Seluruh dunia mengutuk Israel. Tapi tokoh Jaringan Islam Liberal mengampanyekannya. Jimmy Carter saja menuding Israel memelaratkan orang Palestina
Oleh: Amran Nasution *
Sejak perang di Gaza memasuki pekan kedua, kian jelas Israel akan mengulang apa yang dialaminya dengan Hizbullah di Lebanon pada 2006: kegagalan. Pendapat seperti itu, antara lain, bisa dibaca dari tulisan Jackson Diehl, wartawan The Washington Post.
Dalam sebuah artikel berjudul Hard Lesson for Israel (Pelajaran pahit bagi Israel) di korannya 9 Januari lalu, Diehl menulis bahwa tujuan serangan Israel adalah mengurangi kemampuan militer Hamas secara substansial, dan kemudian memaksa Hamas menyetujui gencatan senjata dengan berbagai keuntungan buat Israel.
Ternyata Hamas bisa bertahan. Walau kecil, korban di pihak Israel sudah jatuh. Lebih dari itu Israel dikecam dunia karena serangannya mengakibatkan jatuhnya banyak korban sipil – seperti wanita dan anak-anak — yang tersiar ke seluruh dunia melalui layar televisi. Citra negeri Yahudi itu hancur-hancuran.
Maka akhirnya Israel harus mengumumkan gencatan senjata sepihak dalam kondisi yang tak memuaskannya. Dan ini terjadi 18 Januari lalu, hanya beberapa hari sebelum Amerika dipimpin pemerintah baru Barack Obama yang lebih cerdas, lebih menyukai perdamaian.
Serangan Israel sejak 27 Desember lalu, memang dilakukan seperti mengejar setoran, mumpung George Bush masih Presiden Amerika Serikat. Serangan mengakibatkan puluhan masjid porak-poranda – Israel sengaja mengebom masjid dengan dalih tempat suci itu dijadikan Hamas ajang penyimpanan senjata dan amunisi – sejumlah sekolah, termasuk sekolah internasional Amerika (American International School) dan sekolah PBB (United Nations School), kantor pers, rumah sakit, berbagai fasilitas umum, rumah-rumah pribadi. Sekitar 1245 orang Palestina tewas, lebih separuhnya adalah orang sipil, terutama wanita dan anak-anak. Lebih 5300 orang cedera.
Belakangan tank Israel malah menembaki markas PBB. Juga dihancurkan fasilitas air minum dan listrik. Tampaknya Israel ingin menjadkan Gaza yang sekarang pun sudah amat miskin dan menderita, kembali hidup seperti di zaman batu. Tanpa fasilitas apa pun.
Jon Alterman, Ketua Program Timur Tengah di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington, berpendapat serangan dipaksakan Israel karena mereka tak yakin pada reaksi Barack Obama bila serangan dilakukan setelah Obama dilantik menjadi presiden.
Penasehat politik Obama, David Axelrod, dalam sebuah acara di jaringan televisi CBS, mengatakan Obama akan bekerjasama erat dengan Israel. Negeri itu adalah sekutu terdekat Amerika di kawasan. ”Tapi Obana akan melakukannya dengan mempromosikan perdamaian, bekerja sama dengan Israel dan Palestina untuk mencapai tujuan itu,” katanya.
Agaknya Obama harus realistis pada kondisi negerinya. Ekonominya morat-marit dilanda krisis. Utangnya 11,3 triliun dollar, merupakan yang terbesar di dunia. Belakangan ada tanda-tanda China mulai enggan membeli obligasi Amerika Serikat. Selama ini China merupakan negara pembeli obligasi atau surat utang dari Amerika terbesar – selain negara di Timur Tengah dan Jepang.
Entah kemana lagi Amerika Serikat menambah utang bila China dan Timur Tengah telah menghindar. Padahal program Obama untuk melawan krisis membutuhkan dana ratusan milyar dollar, antara lain, untuk pembangunan proyek-proyek infra-struktur.
Dalam kondisi seperti ini tentu tak realistis Obama memperluas peperangan di Timur Tengah demi mendukung nafsu Israel, misalnya, dengan menyerang Iran dan Suriah, dua negara yang konsisten mendukung perjuangan Hamas.
Obama malah akan menarik tentaranya dari Iraq, sekaligus menciptakan perdamaian di Timur Tengah, salah satu program yang dijajakannya waktu kampanye. Artinya, masa-masa Israel merajalela selama 8 tahun kepemimpinan George Bush agaknya sudah berakhir.
Kelompok Neokon
Israel memang perkasa secara militer. Dia satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Tapi ia adalah sebuah negeri kecil dengan 7 jutaan penduduk yang terkepung oleh negara-negara Arab. Tanpa Amerika Serikat, Israel bukanlah apa-apa. Tanpa Amerika, Israel sudah kalah dalam perang Oktober 1973. Dan tanpa bantuan Amerika, Israel tak akan semaju sekarang.
Buku The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (Farrar, Straus & Giroux, 2007) yang ditulis dua akedemisi ternama, Profesor John Mearsheimer (University of Chicago) dan Profesor Stephen Walt (Kennedy School of Government, Harvard University) membuat sinyalemen seperti itu.
Sejak Perang Oktober 1973, Washington sudah memberi bantuan kepada Israel sebesar 140 milyar dollar. Tak satu pun negara di dunia yang pernah diberi bantuan sebesar itu oleh Amerika. Tidak juga negera-negara Eropa yang menjadi sekutu Amerika Serikat di dalam NATO. Sejak 1976 sampai sekarang, setiap tahun Amerika memberikan bantuan langsung sebesar 3 milyar dollar, kira-kira seperenam dari keseluruhan budjet bantuan luar negerinya. Bantuan terus diberikan walau Israel sudah menjadi negara industri dengan income per capita lebih kurang sama dengan Korea Selatan atau Spanyol.
Israel diberi akses informasi ke sejumlah peralatan canggih seperti heli tempur Blackhawk dan jet F-16. Begitu pula akses intelijen, yang justru ditutup Amerika untuk sekutu NATO-nya di Eropa. Amerika pura-pura tak tahu Israel membangun senjata nuklir di Dimona, Gurun Negev, dekat perbatasan dengan Jordania.
Washington menjadi pelindung konsisten Israel dalam urusan diplomatik. Sejak 1982, negeri itu sudah memveto 32 resolusi Dewan Keamanan PBB yang merugikan Israel. Amerika mengganjal upaya negara-negara Arab untuk memasukkan senjata nuklir Israel ke dalam agenda badan atom dunia, IAEA. Sikap Amerika ini sungguh munafik ketika kemudian ia meributkan proyek nuklir Iran.
Berkat veto-veto itulah sampai sekarang Palestina tetap menjadi jajahan Israel. Belakangan pemerintahan Presiden Bush yang dikelilingi kelompok Neo Konservatif (Neokon), yaitu intelektual Amerika keturunan Yahudi yang menginginkan Amerika menjadi satu-satunya kekuatan utama dunia, kalau perlu itu dicapai dengan kekuatan senjata.
Mereka mempengaruhi Presiden Bush untuk merencanakan peta baru Timur Tengah, utamanya demi kepentingan strategis Israel. Maka untuk itulah Iraq dihancurkan, Lebanon dikacaukan, Iran dan Syria menunggu giliran.
Karenanya tulisan para tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) di internet, seperti Ulil Abshar-Abdalla dan terutama Luthfi Assyaukanie, lebih terasa sebagai upaya untuk meningkatkan citra Israel yang terpuruk habis di mata internasional akibat serangannya yang mengorbankan begitu banyak manusia tak berdosa di Gaza.
Ulil misalnya mengingatkan penaklukan dan ekspansi wilayah dengan pencaplokan melalui aksi militer yang begitu luas yang dilakukan kaum Muslim pada zaman baheula. Itu terjadi karena Islam sebagaimana halnya Kristen, menurut Ulil, memiliki watak imperial, misionaris, dan ekspansif.
Itu bertolak belakang dengan agama Yahudi. Menurut Ulil, agama ini sama sekali tak pernah berambisi mendakwahkan agamanya di luar bangsa Yahudi. Bangsa dan agama Yahudi tak pernah berambisi melakukan ekspansi wilayah. Ide keyahudian terikat pada wilayah kecil sebagai fondasi agama itu, yaitu Yerusalem dan kawasan di sekitarnya, yang sama sekali tak signifikan dibandingkan dengan luasnya wilayah yang dicaplok umat Islam di zaman lampau.
Jadi dengan tulisan itu, Ulil mengesankan perlakuan Israel terhadap penduduk Gaza sekarang adalah wajar karena orang Islam dulu tukang caplok, ekspansif, misionaris alias ingin menjadikan seluruh ummat manusia menjadi Islam. Ummat Islam di Gaza sekarang, kiranya di dalam benak Ulil, harus menerima azab dosa turunan para pendahulunya.
Luthfi membuat reportase dari kunjungannya ke Israel. Yang ingin dikesankan dari reportase itu, ummat Islam sama dengan kebodohan, kemiskinan, dan kusam, sementara orang Yahudi pintar, kaya, dan bersinar.
Di tengah kutukan akan kekejaman militer Israel terjadi hampir di seluruh penjuru dunia – malah di Venezuela dan Bolivia, Duta Besar Israel diusir – tulisan Ulil dan Luthfi sungguh tanpa rasa sungkan sedikit pun.
Khalifah Umar Bin Khatab
Ulil tak akurat ketika menuduh Islam dan Kristen ekspansif karena watak agamanya yang misionaris. Padahal yang sesungguhnya terjadi, sejarah manusia memang penuh peristiwa penaklukan dan ekspansi dimulai zaman Hannibal atau sebelumnya.
Pelajarilah sejarah Yunani kuno, Sparta dan Athena, semua penuh peperangan dan penaklukan, padahal Kristen dan Islam waktu itu belum ada. Romawi adalah sejarah tentang sebuah imperium. Begitu pula kisah bangsa Mongol yang menggetarkan dan menakutkan itu. Mereka bukan Islam atau Kristen tapi mereka ekspansif. Mereka sang penakluk.
Islam yang datang kemudian, juga melakukan peperangan atau penaklukan daerah asing. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat dipimpin Khalifah Umar Bin Khattab memperluas wilayah mereka dengan mengalahkan Persia, Byzantium, dan kemudian Jerusalem.
Tapi seperti ditulis Karen Amstrong, wanita penulis produktif yang mengagumkan dari Inggris, di dalam Jerusalem, One City, Three Faiths (Random House, Inc, 1996), penaklukan yang dilakukan Khalifah Umar atas Jerusalem terhitung yang paling damai dan minim darah. Begitu penguasa Kristen di Jerusalem dipimpin Kepala Pendeta Sophronius menyatakan menyerah, pertempuran pun berakhir.
Tak ada pembunuhan, tak ada penjarahan, tak ada perusakan properti, tak ada pengusiran atau perampasan harta, tak ada pembakaran simbol-simbol agama lawan, dan tak ada pemaksaan terhadap penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam. Seluruh rumah ibadah Kristen atau pun Yahudi aman.
Khalifah sengaja membangun masjid di dekat Masjidil Aqsa, untuk tak mengganggu rumah ibadah agama lain. Itulah yang kini dikenal sebagai Masjid Umar. Dibandingkan dengan penaklukan Jerusalem sebelumnya, menurut Karen Amstrong, ”Islam memulai masanya yang panjang di Jerusalem dengan sangat baik.”
Agaknya setelah mengalami dua kali perang dunia, ada kesadaran para pemimpin dunia bahwa penjajahan dan penaklukan harus dihapuskan. Maka setelah Perang Dunia II, negara-negara terjajah, terutama di Asia-Afrika, memperoleh atau merampas kemerdekaannya.
Saat ini Palestina merupakan satu-satunya kawasan di dunia yang masih terjajah. Karenanya pantas Hamas memperjuangkan kemerdekaannya dari Israel. Dan bangsa Indonesia harus mendukung Hamas karena pembukaan UUD 1945 jelas-jelas bersikap anti-penjajahan dan penindasan.
Ada pun reportase yang dibuat Luthfi Assyaukanie adalah contoh pekerjaan jurnalistik yang paling buruk. Ia tuliskan apa yang dia lihat dan rasakan, tanpa perlu mengetahui apa yang terjadi di balik semuanya. Karena itu reportasenya gagal menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Kalau Luthfi membaca PALESTINE: Peace, Not Apartheid (Simon & Schuster, 2006) ditulis Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat dan pemenang Nobel Perdamaian 2002, akan tahulah dia bahwa kemiskinan dan kusamnya permukiman Arab yang dikunjunginya itu tak lain akibat penjajahan Israel.
Dalam hal ini, Jimmy Carter pasti lebih layak dipercaya daripada Luthfi. Soalnya semasa menjadi Presiden Amerika Serikat dan sesudahnya, dia terus aktif dalam upaya perdamaian Arab-Israel. Carter yang paling berjasa merealisasikan Perjanjian Camp David, September 1978, yang mempertemukan Presiden Mesir Anwar Sadat dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin di meja perundingan. Sedang Luthfi cuma orang yang berkunjung ke Israel karena undangan.
Menurut Carter di bukunya, Pemerintah Israel melakukan politik apartheid terhadap orang Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur, seperti yang terjadi dulu di Afrika Selatan. Negeri itu diduduki, dirampas, dan dikolonisasikan oleh para pemukim Israel.
Carter mencatat, pertama berdiri di tahun 1948, wilayah Israel hanya 56% dari kawasan yang disebut holy land, antara Jordania dengan Laut Tengah. Sekarang Israel menguasai 77% kawasan itu. Palestina cuma mendiami sisanya, 23%, termasuk Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Orang Palestina dari Gaza bila pergi ke Tepi Barat harus melintasi kawasan Israel sejauh 45 km. Jangan lupa di berbagai lokasi di Tepi Barat terdapat pula pemukiman-pemukiman Yahudi yang sampai sekarang dipertahankan Israel.
Bukan hanya itu. Dengan dalih sekuriti Israel membangun tembok-tembok. Jalan-jalan mulus tak boleh dilintasi orang Palestina. Yang paling menderita penduduk Gaza. Selama dua tahun ini Gaza praktis diblokade Israel, tertutup dari dunia luar. Menurut Carter di bukunya, itu mengakibatkan kemiskinan meningkat 70%. Busung lapar menyerang Gaza seperti yang terlihat di kawasan termiskin di dunia saat ini, Sahara Selatan.
Gaza diblokade karena di sana ada Hamas. Dan Hamas dimusuhi Israel dan Amerika Serikat karena mereka memenangkan pemilihan umum Palestina secara jujur dan adil. Dalam pandangan para pemimpin Amerika Serikat dan Israel, Hamas tak boleh menang karena mereka “teroris”, sebagaimana kelompok Hizbullah di Libanon. Aneh, “teroris” ikut pemilihan umum, dan menang pula.
Bayangkan, Hamas dan Hizbullah yang memperjuangkan kemerdekaan negerinya dituduh “teroris”. Berarti di mata mereka ini pejuang kemerdekaan seperti Pangeran Diponegoro dan Bung Tomo juga “teroris”. [www.hidayatullah.com]
Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumnis www.hidayatullah.com
Di dunia binatang (anjing), siapa yang ngasih makan itulah tuannya. Yang ga ngasih makan akan dimusuhi.
Berhubung Ulil dan Luthfi perutnya udah penuh dengan “bantuan” AS, kayaknya apa aja akan mereka lakukan untuk membela AS dan memusuhi semua yang dianggap musuh oleh AS.
Heran juga sich…padahal kan Ulil dan Lutfi juga dibekali mata, hati dan telinga oleh Allah, tapi koq ga dimanfaatkan untuk melihat kebenaran ya?
Kata Allah SWT sich, orang yang kayak gitu ibarat binatang bahkan lebih sesat lagi. (QS 7 : 179)
Kita doain aja mereka masih bisa dapat hidayah dari Allah, Amin
yah..bang ulil cs emang anomali, banyak belajar malah tambah bodoh
jangan di gubris entar ketularan bodohnya ^_^