dapat dilangsungkan tanpa negara, namun kekuatannya akan sangat terbatas. Lebih dari itu jika kita bicara tentang prestasi penyebaran peradaban Islam dengan berbagai benturan yang menyertainya, mustahil kiranya prestasi penyebaran peradaban yang luar biasa dapat terwujud tanpa eksistensi negara Khilafah.

Keharusan Eksistensi Negara Khilafah Untuk Benturan Peradaban
Setelah mengalami kelemahan-kelemahan yang melekat selama masa perjalanan sejarahnya yang panjang, negara Khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924. Hancurnya Khilafah telah melenyapkan vitalitas peradaban Islam, sebab dengan hancurnya Khilafah banyak pandangan-pandangan hidup Islam (mafahim ‘an al hayah min wijhah nazhar al islam) yang tak bisa diekspresiksan lagi di muka bumi. Pada tanggal 28 April 1924 Musthafa Kamal menghapus Mahkamah Syari’yah (Pengadilan Agama) di Turki, lalu menggantikannya dengan mengundangkan Undang-Undang Sipil Swiss pada tanggal 4 Oktober 1926. Bahkan ia menghapus pasal yang berbunyi “Agama negara adalah Islam” dari UUD Turki pada tanggal 10 April 1928. Para Kemalis yang setia kepada Musthafa Kamal mengganti huruf Arab yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin selama berabad-abad dengan huruf Latin yang mereka impor dari Barat pada 1 November 1928 dan pada tahun itu pula mereka mengumumkan sekularisme dalam UUD mereka.24

Sebagai ganti peradaban Islam yang hancur sebagian besarnya itu, peradaban Barat sekulerlah yang kemudian mendominasi kaum muslimin. Kaum muslimin pun diracuni oleh para penjajah Barat dengan berbagai pemikiran peradaban Barat, seperti paham kebangsaan (nasionalisme), patriotisme, serta paham-paham kedaerahan yang sempit. Kaum muslimin juga diracuni dengan ilusi kemustahilan berdirinya negara Khilafah dan kemustahilan persatuan dan kesatuan negeri-negeri Islam karena konon ada perbedaan kultur, penduduk, dan bahasa di antara mereka, sekalipun mereka sebenarnya adalah umat yang satu, yang diikat dengan Aqidah Islamiyah yang melahirkan peraturan hidup Islam. Selain itu mereka diracuni pula dengan konsep-konsep politik yang salah seperti “kedaulatan di tangan rakyat” dan slogan-slogan yang keliru seperti “agama milik Allah dan tanah air milik masyarakat”25

Ringkasnya, dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam –kendati masih eksis dan lestari— telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada.

Implikasi berikutnya, benturan peradaban Islam melawan peradaban Barat jelas akan berjalan secara tidak seimbang. Peradaban Barat ditopang negara-negara adidaya seperti AS, Inggris, dan Perancis, sementara peradaban Islam –sayangnya— tak ditopang oleh satu negara pun. Maka, mengharap kemenangan dan keunggulan peradaban Islam atas peradaban Barat –tanpa eksistensi negara Khilafah yang menopang peradaban Islam– adalah suatu hil yang mustahal, bak pungguk merindukan planet Pluto!

Maka dari itu, berkaca dari pengalaman sejarah dan berpegang dengan tuntutan hukum syara’, eksistensi Khilafah adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi demi terwujudnya benturan peradaban yang lebih seimbang dan rasional.

Namun perlu dipahami pula dengan seksama, bahwa keberadaan Khilafah semata sebenarnya belum menjamin keberhasilan dalam benturan peradaban. Sejarah masa-masa akhir Khilafah Utsmaniyah menunjukkan, bahwa meski Khilafah masih ada, namun ia ternyata tak mampu mengimbangi serangan peradaban Barat, karena Khilafah saat itu telah mengidap kelemahan-kelemahan kronis yang membuatnya tidak berdaya25. Jadi yang kita perlukan bukan sembarang Khilafah, melainkan negara Khilafah yang kuat yang dicirikan dengan 3 (tiga) kekuatan utamanya; yaitu kekuatan ideologi, kekuatan militer, dan kekuatan ekonomi. Ketiga kekuatan ini saling berkelindan dan tak bisa dipisahkan, sebab kedudukan ekonomi setara dengan kekuatan ideologi dan kekuatan militer. Kekuatan militer suatu negara tak ada artinya tanpa kekuatan ideologi. Sementara kekuatan militer suatu negara pun tanpa kekuatan ekonomi juga tak ada artinya.26 Meski demikian, basis yang paling utama dari tiga kekuatan itu adalah kekuatan ideologi, yang bertumpu pada 2 (dua) unsur kunci, yaitu : Pertama, pemahaman yang sahih terhadap Islam (fahmul Islam fahman sahihan); Kedua, penerapan Islam yang baik (ihsan tathbiqi al islam) baik untuk urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri.27

Bila negara Khilafah yang kuat seperti itu telah terwujud di muka bumi, maka benturan peradaban Islam melawan Barat tak hanya akan berjalan seimbang, bahkan lebih dari itu, peradaban Islam insya Allah akan mampu menghancurkan peradaban Barat; sebuah peradaban yang gagal, yang telah menyeret umat manusia di seluruh dunia terperosok ke dalam jurang penderitaan dan kesengsaraan yang sangat dalam.

Kesimpulan
Peradaban (al hadharah) adalah sekumpulan pandangan/persepsi tentang kehidupan (majmu’u al mafahim ‘an al hayah). Peradaban sangat erat kaitannya dengan eksistensi negara. Peradaban ibarat “isi” yang membutuhkan negara (“wadah”) agar dapat terekspresi secara sempurna. Tanpa negara, peradaban tidak dapat terwujud sempurna. Namun hubungan peradaban dengan negara adalah unik. Peradaban membutuhkan negara yang sesuai dengan karakter peradaban tersebut, bukan sembarang negara.

Benturan peradaban adalah benturan yang terjadi antara pandangan-pandangan hidup yang berbeda atau bertolak belakang, yang dapat berbentuk pertarungan pemikiran, perjuangan politik, peperangan, dan sebagainya. Benturan peradaban dapat berlangsung secara sempurna bila terdapat sebuah negara yang menopang sebuah peradaban.

Benturan yang terjadi antara peradaban Islam dan peradaban Barat saat ini adalah tidak seimbang. Karena peradaban Islam tidak ditopang oleh satu negara pun, setelah hancurnya negara Khilafah tahun 1924, sementara peradaban Barat ditopang oleh eksistensi negara AS dan negara-negara Barat lainnya.

Eksistensi negara Khilafah untuk benturan peradaban adalah suatu keniscayaan, ditinjau dari segi pengalaman historis dan tuntutan normatif Syariat Islam. Namun negara Khilafah yang akan terjun ke kancah benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung oleh kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi ]

CATATAN :

  1. Lihat web12.cri.com.cn, 13 September 2001. Dilaporkan dalam situs ini, bahwa Powell berkata,”The American people have a clear understanding that this is a war. That’s the way they see it. You can’t see it any other way, whether legally that is correct or not.” Dia menyatakan juga,”We’ve got to respond as if it is a war and we’ve got to respond in the sense that it isn’t going to be solved with a single counterattack against one individual, it’s going to be a long-term conflict and it’s going to be fought on many fronts.” Kemudian ditegaskannya, “It is not just a war against the United States. It’s a war against civilization.”
  2. Lihat www.detik.com, 2 Oktober 2001
  3. Jawa Pos, Selasa, 9/10/2001. Lengkapnya seruan Osama itu adalah sebagai berikut :
    “Saya menyeru kepada kaum muslimin untuk melancarkan jihad melawan Amerika, dan kami akan meneruskan perang melawan kaum kafir sampai mereka terusir dari tanah suci dan negeri muslim seluruhnya, demi Allah, orang-orang Amerika tak akan pernah merasa aman sebelum bumi Palestina dibebaskan, sesungguhnya perang ini bukanlah perang melawan Afghanistan dan Taliban, melainkan perang melawan Islam.” (Statemen Osama ini bersumber dari siaran TV swasta Qatar, Al Jazirah, yang diterima oleh wartawan Jawa Pos, Nur Budi Hariyanto, di Islamabad, Pakistan)
  4. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, Summer 1993, hal. 23-24. Menurut Huntington peradaban (civilization) merupakan suatu cultural entity (entitas budaya). Huntington lebih jauh menjelaskan definisi peradaban sebagai berikut. Menurutnya, desa-desa, agama-agama, kelompok-kelompok etnis, dan kewarganegaraan semuanya mempunyai budaya-budaya yang berbeda pada level-level yang berbeda dalam heterogenitas kultural. Budaya/kultur sebuah desa di Italia Selatan mungkin berbeda dengan sebuah desa di Italia Utara, namun keduanya secara bersama mempunyai kultur umum Italia yang berbeda dengan desa-desa di Jerman. Komunitas-komunitas Eropa, pada gilirannya, secara bersama mempunyai penampilan kultur yang berbeda dengan komunitas-komunitas Arab atau Cina. Jadi komunitas-komunitas Arab, China, dan Barat, dengan demikian, bukan bagian dari sebuah entitas budaya yang lebih luas. Masing-masing merupakan peradaban tersendiri. Jadi peradaban adalah pengelompokan budaya yang paling tinggi dan level terluas dari identitas kultural yang menunjukkan perbedaan-perbedaan jenis umat manusia yang satu dengan jenis lainnya. (A civilization is thus the highest cultural grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short of that which distinguishes humans from other species). Peradaban dicirikan dengan elemen-elemen objektif yang umum, seperti bahasa, sejarah, agama, pakaian, institusi, dan juga dengan identifikasi subjektif terhadap manusia. Seorang warga kota Roma dapat mempunyai beberapa level identitas : ia adalah seorang warga kota Roma, orang Italia, orang Katolik, orang Kristen, orang Eropa, dan orang Barat. Peradaban yang dia miliki adalah level identifikasi yang terluas… (yaitu peradaban Barat, bukan peradaban Roma, atau Italia).
  5. Ahmad Al Qashash, 1995, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, cet.I, Darul Ummah, Beirut, hal. 65-66.
  6. Ibid, hal. 67
  7. Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Nizham Al Islam, bab Hadharah Al Islam.
  8. Ahmad Al Qashash, 1995, op.cit., hal. 68
  9. Menurut Taqiyuddin An Nabhani peradaban (al hadharah) adalah “sekumpulan pandangan/persepsi tentang kehidupan” (majmu’ al mafahim ‘an al hayah). Pengertian majmu’ al mafahim, atau sekumpulan mafahim, adalah kumpulan mafahim dalam jumlah besar mengenai berbagai-bagai aspek kehidupan, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Definisi ini jika dibandingkan dengan definisi Huntington, sebenarnya mempunyai substansi yang sama, yaitu cara hidup masyarakat yang bersifat unik. Hanya saja definisi An Nabhani mempunyai tingkat abstraksi yang lebih tinggi dan canggih, karena lebih bersifat konseptual murni, sedang Huntington melihat peradaban lebih pada fenomena sosiologis dengan ciri-ciri khas suatu komunitas. Definisi An Nabhani juga lebih teliti dan cermat, karena dia membedakan apa yang memang menjadi ciri khas masyarakat, dengan apa yang tidak menjadi ciri khas masyarakat, yang diistilahkannya sebagai madaniyah.
    Lebih mendalam, mafahim adalah jama’ dari mafhum (persepsi). Mafahim adalah makna-makna pemikiran yang dapat dijangkau faktanya dan dapat dijangkau dalam benak, yang telah terjadi proses pembenaran padanya. (Abdus Sami’ Mahmud, Al Mafahim As Siyasiyah, dalam majalah Al Waie, edisi no 172, Jumadil Ula 1422 H, April 2001 M, hal.8). Jadi kata mafahim di sini digunakan untuk membedakan dengan makna-makna lafazh, yang tidak mempunyai realitas empirik konkrit (hanya memiliki realitas imajinatif), juga digunakan untuk membedakan dengan pemikiran yang hanya menjadi informasi (al ma’lumat), yakni pemikiran yang tidak mengalami proses pembenaran. Mafahim adalah bentuk yang lebih tinggi dari pemikiran. Sebuah pemikiran akan menjadi mafahim bagi seseorang bila memenuhi dua syarat : Pertama, pemikiran itu mempunyai fakta-fakta terindera yang dapat dijangkau dalam benak. Kedua, pemikiran itu telah mengalami proses pembenaran (at tashdiq) dalam hati orang tersebut. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, 1963, Muqaddimah Ad Dustur Aw Al Asbab Al Mujibah Lahu, penjelasan pasal 1, hal. 5)
  10. Muhammad Shiddiq Al Jawi, 2001, Membangun Peradaban Islam : Tinjauan Fiqih Siyasah, makalah disampaikan dalam Kuliah Umum dengan tema Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, di Aula II IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu, 31 Maret 2001. Bandingkan penjelasan hubungan negara dan peradaban ini dengan penjelasan serupa dalam majalah Al Waie, edisi 134, Rabiul Awal 1419, Juli 1998, hal.30-31, yang merupakan komentar dan kritik terhadap artikel Samuel Huntington The Clash of Civilizations?
  11. Ahmad Al Qashash, 1995, op.cit., hal. 37
  12. Istilah “wadah” dan “isi” di sini sebenarnya paralel dengan istilah “substansi” dan “legal-formal” / “simbol”, yang sering digunakan para intelektual modernis, seperti Nurcholis Madjid. Hanya saja, kami berbeda dengan Nurcholis dalam melihat hubungan aspek substansial dan aspek formal. Nurcholis tidak melihatnya sebagai hubungan yang unik. Implikasinya, aspek ajaran Islam substansial (seperti keadilan, persamaan, kemakmuran) menurutnya tidak mengharuskan eksistensi negara Islam, tetapi dapat diwujudkan juga dalam negara formal berupa sistem republik sekuler seperti yang ada sekarang. Menurut kami, hubungannya adalah unik, yakni bahwa aspek substansial Islam hanya dapat mewujud sempurna jika dan hanya jika didukung dengan eksisnya negara Islam, bukan negara republik sekuler seperti sekarang. Maka dari itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa substansi pemikiran Nurcholis Madjid tersebut adalah distorsi ekstrem terhadap aspek tata negara dalam Islam, yang diberi kedok secara pseudo-ilmiah dalam bentuk dikotomi sekularistik antara yang substansial dan yang formal. Dikotomi sekularistik ini hakikatnya adalah akrobat intelektual yang tidak terlalu canggih, yang dengan sendirinya, adalah upaya yang gagal, karena mudah dibongkar kepalsuannya dan gampang diungkap kontradiksinya yang diametral dengan pemikiran Islam yang genuin.
  13. Abdul Qadim Zallum, 1998, Mafahim Khatirah li Dharbil Islam wa Tarkiz Al Hadhara Al Gharbiyaht , hal. 1
  14. Ibid., hal. 2
  15. Samuel Huntington, Tashadum Al Hadharat (The Clash of Civilizations), majalah Al Waie, edisi 134, Rabiul Awal 1419, Juli 1998, hal.31. Artikel ini merupakan komentar dan kritik terhadap artikel Huntington yang dihasilkan dari diskusi majalah Al Waie dengan para mahasiswa Universitas Bir Zeit, Palestina. Bandingkan dengan artikel Huntington selengkapnya dalam terjemahannya ke dalam bahasa Arab (Tashadum Al Hadharat) dalam majalah Al Waie, edisi 81, Rajab 1414 H, Januari 1994 M, hal. 21-27, dan edisi 82, Sya’ban-Ramadhan 1414 H, Pebruari 1994 M, hal. 10-17.
  16. Abdul Qadim Zallum, 1998, op.cit., hal. 2
  17. Perang Salib (1096-1192) berlangsung selama 3 (tiga) tahap. Perang Salib I (1096-1099), Perang Salib II (1147-1149) dan Perang Salib III (1189-1192). Lihat Henry S. Lucas, 1993, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, Bab VII Perang Salib dan Interaksi Barat-Timur, Tiara Wacana, Yogya, hal . 115-130
  18. Abdul Qadim Zallum, 1998, op.cit., hal. 2. Orang-orang zindiq melakukan upaya pembuatan hadits-hadits palsu. Upaya ini dapat ditanggulangi berkat bangkitnya para ulama hadits dengan memberikan kriteria mengenai keotentikan dan derajat hadits. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Ad Daulah Al Islamiyah, Darul Ummah, Beirut, hal 169-170).
    Bahaya misionarisme/kristenisasi di samping pemurtadan umat, juga penyebaran ide yang membahayakan Islam, seperti nasionalisme. Negara Khilafah Ustamniyah telah tercabik-cabik wilayah kekuasaannya akibat gerakan separatisme yang bertumpu pada ide nasionalisme, yang tersebar akibat gerakan Kristenisasi/Misionarisme (Al Ghazwut Tabsyiri) di Dunia Islam. Gerakan misionaris yang sebagian besarnya berasal dari negara-negara Inggris, Perancis, dan Amerika ini lalu menebarkan benih-benih nasionalisme di tubuh negara Islam. Nasionalisme pun lalu tumbuh subur di seluruh penjuru Daulah Islamiyah, di Balkan, Turki, negeri-negeri Arab, Armenia, Kurdistan, dan sebagainya. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Ad Daulah Al Islamiyah, Darul Ummah, Beirut, hal 200-205)
    Orientalis adalah suatu terminologi yang digunakan untuk para ilmuwan yang mempelajari budaya, bahasa, dan adat istiadat bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat dan Australia. Citra yang mereka kembangkan tentang bangsa-bangsa Timur adalah : primitif, irasional, tak beradab, dan berbagai konotasi yang rendah. Dalam melihat budaya, bahasa, dan adat-istiadat dari bangsa-bangsa Timur, juga dalam melakukan studi Islam, kaum orientalis menggunakan kacamata dan kriteria Barat. Dalam beberapa hal, misalnya dalam linguistik dan antropologi, orientalis memang memberikan kontribusi. Akan tetapi mereka tetap berupaya mendeskripsikan Islam sebagai ajaran yang palsu, misalnya dengan mendiskreditkan kerasulan Muhammad, memperkenalkan Muhammad SAW sebagai nabi palsu, penipu ulung, tak bermoral; mendeskripsikan Islam sebagai sinkretisme agama Yahudi, Kristen dan agama lain. (Lihat Noeng Muhadjir, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, cet. I, Edisi IV, hal.260; lihat juga Mohammad Baharun, 1997, Isu Zionisme Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 61-72)
  19. Abdul Qadim Zallum, 1998, op.cit., hal. 2.
  20. Ahmad Shodiq, Sejarah Islam : Periode Nabi Ibrahim AS Hingga Periode Nabi Muhammad SAW, hal. 42-102 ; Lihat juga H. Rus’an, 1981, Lintasan Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW, cet. II, Wicaksana, Semarang, hal.117-324
  21. Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 162. Lihat juga Ahmad Syalabi, 1983, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 1, cet. IV, Pustaka Al Husna, Jakarta, hal. 226-309
  22. Ibid., hal. 163; Lihat juga Ahmad Syalabi, 1982, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, cet. IV, Pustaka Al Husna, Jakarta, hal. 139-171
  23. Ibid.
  24. Al Marjeh, Mouaffaq Bany, The Awakening of The Sick Man, hal. 387-388.
  25. An Nabhani, Taqiyuddin, At Takattul Al Hizbi, hal. 14-15
  26. Ismail Yusanto, Keruntuhan Khilafah Islamiyah : Suatu Tinjauan Historis dan Analisis (makalah), hal. 1-2
  27. Lihat artikel Imperalisme Barat di Bidang Ekonomi, dalam buku Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam, 1998, Pustaka Thariqul Izzah, hal. 3
  28. Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 173.