Apa kata guru en ortu kita saat ulangan kita jeblok atau karya tulis kita nggak menang di perlombaan? Pasti semua sepakat bilang “Work harder!” Kita kudu kerja lebih keras lagi. Yup, nggak ada cita-cita setinggi apapun bisa kita raih tanpa kerja keras. Nonsense. Setiap keinginan ataupun cita-cita sekecil apapun pasti butuh usaha. Dan itu kita namakan bekerja. Nggak usah pengen jadi Einstein kesebelas, untuk dapat nilai cep? waktu ulangan fisika juga butuh kerja keras.
“Nggak ada yang gratis di dunia ini,” kata para kapitalis. Barangkali kalimat itu terdengar terlalu kejam walau ada benernya. Ya sedikitlah. Seenggaknya untuk meraih sesuatu itu orang perlu bekerja dan bekerja. Jangan membiasakan diri jadi orang malas, menengadahkan tangan dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Rasulullah saw. bersabda:“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah,” (HR Bukhari)
Kita juga boleh girang hati kalo senang bekerja keras, pasalnya Rasulullah saw. sangat cinta pada orang-orang yang giat bekerja. Suatu ketika beliau saw. berjabat tangan dengan Sa’ad bin Mu’adz ra.. Beliau menyentuh permukaan tangan Sa’ad kasar dan bertanya sebabnya. Mu’adz menjawab kalau ia biasa bekerja keras menafkahi keluarganya. Rasulullah saw. kontan berujar, “Ini dua tangan yang dicintai Allah SWT.” Wow!
Orang-orang sukses di dunia ini umumnya adalah orang-orang yang “bandel”. Pantang menyerah dan giat berusaha. Salah satunya Honda, pendiri perusahaan raksasa otomotif dunia. Untuk mencapai tahta keberhasilannya itu Honda telah menempuh jalan panjang untuk mencapai hasil yang kita bisa lihat sekarang ini. Waktu sekolah Honda bukan anak yang menonjol, keluarganya juga miskin. Dalam usahanya mendirikan perusahaan, berkali-kali dia harus menelan pil pahit karena hancurnya pabriknya baik itu karena kebakaran maupun gempa bumi. Tapi dia tidak kenal menyerah dan berusaha terus bekerja tak kenal lelah hingga mencapai keberhasilan dari usahanya.
Rasulullah saw. dan para sahabat pun bekerja keras untuk menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi ini. Berjuang tak kenal lelah dan pantang menyerah, walau terkadang bersimbah darah. Hingga akhirnya kemenangan pun teraih.
ooOoo
Kerja keras memang harus, tapi sekedar kerja keras saja tidak cukup. Kita juga dituntut untuk bekerja cerdas. Orang bilang setiap keputusan dan tenaga yang dicurahkan harus tepat guna dan berdaya guna, alias efektif dan efesien. Ambil contoh kasus, ketika menghadapi ujian matematika, maka nggak cukup sekedar menghafal rumus dan turunannya tapi kita juga harus melakukan latihan-latihan praktis dengan rumus-rumus itu. Sebabnya jelas, matematika pelajaran eksakta, bukan hafalan.
Rumus kuno menyebutkan siapa yang kuat itu yang menang. Kenyataannya seringkali yang kuat dilibat oleh yang ‘biasa-biasa’ saja. Sebabnya satu; mereka yang kuat seringkali lupa menggunakan tenaganya dengan tepat.Terjadilah pemborosan sumber daya. Sementara yang kecil karena dijepit oleh keadaan mau nggak mau harus mutar otak untuk menggunakan tenaga? yang ‘ala kadarnya’ itu dengan sebaik-baiknya.
Jepang adalah negara dengan luas lahan yang terbatas. But dengan keterbatasan lahan itu justru mendorong para petani dan ilmuwan pertanian di Jepang berpikir kreatif, efektif dan efesien. Hasil pertanian di sana pun jauh lebih unggul ketimbang Indonesia, misalkan? yang luas tanah pertaniannya sekian puluh kali luas lahan pertanian di Jepang.
Itu juga yang dialami nasib umat Islam yang hampir 1 miliar tapi nggak becus ngancurin penjajah Israel. Sebabnya jelas, kita amal kita kurang keras juga kurang cerdas. Bagaimana tidak cerdas bila peluru dihadapi dengan diplomasi. So, paduan kesungguhan dan kecerdasan adalah kekuatan yang menakjubkan.
ooOoo
Kesungguhan dan kecerdasan insya Allah akan mendatangkan kesuksesan, tapi apakah kesuksesan adalah jaminan akan datangnya kebahagiaan? Nggak juga. Karena nggak semua hal bisa terukur dengan materi dan pujian. Kalau kita hanya berkonsentrasi pada materi dan pujian bisa-bisa kita jadi manusia yang megalomania; haus materi dan pujian. Saat apa yang kita kerjakan nggak mendapatkan balasan materi, atau nggak ada applaus atau lemparan bunga, kita kecewa. Akhirnya kita malas untuk berbuat kebaikan bagi orang lain karena khawatir nggak mendapat balasan setimpal atau perhatian. Lebih parah lagi kita juga nggak mau berbuat kebaikan untuk diri kita sendiri karena merasa nggak ada pengaruhnya buat kehidupan kita. Ya, kita jadi serba berhitung mengharap balasan dari orang lain.
Kenyataannya nggak semua usaha manusia itu seketika mendapat balasan. Dan seandainya semua orang berpikiran begitu – senantiasa berharap balasan materi dan pujian – betapa susahnya hidup di dunia ini. Jangan lupa, manusia juga punya dua macam naluri yang pemenuhannya bukan materi, naluri itu adalah naluri beragama (gharizah tadayyun) dan naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Kalau manusia melulu dipenuhi materi dan pujian, nuraninya bisa garing dan lama kelamaan mati. Karenanya kerja keras dan cerdas saja belum cukup juga, seorang muslim ketika beramal juga harus ikhlas. Menempatkan keridlaan Allah di atas segala-galanya. Dalam belajar, setelah belajar dengan keras dan cerdas, ia juga harus ikhlas. Bahwa belajar itu mengharapkan kebaikan, manfaat ilmu dan ganjaran pahala. Bukan nilai di atas kertas apalagi perhatian dari orang lain. Prestasi orang yang belajar untuk sekedar indeks prestasi hanya akan berhenti pada nilai itu, sementara orang yang ikhlas amalnya menjulang ke langit. Demikian pula amal-amal yang lainnya terasa manis saat ikhlas dijadikan sebagai tumpuan.
Maka jadikan keikhlasan sebagai salah satu kaidah amal perbuatan kita. Dengan begitu kita akan menjadi insan yang utama. Tidak hitung-hitungan, tidak mencari perhatian ataupun pujian. Cukuplah Allah SWT. yang memberikan pujian dan balasan bagi kita. [januar]
[diambil dari Majalah PERMATA edisi Juli 2003]