Friday, 22 November 2024, 00:00

gaulislam edisi 490/tahun ke-10 (14 Jumadil Akhir 1438 H/ 13 Maret 2017)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ini kisah tentang Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. yang dinukil dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir. Selepas dibaiat, Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian, sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian, maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.” (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah 4/413-414, tahqiq Hamma Sa’id dan Muhammad Abu Suailik)

 

Itu Abu Bakar ash-Shiddiq, Tak Beda dengan Umar bin Khattab

Bagaimana dengan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu? Sobat gaulislam, beliau bahkan sudah didoakan oleh Rasulullah untuk bisa masuk Islam. Dalam sebuah riwayat dituturkan, ”Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdoa kepada Allah Ta’ala, Ya Allah kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan ‘Umar bin Khaththab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR Tirmidziy, dari Ibnu Umar. Shahih)

Inilah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. ketika beliau sangat menginginkan salah seorang dari dua umar tersebut bisa masuk Islam. Ketika itu, keduanya masih dalam kondisi kafir. Mereka juga memiliki kesamaan karakter, bersikap sangat keras terhadap siapa saja yang dimusuhinya. Hingga akhirnya, Allah Ta’ala mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dengan menjadikan Umar bin Khaththab sebagai seorang Muslim.

Bahkan lebih dari itu, Umar radhiallahu ‘anhu menjadi pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam yang setia membela dan memperkokoh risalah Islam seraya tetap memiliki sifat kerasnya, yang sangat keras terhadap musuh-musuh Allah dan RasulNya, musuh-musuh Islam, namun sangat terlihat lembut kepada kaum Muslimin, bahkan lebih lembut daripada perlakuan mereka kepada Umar sendiri. Sebagaimana yang dikatakannya, “Kekerasanku hanya berlaku bagi mereka yang menyimpang dari aturanku. Dan bagi mereka yg bersama Allah maka kelembutanku melebihi dari pada saudaraku sendiri”

Dialah, Umar bin Khaththab yang begitu takutnya menyandang gelar Amirul Mukminin sehingga ia rela hidup secukupnya agar menjadi contoh para gubernurnya agar tidak menjadi pemimpin yang hidup berkemewahan.

Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, pemimpin negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (sekarang: Syria, Yordania, Lebanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir, pernah berkata: “Andaikan ada seekor hewan di Irak kakinya terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku kenapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi jalan yang rata dan bagus).”

Bahkan, beliau tidak pandang bulu. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kerisauan Umar radhiallahu ‘anhu yang takut kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian beliau risau kalau ditanya tentang rakyatnya. Kata beliau, “demi Allah kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku tetap khawatir akan diri ini. Aku khawatir tidak dapat menjawab pertanyaan Allah. Dan risau kalau ada rakyat yang terzalimi olehku, sedangkan aku tidak menyadarinya”

Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang kepada kebenaran. Namun, dalam hal kematian beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat. Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar!” Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Beliau juga mengajarkan para pemimpin di bawahnya, yakni para gubernur untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Pernah ‘Amru bin Ash, gubernur yang sangat berjasa menaklukkan Mesir, diberi hukuman cambuk karena seorang rakyat Mesir melapor bahwa dirinya pernah dipukul oleh anak sang gubernur. Orang yang melapor itu sendiri yang disuruh memukulnya.

Abdulah bin Qathin, seorang gubernur yang bertugas di Hamash, pernah dilucuti pakaiannya lalu disuruh menggantinya dengan baju gembala, kemudian disuruh menggembala domba beberapa saat. Sebelumnya ada yang diperintahkan membakar pintu rumahnya, karena salah seorang rakyatnya bercerita setelah ditanya oleh Umar tentang keadaan gubernurnya. Dia menjawab, “Cukup bagus, hanya sayangnya dia mendirikan rumah mewah.”

Kemudian gubernur itu disuruh memasang kembali pintunya dan dipesan, “Kembalilah ke tempat tugasmu tapi jangan berbuat demikian lagi. Saya tidak pernah memerintahkan engkau membangun rumah besar,” tegas Umar.

Sebaliknya, terhadap gubernurnya yang sederhana, Umar sangat sayang. Seperti yang dilakukannya terhadap Sa’ad bin al-Jamhi yang diprotes rakyatnya karena selalu terlambat membuka kantornya, tidak melayani rakyatnya di malam hari dan tidak membuka kantor sehari dalam seminggu. Itu dilakukan karena Sa’ad tidak memiliki pembantu sehingga dia membantu istrinya membuatkan adonan roti. Nanti setelah adonan itu mengembang, barulah berangkat ke kantor.

Sa’ad tidak melayani rakyatnya di malam hari karena waktu itu digunakan untuk bermunajat dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sengaja tidak membuka kantor sehari dalam seminggu kecuali di sore hari karena ia harus mencuci pakaian dinas dan menunggu hingga kering.

 

Begitu juga dengan Umar bin Abdul Aziz

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kayaknya kamu perlu tahu juga deh kisah Umar bin Abdul Aziz, yang juga sebagai khalifah (kepala negara). Ketika itu, dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah. Tersebutlah dalam sejarah, Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M) sebagai salah seorang Amirul Mu’minin yang menggoreskan tinta emas dalam bingkai sejarah kejayaan kekhalifahan di masanya. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang menjadi teladan atas kepemimpinannya serta dalam menjaga kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.

Beliau juga dikenal teladan dalam mengatur pemerintahan dan mengatur aparat-aparatnya, lho. Termasuk dalam memberantas korupsi. Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika, demi menjaga agar tidak mencium bau minyak wangi yang bukan haknya, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat mengunjungi baitul mal yang di dalamnya ada tempat penyimpanan minyak wangi. Maka, dengan teladan pemimpin, pemberantasan tindak korupsi jadi mudah. Umar berupaya untuk membersihkan baitul mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya saja. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke baitul mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan.

Ini dia yang benar-benar ikhlas demi semata mengharap ridho Allah Ta’ala ketika berkuasa dan memimpin rakyat. Jabatan bukanlah alat untuk menumpuk harta demi memperkaya diri dan keluarganya. Sebab, jabatan adalah amanah. Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz udah nunjukkin tanggung jawab dan keikhlasannya ketika menjadi pemimpin. Subhanallah. Keren banget euy! Pas deh dengan sabda Rasulullah saw.,“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nah, silakan kamu bandingkan dengan kehidupan para pejabat pemerintahan saat. Kamu bisa menilai sendiri kok. Memang sih, di negeri kita juga tidak menerapkan sistem Islam. Tetapi justru karena tidak menerapkan sistem kehidupan Islam para pemimpin negara jadinya begitu. Malah menjajah rakyatnya sendiri. Bisa jadi sebelum memimpin juga kayaknya nafsu banget pengen jadi pemimpin sampe rela ngumpulin modal yang nggak sedikit. Di negeri kita yang mayoritas muslim, malah ada orang kafir yang ngotot pengen jadi pemimpin, padahal itu di wilayah yang penduduknya muslim. Lebih parah lagi, banyak pula orang Islam yang mendukung dan menjadi pembelanya, walau calon pemimpin tersebut sudah jelas-jelas jadi terdakwa dalam kasus penistaan agama Islam. Ih, inilah demokrasi. Sistem rusak tapi banyak penggemarnya (yang juga rusak pikiran dan perasaannya). Jadinya, kekuasaan membuat mereka jadi arogan. Padahal kekuasaan bukan untuk arogansi. Hadeeuh bahaya banget tuh!

So, kondisi ini harus segera diubah dengan sistem Islam. Ya, Islam. Hanya Islam sistem kehidupan yang benar dan bisa menjadi rujukan agar kehidupan dunia dan akhirat bahagia. Beneran! [O. Solihin | Twitter @osolihin]